Munawardi Ismail

    Begitu pula dengan Deni. Dia tak menyangka, ketika tersadar ia melihat dirinya tidak lagi di tempat semula. Banyak orang yang merintih kesakitan, begitu pun, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Sedikit saja bergeser, sakitnya minta ampun.

    “Saya tak bisa membayangkan mengapa saat itu saya berada di tempat tersebut. Tak satu pun diantara mereka yang saya kenal. Yang saya ingat hanya orang-orang panik berlarian,” kisah Deni kepada Waspada.

    Hanya hitungan detik, kata Deni, tiba-tiba gelombang laut setinggi lebih dari 10 meter menghantam dirinya. Sejak itu, ia tidak mengingat apa pun. Deni tak sadarkan diri, entah kemana dirinya dibawa arus deras yang menerjang daratan itu.

    Dirinya tersadar, ia melihat semua sekitarnya bagaikan lautan, tidak ada bangunan apa pun yang terlihat. Sementara ia merasaka sakit luar biasa di sekujur tubuhnya. Saat itu Deni mencoba bangkit, namun rasa sakit mengalahkan niatnya untuk bergerak.

    Setelah dua jam lamanya, akhirnya Deni mengetahui bahwa dia terdampar di Desa Bitai, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. “Jaraknya sekitar empat kilo dari tempat saya semula. Rasanya hanya hitungan detik,” ungkap dia.

    Tsunami ikut merenggut ibu bapak dan tiga saudara kandungnya. “Jenazah mereka tidak pernah diketemukan,” kisah Deni. “Saya pernah mencoba mencarinya, namun kondisi tubuh yang tidak memungkinkan, saya hanya bisa pasrah.”

    Walau dirinya masih belasan tahun, ia tidak ingin terus berlarut dengan duka kehilangan orang tuan dan saudaranya. Bagi Deni, bencana 26 Desember 2004 merupakan cobaan paling berat dari Allah SWT selama hidupnya.

    “Memang cobaan Allah itu berat, tetapi semua itu sudah kehendak Sang Khalid. Semuanya Allah SWT yang menentukan. Bencana itu mengajak kita untuk introspeksi diri, kembali meningkatkan keimanan. Di balik bencana pasti ada hikmahnya,” ungkap Deni.

    Kini yatim tsunami menjadi penghuni tetap barak pengungsi di Desa Lambung. Entah kapan ia akan menetap di tempat itu. Yang pasti hingga bantuan rumah terwujud. Namun ia merasa kurang yakin bakal mendapatkannya.

    Jadi Pemburu Tiram

    Setelah setahun musibah berlalu, di mana pada saat semua elemen ingin “merayakan” bencana dahsyat itu, warga malah masih hidup di tenda. “Jadup saja baru tiga bulan kami terima. Padahal sudah satu tahun di barak,” tambah Nuraini, warga Lamnga, Neuheun Aceh Besar itu.

    Ibu dua anak itu mengaku hingga kini belum ada yang berubah dari hidupnya. Selain tinggal di barak, rumah pun yang dijanjikan masih sekadar pondasi. “Untuk menghidupi keluarga, ayah anak-anak narik beca,” ujar wanita berkulit kuning langsat ini.

    Lain lagi dengan Fatimah, 35, warga Ganoe, Lambaro, Kuta Alam yang kehilangan dua anak mengaku tetap teringat dengan musibah itu. Sayang, hingga kini Fatimah dan tiga saudaranya masih tinggal di tenda yang kini sudah rusak.

    “Sekarang kegiatan kami sehari-hari mencari kerang buat dijual. Penghasilannya lumayan lah untuk menutupi biaya dapur. Umumnya kami melakukan itu,” katanya sembari menambahkan bahwa suaminya menjadi penarik beca.

    Sebelum bencana itu menghumblang kampung dia, ibu berkulit hitam ini menjual nasi di kaki lima. Namun, setelah semuanya hilang dan tak punya modal, dia beralih menjadi pencari tiram.

    “Kalau ini tidak kita buat, mau makan apa. Berharap dari jadup tak mungkin memenuhi kebutuhan dapur. Apalagi setelah BBM naik, penderitaan kami tambah parah, apalagi jadup belum dibagi,” cerita dia.

    Kendati tak banyak income yang diperoleh dalam satu hari, namun dia bersyukur sekali bisa menambah uang jajan buat keluarganya. “Lumayanlah, kadang satu hari dapat Rp50 ribu,” tambah Fatimah.

    Nasib Fatimah beda dengan Badriyah, 43, warga Lampaseh Aceh yang cukup tenar di kalangan pengungsi setempat. Ibu sembilan putra-putri yang sudah memulai “hidup baru”. Pun demikian, belum mampu melupakan kehilangan orang-orang yang dicintainya.

    Wanita yang disebut “Pahlawan” oleh Majalah TIME Asia ini sudah memulai kegiatan dagang kecil-kecil. “Saya buka usaha kecil-kecilan di barak. Itu satu kios yang dibikin anak,” katanya seraya menunjuk objek yang dimaksud.

    Jiwa dagang Neneh, begitu dia disapa tidak muncul seketika atawa pasca-tsunami. “Sebelumnya saya pedagang kain keliling. Sekarang tak punya modal lagi, makanya berjualan kecil-kecilan,” ujar dia.

    Kendati cuma bermodal alakadar, Neneh tidak tinggal diam. Semangatnya untuk melanjutkan hidup yang tersisa bersama anak-anak tercinta tetap membara. “Di mana dek kita bisa dapat bantuan modal,” tanyanya kepada Waspada belum lama ini.


    Ada sejuta kisah dahsyat yang belum semuanya terangkum dari korban tsunami. Ada yang diselamatkan oleh binatang berupa ular, kerbau, hiu. Tak jarang banyak pula “malaikat-malaikat kecil” (baca: anak-anak) yang ditolongi lelaki bersurban berjenggot putih panjang.

    Terkadang memang sulit dimengerti, tapi itu semua terjadi. Yuliana, Salamah, Nurfina dan Deni adalah secuil kisah yang mungkin “hambar” jika dibandingkan dengan cobaan yang dialami orang lain.

    Bagaimana tidak, tsunami pun dianggap sulit dipahami, tapi begitulah kekuasaan Ilahi. Ada yang dulunya kaya raya, kini jatuh miskin, begitu pula sebaliknya. Ada yang tak dikenal malah menjadi tenar. Tapi semua itu cobaan Allah. Kita yang harus syukur dan tabah. Semoga.


Top