,


    Pertandingan sesama tim atau derby Aceh kembali panas. Aroma itu disulut PSAP Sigli dan Persiraja Banda Aceh, dalam laga pembuka kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia 2009/2010 di Stadion Kuta Asan, Sigli, Rabu (25/11).



    Pentas dua kutub sepakbola di tanah Rencong ini, bahkan lebih sengit dari derby klasik di Eropa, semacam Derby El Clasico antara Barcelona dan Real Madrid di Liga Spanyol. Atau seperti di Liga Italia Seri A, antara AC Milan dan Inter Milan yang bertarung dalam Derby Della Madonina.

    Begitu pula yang terjadi di Inggris, bila Manchester United bentrok Manchester City di Liga Primer. Derby duo Manchester tak kalah seru dengan derby-derby lain di liga paling top sedunia itu, tak terkecuali Derby Merseyside antara Liverpool dengan Everton.

    Di tanah air juga banyak tarung derby. Mulai dari Papua, Kalimantan, Jawa sampai Sumatera, termasuklah Aceh. Derby Aceh yang sudah karatan dan kerap panas tak lain tersaji dalam laga Persiraja Banda Aceh kontra PSAP Sigli. Mungkin laga ini layak mendapat titel 'Derby El Berkelahia'.

    Perkelahian antar pemain, menjadi pemandangan lazim dalam setiap laga dua tim. Jika kedua tim bertemu, baik di Kuta Asan maupun Lampineung, maka atmosfernya seketika berubah. Panas, sengit dan penuh intrik. Ujung-ujungnya rusuh.

    Ya, kalau tidak dikotak berukuran panjang 100-110 meter dan lebar 64-75 meter, maka dari tribun penonton akan terbang banyak botol dan batu bahkan sandal sampai sepatu. Pemicunya bisa jadi ketidaktegasan wasit dan hakim garis yang merugikan tim tuan rumah, atau inspektur pertandingan tidak tegas.

    Atau yang parah lagi ketika tim tuan rumah kalah, pendukungnya mengamuk, merusak pagar stadion sampai bench ditimpuki batu. Pemandangan semacam ini seakan ritual para pendukung fanatik yang tak bisa menerima timnya kalah.

    Di tanah air kita sering mendengar ulah para Bonek di Jawa Timur dan kerusuhan yang melibatkan Bobotoh di Jawa Barat. Ada juga Jak Mania di Persija serta lainnya. Begitu juga Aceh ada Skull nama untuk pendukung Persiraja.

    Kelas semacam ini kerap kita dengar di daratan Inggris yang disebut Hooligan atau ada Ultras di negeri Pizza Italia. Di negerinya, mereka memang pendukung fanatik yang acap bikin kericuhan. Meski tidak semua Hooligan dan Ultras bertipikal brutal. Ada juga kelompok sportif yang bisa menerima hasil apapun didapati timnya.

    Lalu, jika ini jadi acuan, mungkin skalanya berbeda dengan yang terjadi di dalam negeri. Seperti halnya yang terjadi di Sigli baru-baru ini. Saat penonton kecewa, lantas mereka merusak pagar dan membakar apa yang bisa disulut api. Di kemudian hari, bentro antar fans juga sering adu jotos.

    Pentas derby nan panas bukan hanya di Kuta Asan saja. Di Lampineung juga kerap terjadi, apalagi jika kedua tim bersua. Tentu saja, tensinya lebih sengit dari El Clasico, yang punya sejarah panjang. Begitu pula dengan PSAP Sigli dan Persiraja. Keduanya 'bersaudara'

    Namun dari segi nama, mantan juara Kompetisi Perserikatan 1980 jelas lebih mentereng. Itu pun karena ditopang juga oleh mantan pemain PSAP juga. Kalau tidak, ya pemain asal Pidie dan sekarang ada dari Pidie Jaya, sebut saja misalnya, Azhari, Tarmizi Rasyid dan Zulkarnaen.

    Dijajaran kepelatihan ada Anwar dan Dahlan Djalil. Dahlan dan Mustafa Djalil memulai karier dari Kuta Asan. Kemudian mereka membesarkan Persiraja, meski tidak sampai juara. Namun, nama keduanya kerap dikait dengan dua bonden tersebut.

    Sejarah lain mencatat, Anwar, pelatih Persiraja sekarang, dulu juga membesut PSAP dan Dahlan ketika masih bermain di Divisi I. Bersama pemain seperti Tarmizi Rasyid, Maskur, Dicky dkk, mereka ikut menggerek PSAP pada musim 2007/2008 ke Divisi Utama.

    Bukan cuma itu, berdasarkan catatan Copa Djisamsoe Indonesia 2007, PSAP adalah satu-satunya tim Divisi I yang masuk 16 Besar Copa Indonesia. Meski akhirnya, di babak tersebut tim besutan Anwar ini dibekap Persekabpas Pasuruan dengan agregat 5-4.

    Hubungan emosional kedua tim di lapangan dan luar lapangan sebenarnya tak diragukan lagi. "Sama-sama meuen saboh gampong pih meulhoe, main satu kampung pun berkelahi," begitu suara dari tribun penonton. Dari sini saja kita tahu, penonton cuma ingin menyaksikan pertandingan bukan perkelahian.

    Tapi, memang itulah sepakbola. Dalam kurun 2x45 menit, tak ada pertemanan. Yang dicari kemenangan tim secara fairplay dan tidak menghalalkan segala cara. Begitu peluit usai, baru senyum merekah kembali, sebab Gen’s Una Sumus (Kita Satu Keluarga). Keluarga Sepakbola.


Top