Tebang Hutan, Tunggulah Banjir...
BANJIR kembali menjadi momok menakutkan di Aceh. Kali ini wilayah Pesisir Barat Selatan. Dampaknya seperti sudah kita maklumi bersama. Tapi yang disayangkan kita tidak pernah belajar dari banjir-banjir yang sudah pernah 'menghajar' kita. Atau mungkin juga karena kita menikmati banjirnya.
Kabarnya, banjir besar yang terjadi di Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Subulussalam merupakan bencana tahunan yang sudah biasa dialami masyarakat selama lima tahun terakhir. Namun banjir kali ini diluar kebiasaan, sebab biasanya datang antara bulan September hingga Januari.
Data-data yang dilansir Yayasan Leuser Internasional (YLI), Jumat (25/4) menyebutkan, banjir yang terjadi di sepanjang pantai barat selatan Aceh pada 23-24 April kemarin diakibatkan berubahnya fungsi lindung Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) akibat pembalakan liar dan konversi hutan.
Staf Komunikasi YLI, Chik Rini menyebutkan, sepanjang tahun hutan-hutan di Aceh Barat, Nagan Raya, Abdya, Aceh Selatan, Subulussalam dan Singkil terus mengalami degradasi. Kata dia, selama 2000-2005 tercatat wilayah ini telah kehilangan 90 ribu hektar hutan yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser.
Menurut dia, Aceh Selatan tercatat paling tinggi laju kerusakan hutannya yakni mencapai 20.735 hektar. Disusul Abdya (19.327 hektar), Aceh Singkil dan Subulussalam (19.269 hektar), dan Aceh Barat (15.663 hektar), serta Nagan Raya (15.050 hektar).
Dia menyebutkan, tekanan terhadap hutan KEL tidak dapat dicegah akibat perilaku masyarakat dan kebijakan pemerintah daerah yang salah dalam mengelola hutan. Apalagi dengan adanya pembukaan perkebunan sawit secara besar-besaran, perambahan hutan untuk menanam nilam, pengeringan rawa untuk pemukiman dan perkebunan.
Kata Rini, pertambangan ilegal serta pembalakan liar di dalam KEL menyebabkan kawasan ini kehilangan fungsi lindungnya. "Ancaman bencana ini semakin sering terjadi dan meluas akibat terjadi perubahan fungsi lindung KEL yang mengatur regulasi air di sepanjang daerah aliran sungai (DAS), mengontrol erosi dan bajir serta mengatur iklim lokal," papar dia lagi.
Menurut tim Mobile Patrol Unit (MPU) Yayasan Leuser Internasional, selama dua hari ini 6 DAS besar di Aceh Selatan dan Subulussalam meluap dan menyebabkan banjir, yakni DAS Krueng Kluet, DAS Bakongan, DAS Krueng Baro, dan Sungai Lae Rikit.
Di sepanjang DAS Krueng Kluet terjadi pembalakan liar dan perambahan hutan secara besar-besaran untuk perkebunan nilam. Di pinggiran sungai Kluet sejak Desa Sarah Baru, Menggamat sampai ke Kandang ratusan hektar hutan dirambah untuk penanaman nilam oleh masyarakat.
Di sekitar DAS Bakongan yakni Desa Seunebok Kranji, Desa Drien dan Bukit Gading sejak akhir 2007 dilakukan pembukaan hutan rawa gambut seluas 500 hektar untuk penanaman sawit proyek PIR bantuan Gubernur NAD. Pengeringan dan penimbunan rawa di kawasan ini berefek hutan rawa kehilangan fungsinya sebagai penampung air hujan.
Di sekitar DAS Krueng Baro perbatasan di Kecamatan Labuhan Haji Barat (Aceh Selatan dan Kecamatan Manggeng (Abdya) ditemukan pembalakan liar dan penambangan batu marmar secara ilegal. Sedang kawasan di sepanjang Sungai Lae Rikit Kecamatan Sultan Daulat Pemko Subulussalam telah dirambah untuk perkebunan sawit. "Kita sangat kawatir dengan kondisi DAS yang terganggu akibat kegiatan ilegal,“ kata Direktur Program YLI Yuswar Yunus.
