Warkah Terakhir Dari Komando Pusat
Munawardi Ismail
TERIKNYA matahari dipertengahan Desember tidak membuat pria bertubuh tambun ini gerah. Kaos T-shit hitamnya terlihat dibasahi keringat. Wajah “montok”-nya juga sama. Sorot mata bak elang mengincar mangsa.
Kehadiran prajurit Teuntra Neugara Aceh (TNA) ini bukan untuk mengepung musuh. Lantas? Tetapi tak lain untuk melihat dari dekat proses pemotongan senjata. Bukan itu saja, dia juga meliput. “Saya hanya bikin dokumentasi saja,” katanya kepada Waspada ketika itu.
Pria yang dalam kalangan militer GAM bersandi Komandan Robot ini mengaku sedang “dinas” khusus dari penerangan Komando Pusat Di Tiro. Komando Pusat Di Tiro adalah markas besar sayap militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Di sanalah markasnya Muzakkir Manaf, Panglima Tinggi GAM serta Jurubicara Militer GAM, Sofyan Dawood. Pun demikian jangan harap “pentagon”-nya GAM itu mirip dengan Cijantung di Jakarta.
Bagi Robot, instruksi Markas Komando Pusat itu tak membuatnya gerah. Karena dia menyadari, penyerahan senjata dengan Perundingan Helsinki 15 Agustus. “Kami prajurit hanya menjalankan perintah komando. Perintah serahkan senjata, kami kasih,” ujarnya membuka suara.
Disadarinya, prajurit tanpa memanggul senjata tak lebih bak gajah tanpa gading. Itulah yang membuat dia mengikhlaskan “mesin pembunuh” itu dikoyak tim Aceh Monitoring Mission (AMM). “Kini bukan saatnya lagi berjuang dengan kekerasan, dijalur politik mungkin bakal lebih baik,” urai berlagak diplomatis.
Senjata bagi Komandan Robot dipakai buat membentengi diri. Meski kini tanpa “tameng” untuk membalas serangan, Komandan Robot mengakui tidak takut. “Dalam kondisi darurat militer saja tak takut, apalagi sudah damai,” gumamnya.
Tapi, rasa sedih juga sedikit terbersit dari wajah Robot yang datang khusus dari Wilayah Pidie. Sama seperti sedihnya Syahrul, TNA Wilayah Aceh Besar. "Saya terharu dan sedih sekali begitu senjata yang selama ini kami miliki, tiba-tiba harus dimusnahkan,” katanya seusai pemotongan senjata tahap akhir di Blang Padang.
Syahrul memang tak punya tubuh seperti “Robot”. Dia merasa masih takut. Dia juga merasa amat sedih untuk menyerahkan senjata. Alasanya, ya karena hingga kini belum hilang rasa takut.
“Kami yang di lapangan masih merasa takut, karena kondisinya masih belum stabil dan kami masih belum bisa memegang janji yang diberikan pemerintah," kata mantan TNA GAM lainnya.
Karena itu, Syahrul mengharapkan isi MoU yang sudah ditandatangani di Helsinki harus betul-betul dilaksanakan semua pihak, baik itu GAM maupun Pemerintah. “Memelihara perdamaian itu merupakan kewajiban semua elemen masyarakat Aceh, sehingga akan tercipta kondisi Aceh yang aman dan sejahtera,” kata mantan TNA ini.
Bubar TNA Dahsyat
Lalu, 27 Desember lalu dicatat hari bersejarah bagi GAM. Bagaimana tidak, senjata dilucuti, TNA didemobilisasi. Setelah TNA bubar, lalu untuk veterannya dibentuk Komite Peralihan Aceh (KPA).
Pelucutan senjatan dan pembubaran TNA, menurut mantan Jurubicara Militer Komando Pusat Di Tiro, Sofyan Dawood, merupakan langkah paling dahsyat. Namun biar itu terasa pahit, semua dilakukan dalam kerangka MoU.
"Kita membubarkan TNA, menyerahkan senjata. Yang paling dahsyat membubarkan TNA dan itu semua adalah dalam rangka MoU. Kalau tidak karena MoU kita tidak mau membubarkan TNA,” tukas Jubir KPA ini.
Memori TNA masih terasa dibenak Sofyan Dawood. Pada awalnya GAM hanya memiliki 12 personel militer. Namun jumlahnya membengkak setelah mengalami regenerasi pada tahun 1980, 1986, 1990, 1998, 2000 dan 2001. “Jumlahnya mantan TNA kini ada 3.000 orang, dulu ada 4.000 lebih” katanya.
Menyangkut nama untuk sayap militer ini, kata Sofyan, pada awalnya bernama Aceh Merdeka, lalu diganti menjadi Angkatan GAM pada 1990-an, lalu berubah lagi menjadi TNA yang ditetapkan pada pertemuan Sigom Donya GAM di Norwegia 2002.
Sejalan dengan perintah MoU, GAM pun membubarkan TNA lewat sebuah warkah yang dikeluarkan elite GAM. Warkah itu sendiri diteken Muzakkir Manaf. Itulah warkah terakhir Komando Pusat Di Tiro. Akankah menjadi pembawa berkah damai tanpa kekerasan. Semoga
Top 5 Popular of The Week
-
RATUSAN pelajar di Banda Aceh mendapat kesempatan menyaksikan Film Rumah Tanpa Jendela. Mereka juga berdiskusi langsung dengan sutradara...
-
BANJIR kembali menjadi momok menakutkan di Aceh. Kali ini wilayah Pesisir Barat Selatan. Dampaknya seperti sudah kita maklumi bersama. Ta...
-
SPANDUK 'Welcome ISL" yang dipasang pendukung Persiraja Banda Aceh di tribun utara Stadion H Dimurthala raib. Sebelumnya, spand...
-
"HAI Apa Lambak, ho ka treb hana deueh-deueh, --hai, Apa Lambak kemana saja sudah lama tidak kelihatan," begitulah sapaan seorang ...
-
ITU kuburan Belanda," tunjuk Zulkifli, seorang penarik becak mesin kepada dua turis penumpangnya pagi itu. Jumat pagi kemarin, cuaca t...
No comments:
Post a Comment