LAKSANA menonton liukan asap. Begitulah tamsilan kisah 'pelayaran' para Pekerja Seks Komersil di Aceh, sebuah negeri yang melebelkan diri dengan syariat. Dia bisa terlihat dengan mata kepala, tapi tidak kuasa menangkapinya. Apakah mereka juga rawan terjangkit human immunodeficiency virus (HIV)?

    Bicara dunia prostitusi di Aceh, dia seakan-akan ikut berlomba-lomba pula dengan jentik malaria, yang meresahkan pemerintah Kota Banda Aceh. Untuk mengatasi itu, sampai-sampai harus diatasi dengan membentuk DBD Wacth. Kalau fogging itu cuma salah satu solusi. Tapi bagaimana dengan prostitusi?

    Prostitusi di Aceh? Dengan pasti tentu harus dijawab; ada. Memang, Aceh tidak melegalkan lokalisasi, tapi, tempat untuk itu ada di pojok-pojok kota yang dua tahun 11 bulan lalu digasak gelombang tsunami. "Kita tidak sebutkan salon-salon sebagai tempatnya, tapi kalau itu menjadi media untuk transaksi seks, iya," tukas Sekretaris Yayasan Daulat Remaja, Jefri.

    YDR adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang sudah bertahun-tahun melakukan pembinaan terhadap para PSK yang sudah "kembali ke jalan yang benar" alias insaf. YDR berkomitmen membina mereka, termasuk memberi penyuluhan dan advokasi HIV/AIDS bagi para PKS di Banda Aceh. Acara tersebut pernah digelar pada Senin 25 Juni lalu.

    Direktur Eksekutif YDR, Ny Radjiah M Idris pada kesempatan yang sama menyebutkan, penyuluhan sebagai pengetahuan itu diharapkan para PSK menjadi takut, sehingga mereka menghentikan pekerjaan menjadi pemuas nafsu lelaki hidung belang.

    Disebutkannya, dalam kurun waktu lima tahun (1999-2004), yayasannya telah berhasil mengalihkan pekerjaan para PSK untuk kembali ke jalan yang benar sebanyak lebih kurang 200 orang. "Meskipun komunitas PKS selama ini termarginalkan dalam kehidupan masyarakat, kami punya komitmen yang tinggi untuk setidaknya dapat mengurangi aktifitas mereka guna kembali ke jalan yang benar di Aceh," sebut Radjiah ketika itu.

    Lalu, bicara soal dunia malam, sambung Jefri, di Banda Aceh ini seperti ditamsilkan di awal tulisan ini tadi. "Prostitusi itu bisa dibilang ada dan tidak. Perlu telaah yang lebih dalam untuk membuktikanya," ujar dia. Yang patut dicatat, lanjut Jefri, penyebaran HIV itu pun tidak semata-mata karena hubungan seksual, penyalahan narkoba juga berpotensi besar.

    Namun, kata dia, pembinaan terhadap mereka harus tetap insten dilakuan secara bersama-sama dengan berbagai lembaga yang selama ini konsen membina kelompok rawan HIV dan AIDS ini. "Perlu upaya yang sustainable untuk itu, serta membuat peta lokasi yang berpotensi penyebaran virus itu," saran dia.

    Untuk mengatasi 'penyakit' sosial ini, belum ada langkah konkret dari instansi terkait. Akibatnya "media-media" yang menjurus ke sarang prostitusi pun tumbuh mekar. Seperti mekarnya rumah-rumah toko (ruko) di sepanjang ruas jalan yang ada di kota itu.

    Peringatan Hari AIDS International yang jatuh pada Sabtu, 1 Desember, lalu, kembali mengingatkan saraf pikir kita. Bahwa sebuah bahaya besar sudah mencengkram Aceh. Percaya atau tidak, bahaya itu sudah mulai membayangi tanah warisan Sultan Iskandar Muda itu.

    Penyakit AIDS (acquired immmunodeficiency syndrome (AIDS) yang disebabkan HIV memang tidak membunuh seperti cara harimau di Aceh Selatan. Dia bahkan lebih kecam dari macan yang turun dari hutan ke perkampungan. Membunuh pelan-pelan, untuk tidak mengatakan sebagai pembunuh berdarah dingin. "Memang bisa jadi lima tahun ke depan kita akan merasakan dampak dahsyatnya," timpal Jefri lagi.

    Bayang-bayang mematikan itu, kini memang sedang menghantui Aceh. Buktinya saja, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Aceh, memperkirakan saat ini ada 1.039 kasus HIV dan AIDS di daerah yang berjuluk Serambi Makkah. Jumlah konkretnya, berdasarkan data terakhir ada 18 kasus, tujuh sudah meninggal. "Jika berdasarkan grafik 61 persen penderitannya laki-laki, sedangkan perempuan 39 persen."

    Data lain yang dilansir KPAP Aceh, per Oktober 207 menyebutkan daerah yang sudah ditemukan kasusnya antara lain, Aceh Basar, Pidie, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Timur, Aceh Selatan, dan Aceh Tengah masing-masing satu orang. Sementara Simeulue, Aceh Barat, Aceh Utara dan Aceh Tamiang masing-masing dua kasus. Sedang di Kota Langsa ada tiga kasus.

    Wakil Kepala Dinas Sosial Provinsi Aceh, Drs Ilyas Yacob dalam penyuluhan kepada PSK yang dilakukan YDR beberapa bulan lalu mengatakan selama di Aceh masih ada PSK, maka selama itu pula penyakit HIV dan AIDS akan selalu mengancam masyarakat Aceh, karena virus itu tak hanya bisa ditularkan melalui hubungan badan, selain itu juga bisa melalui jarum suntik dan narkoba.

    Karena itu, pihaknya sangat mendukung kegiatan penyuluhan advokasi HIV AIDS untuk PSK seperti yang digelar YDR, apalagi di beberapa kabupaten/kota di Aceh sekarang ini sudah ditemukan warga yang terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh itu.

    Mengutip Ilyas Yacob, yang merasa prihatin dengan kondisi itu, dia berujar; "seharusnya di Provinsi Aceh yang kini diberlakukan syariat Islam tidak ada PSK." Nah dengan demikian, Aceh ini menjadi tidak steril lagi dari penyakit mematikan itu. Gubernur Irwandi pun sudah mengakui itu.


Top