Menurut Yuswar, kondisi yang sama terjadi di DAS yang ada di Abdya dan Nagan Raya. Bahkan di Abdya sejak lima tahun terakhir 50 persen sungai-sungainya rusak parah akibat sedimentasi besar-besaran yang menimbun badan sungai. "Akibatnya di musim kering air sungai tak mengalir dan tak cukup debitnya untuk mengaliri sawah-sawah masyarakat," ungkap dia.
Sedang saat hujan datang, tambah dia, air dari gunung dengan cepat mengalir ke pemukiman karena fungsi hutan di sepanjang aliran sungai telah rusak. Kata dia, ada tujuh sungai di Abdya yang mengalami pendangkalan parah yakni, Krueng Panto, Krueng Batee, Alu Pisang, Krueng Susoh, Krueng Tangan-Tangan, Krueng Manggeng, dan Krueng Babahrot.
Gundul Terus
Sementara data yang dikeluarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menyebutkan, laju penggundulan hutan Aceh tiap tahunnya terus meningkat, dari tahun 1985 sampai dengan tahun 1997 terjadi pengurangan luas 270.347 hektare atau 20.796 ha per tahun.
Selama 2005-2006 diperkirakan penggundulan hutan Aceh mencapai 266.000 ha, hampir setara empat kali lipat luas negara Singapura. "Pemicu kehancuran hutan Aceh salah satunya adalah proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang tidak mempunyai standar legalitas penggunaan kayu," ujar Bambang Antariksa, Direktur Walhi Aceh.
Kehancuran hutan Aceh bukanlah isapan jempol. Angka kayu sitaan dari hasil praktek haram tersebut, di tahun 2005 tercatat 33.249,25 meter kubik kayu olahan yang disita aparat melalui berbagai operasi terpadu.
Jika dibandingkan pada tahun berikutnya, maka terjadi kenaikan hampir empat kali lipat di tahun 2006 atau 120.209,50 meter kubik. "Kenaikan yang cukup fantastis dan sebanding dengan angka laju deforestrasi hutan Aceh," katanya.
Angka kayu sitaan adalah salah satu indikator mengukur kehancuran hutan Aceh. indikator lainnya adalah praktek haram yang menyebabkan banjir bandang di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur,dan Kabupaten Gayo Lues.
Dari bulan Januari hingga Oktober 2006 ditemukan 279 kasus kegiatan illegal yang terjadi di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), terdiri atas 162 kasus illegal logging, 92 kasus perambahan, dan 21 sawmill yang memanfaatkan kayu hasil illegal logging.
Dari 162 kasus illegal logging tersebut mampu memproduksi kayu kurang lebih 8.037,5 meter kubik, sedangkan 92 kasus perambahan hutan telah mengkonversi areal seluas 3.826 ha, dan jumlah produksi kayu dari aktivitas 21 sawmill illegal tersebut mencapai 23.100 meter kubik.
"Jika kita lihat gap selisih yang terjadi antara jumlah produksi kayu illegal logging dan jumlah produksi kayu sawmill illegal sebesar 15.062,5 meter kubik, memperlihatkan pada kita bahwa sangat rumit mengendalikan aktivitas pembalakkan haram itu," kata aktivis lingkungan ini.
Nah, jika ini hutan terus ditebang, maka tunggulah banjir...
Foto: ANTARA
Kabarnya, banjir besar yang terjadi di Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Subulussalam merupakan bencana tahunan yang sudah biasa dialami masyarakat selama lima tahun terakhir. Namun banjir kali ini diluar kebiasaan, sebab biasanya datang antara bulan September hingga Januari.
