Munawardi Ismail – Waspada
    Artikel ini sudah pernah dimuat di acehkita.com

    Minggu pagi 26 Desember 2004 aku terbangun bagai terpental dari ranjang. Seketika aku sudah berdiri. Prosesnya beda dengan yang biasa. Pagi itu memang ada hentakan hebat yang membuatku seketika tersentak.

    “Ini gempa,” gumamku.

    Begitulah yang kualami pagi itu. Aku kos di sebuah pertokoan lantai dua di Jalan Sri Ratu Safiatuddin. Di tempat itulah, selama ini aku bermukim. Lokasi tersebut amat strategis bagiku. Selain dekat dengan Rex di Peunayong --yang merupakan pusat keramaian malam-- kantorku juga tak jauh dari situ.

    Pagi itu, entah bagaimana, dalam hitungan detik, aku bagai telempar dari tidur. Aku langusung ingat, beberapa bulan lalu, tempat tidurku pernah juga diguncang gempa, namun tidak sehebat ini.

    Karena itu, bagai prajurit terlatih, belum masuk getaran ketiga, aku sudah berada di tengah jalan. Saat itu, aku setengah terlanjang, karena hanya celana pendek yang kupakai. Hanya satu baju kaos warna merah yang sempat kubawa turun dan di tengah jalan baru kupakai.

    Aku berdiri, persis di pintu gerbang sebuah markas besar penjaga keamanan negeri ini. Ada seorang kopral berjaga-jaga di sana. Kulihat dia santai saja. Tidak panik seperti orang lain yang sudah keluar dari dalam bangunan, takut runtuh.

    Belum sempat berpikir panjang, getaran selanjutnya menyusul. Kali ini lama. Bukan seperti gempa tadi yang membangunkanku. Semua panik. Kulemparkan pandangan ke ujung jalan, atau ke arah kiblat. Semua orang berwajah pucat.

    Dalam hitungan detik, getaran itu makin dahsyat. Geteran gempa kali ini amat luar biasa. “Apakah ini sudah kiamat?” pikirku.

    Dalam beberapa detik kemudian, getarannya makin luar biasa. Laílahhaillallah. Aku tak ingat lagi berapa kali mengucapkan asma Allah. Getarannya makin hebat saja. Berdiri tak mampu lagi. Di dekatku ada tiga pria lain yang sempoyongan. Sama seperti yang kualami.

    Tanah tempat kuberpijak tak pernah berhenti bergetar. Seketika aku ikut-ikutan tiarap. Padahal itu bukan kontak senjata. Tiarap pun tidak membantu menghilangkan goncangan yang membuat kehilangan keseimbangan.

    Konyolnya, di saat genting semacam ini pikiran langsung teringat kamera yang masih di kamar dan tak sempat kubawa keluar. Ini berita bagus. Pikiranku berputar tak tahu entah ke mana, Alor, Nabire di Papua termasuk Kobe di Jepang yang katanya menjadi langganan gempa.

    Belum sempat berpikir jauh, apalagi getarannya makin hebat, aku dan tiga tetangga sebelah berniat hendak pindah ke Simpang Lima yang berjarak sekitar 200 meter dari tempat kami berdiri.

    Belum sempat berlari jauh, tiba-tiba atap dan dinding depan gedung asuransi dari Kanada yang berada 80 meter di hadapan kami rontok. Seorang tamtama TNI yang berada dekat kami juga berbalik arah.

    Detik selanjutnya sederetan pertokoan di belakang Makodam Iskandar Muda yang berdiri kokoh, terdengar berderit.

    Lalu... Bruuk…

    Debu mengapul menghalangi pandangan. Kendati tidak sama seperti saat runtuhnya gedung Word Trade Centre di New York sana, tapi debunya sedikit banyak ikut menempel di rambutku. Karena aku cuma 30 meter dari pertokoan milik toke-toke non pribumi itu.

    Seketika itu pula terdengar jeritan orang. Tapi semua hanya bisa diam. Nafsi-nafsi (berpikir tentang nasib sendiri-sendiri, red). Lalu pikiranku makin kacau. Pada satu sisi, jiwa jurnalisku menghentak sekuat gempa tadi. Tapi apa daya bangunan tiga lantai baru saja roboh, praktis tak ada yang berani dekat bangunan setelah menyaksikan banyak gedung yang runtuh.

    Syukur bangunan berlantai dua sebelah kanan jalan Ratu Safiatuddin tidak ambruk. Pun demikian aku masih sempat menduga, gempa susulan pasti akan terjadi dalam rentang waktu tidak lama. Lalu dengan modal nekat, meski sedikit was-was, aku langsung menuju kamar tidur di lantai dua.