Data-data yang dilansir Yayasan Leuser Internasional (YLI), Jumat (25/4) menyebutkan, banjir yang terjadi di sepanjang pantai barat selatan Aceh pada 23-24 April kemarin diakibatkan berubahnya fungsi lindung Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) akibat pembalakan liar dan konversi hutan.
Staf Komunikasi YLI, Chik Rini menyebutkan, sepanjang tahun hutan-hutan di Aceh Barat, Nagan Raya, Abdya, Aceh Selatan, Subulussalam dan Singkil terus mengalami degradasi. Kata dia, selama 2000-2005 tercatat wilayah ini telah kehilangan 90 ribu hektar hutan yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser.
Menurut dia, Aceh Selatan tercatat paling tinggi laju kerusakan hutannya yakni mencapai 20.735 hektar. Disusul Abdya (19.327 hektar), Aceh Singkil dan Subulussalam (19.269 hektar), dan Aceh Barat (15.663 hektar), serta Nagan Raya (15.050 hektar).
Dia menyebutkan, tekanan terhadap hutan KEL tidak dapat dicegah akibat perilaku masyarakat dan kebijakan pemerintah daerah yang salah dalam mengelola hutan. Apalagi dengan adanya pembukaan perkebunan sawit secara besar-besaran, perambahan hutan untuk menanam nilam, pengeringan rawa untuk pemukiman dan perkebunan.
Kata Rini, pertambangan ilegal serta pembalakan liar di dalam KEL menyebabkan kawasan ini kehilangan fungsi lindungnya. "Ancaman bencana ini semakin sering terjadi dan meluas akibat terjadi perubahan fungsi lindung KEL yang mengatur regulasi air di sepanjang daerah aliran sungai (DAS), mengontrol erosi dan bajir serta mengatur iklim lokal," papar dia lagi.
Menurut tim Mobile Patrol Unit (MPU) Yayasan Leuser Internasional, selama dua hari ini 6 DAS besar di Aceh Selatan dan Subulussalam meluap dan menyebabkan banjir, yakni DAS Krueng Kluet, DAS Bakongan, DAS Krueng Baro, dan Sungai Lae Rikit.
Di sepanjang DAS Krueng Kluet terjadi pembalakan liar dan perambahan hutan secara besar-besaran untuk perkebunan nilam. Di pinggiran sungai Kluet sejak Desa Sarah Baru, Menggamat sampai ke Kandang ratusan hektar hutan dirambah untuk penanaman nilam oleh masyarakat.
Di sekitar DAS Bakongan yakni Desa Seunebok Kranji, Desa Drien dan Bukit Gading sejak akhir 2007 dilakukan pembukaan hutan rawa gambut seluas 500 hektar untuk penanaman sawit proyek PIR bantuan Gubernur NAD. Pengeringan dan penimbunan rawa di kawasan ini berefek hutan rawa kehilangan fungsinya sebagai penampung air hujan.
Di sekitar DAS Krueng Baro perbatasan di Kecamatan Labuhan Haji Barat (Aceh Selatan dan Kecamatan Manggeng (Abdya) ditemukan pembalakan liar dan penambangan batu marmar secara ilegal. Sedang kawasan di sepanjang Sungai Lae Rikit Kecamatan Sultan Daulat Pemko Subulussalam telah dirambah untuk perkebunan sawit. "Kita sangat kawatir dengan kondisi DAS yang terganggu akibat kegiatan ilegal,“ kata Direktur Program YLI Yuswar Yunus.
Menurut Yuswar, kondisi yang sama terjadi di DAS yang ada di Abdya dan Nagan Raya. Bahkan di Abdya sejak lima tahun terakhir 50 persen sungai-sungainya rusak parah akibat sedimentasi besar-besaran yang menimbun badan sungai. "Akibatnya di musim kering air sungai tak mengalir dan tak cukup debitnya untuk mengaliri sawah-sawah masyarakat," ungkap dia.
Sedang saat hujan datang, tambah dia, air dari gunung dengan cepat mengalir ke pemukiman karena fungsi hutan di sepanjang aliran sungai telah rusak. Kata dia, ada tujuh sungai di Abdya yang mengalami pendangkalan parah yakni, Krueng Panto, Krueng Batee, Alu Pisang, Krueng Susoh, Krueng Tangan-Tangan, Krueng Manggeng, dan Krueng Babahrot.
Gundul Terus
Sementara data yang dikeluarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menyebutkan, laju penggundulan hutan Aceh tiap tahunnya terus meningkat, dari tahun 1985 sampai dengan tahun 1997 terjadi pengurangan luas 270.347 hektare atau 20.796 ha per tahun.
Selama 2005-2006 diperkirakan penggundulan hutan Aceh mencapai 266.000 ha, hampir setara empat kali lipat luas negara Singapura. "Pemicu kehancuran hutan Aceh salah satunya adalah proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang tidak mempunyai standar legalitas penggunaan kayu," ujar Bambang Antariksa, Direktur Walhi Aceh.
Kehancuran hutan Aceh bukanlah isapan jempol. Angka kayu sitaan dari hasil praktek haram tersebut, di tahun 2005 tercatat 33.249,25 meter kubik kayu olahan yang disita aparat melalui berbagai operasi terpadu.
Jika dibandingkan pada tahun berikutnya, maka terjadi kenaikan hampir empat kali lipat di tahun 2006 atau 120.209,50 meter kubik. "Kenaikan yang cukup fantastis dan sebanding dengan angka laju deforestrasi hutan Aceh," katanya.
Angka kayu sitaan adalah salah satu indikator mengukur kehancuran hutan Aceh. indikator lainnya adalah praktek haram yang menyebabkan banjir bandang di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur,dan Kabupaten Gayo Lues.
Dari bulan Januari hingga Oktober 2006 ditemukan 279 kasus kegiatan illegal yang terjadi di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), terdiri atas 162 kasus illegal logging, 92 kasus perambahan, dan 21 sawmill yang memanfaatkan kayu hasil illegal logging.
Dari 162 kasus illegal logging tersebut mampu memproduksi kayu kurang lebih 8.037,5 meter kubik, sedangkan 92 kasus perambahan hutan telah mengkonversi areal seluas 3.826 ha, dan jumlah produksi kayu dari aktivitas 21 sawmill illegal tersebut mencapai 23.100 meter kubik.
"Jika kita lihat gap selisih yang terjadi antara jumlah produksi kayu illegal logging dan jumlah produksi kayu sawmill illegal sebesar 15.062,5 meter kubik, memperlihatkan pada kita bahwa sangat rumit mengendalikan aktivitas pembalakkan haram itu," kata aktivis lingkungan ini.
Nah, jika ini hutan terus ditebang, maka tunggulah banjir...
Foto: ANTARA
Top 5 Popular of The Week
-
RATUSAN pelajar di Banda Aceh mendapat kesempatan menyaksikan Film Rumah Tanpa Jendela. Mereka juga berdiskusi langsung dengan sutradara...
-
BANJIR kembali menjadi momok menakutkan di Aceh. Kali ini wilayah Pesisir Barat Selatan. Dampaknya seperti sudah kita maklumi bersama. Ta...
-
SPANDUK 'Welcome ISL" yang dipasang pendukung Persiraja Banda Aceh di tribun utara Stadion H Dimurthala raib. Sebelumnya, spand...
-
"HAI Apa Lambak, ho ka treb hana deueh-deueh, --hai, Apa Lambak kemana saja sudah lama tidak kelihatan," begitulah sapaan seorang ...
-
ITU kuburan Belanda," tunjuk Zulkifli, seorang penarik becak mesin kepada dua turis penumpangnya pagi itu. Jumat pagi kemarin, cuaca t...
No comments:
Post a Comment