    Sial, pintu masuk lantai dasar terkunci. Aku sedikit panik, takut gempa susulan datang. Aku pun berlari mencari rekan yang sama-sama tidur di lantai atas. Ternyata sama. Dia juga tidak sempat membawa kunci. Aku pun “merayu” agar dia mau memanjat dinding. Ternyata dengan senang hati dia bersedia untuk alasan yang masuk akal.

    Begitu pintu dibuka, ternyata gelap. “Lampu ka mate,” katanya.

    Dengan sedikit susah payah aku merangkak ke lantai atas sambil meraba dinding sebagai panduan. Sukses. Tapi pintu kamar susah kubuka. Akibat terhalang beberapa dokumen yang jatuh dari lemari. Lutut makin bergetar, membayangkan gempa yang meruntuhkan bangunan beberapa menit lalu.

    Saat badan sudah berada di kamar, benda pertama yang kuraih adalah pesawat telepon selular. Handphone kupakai sebagai penerang. Senter tak tahu entah di mana. Aku ingat handphone karena letaknya tak jauh dari tilam yang kupakai membaringkan badan.

    Begitu dapat, dengan cahaya seadanya, kuraih sebuah tas pinggang yang didalamnya berisi peralatan kerja. Kamera, pulpen, notes, alat perekam dan disket. Masih dalam posisi berdiri kurang stabil, aku merasa masih terombang-ambing, bagaikan pelampung dihempas gelombang laut.

    Setelah itu, aku raih sepotong celana hitam yang sudah kupakai selama dua hari. Selain itu aku tak ingat apa-apa. Yang kuingat bagaimana jalannya agar bisa segera turun kembali ke bawah. Aku tak sempat membereskan buku dan tumpukan majalah yang berserak. Kubiarkan begitu saja.

    Seketika itu kukunci pintu. Lalu bagaikan ada yang mendorong dari belakang, aku langsung keluar. Ketika sampai di bawah baru sadar, baju terbalik, celana masih terbuka resletingnya, tali pinggang tidak masuk pada yang seharusnya. Semua kacau.

    Aku tak peduli. Langsung kunyalakan kamera. Sayangnya kamera coolpix itu baterainya sekarat.

    “Foto bagus. Ada korbannya nggak ya…” aku ngomong sendiri.

    Saat itu yang terbayang bahwa inilah satu-satunya bangunan yang runtuh akibat gempa. Kamera pun kumainkan. Berbagai sudut kubidik. Lalu aku ingat telepon ke Jakarta dan Medan. Tenyata tak bisa. Komunikasi terputus.

    Tiba-tiba terdengar suara, “Tolong… tolong... bagaimana kami turun,” teriak dua warga Tionghoa di atas lantai tiga bangunan yang runtuh itu. Tidak ada tangga. Alternatifnya loncat. Itu yang kusarankan. Tapi mereka tak ada yang berani karena terlalu tinggi.

    Ada seorang warga yang kukira pegawainya, juga melarang mereka loncat. Karena kehadiran orang itu pula, aku pun lalu mengarahkan lensa kamera dan beranjak. Tidak ada yang pernah mengira akan ada hal yang lebih buruk setelah gempa. Cepat atau lambat, orang di atas lantai tiga itu, toh akan tertolong juga. Begitu pikirku. Apalagi sudah ada orang yang dikenalnya di bawah.

    Lalu aku segera menuju ke kantor tempatku bekerja, yang jaraknya cuma belasan meter dari toko yang runtuh itu. Alhamdulillah masih kokoh, retak pun tidak. Lalu ke mana kawanku yang tinggal di situ. “Dia sudah keluar bersama istri, ipar serta dua anaknya,” kata seorang warga di situ.

    Aku pun putar haluan ke lokasi semula. Tak lama, muncul kawan lainnya sekantor. Dia melaporkan sebuah swalayan ternama di Banda Aceh ikut rata dengan tanah. “Cepat kau ambil fotonya. Mungkin ada korban yang terperangkap,” perintah dia.

    Tanpa menunggu perintah dua kali, setengah berlari aku menuju ke lokasi. Di sana kulihat sudah ada ‘wartawan Media Center” Kodam Iskandar Muda. Seroang kamerawan sedang menerima arahan dari Mayor Solih.

    “Ah, terlambat lu, gua udah ambil gambar dari tadi,” katanya mengejek.

    Tak kehilangan akal, aku pun bilang, “Toko di samping kodam juga roboh. Untung nggak runtuh ke arah kodam.”

    Aku lihat dia sedikit bingung.

    “Udah kau ambil dulu gambar di sana,” perintah Mayor Solih pada sohibnya.

    Lalu, aku menjepret swalayan yang sudah ambruk itu. Pada seorang satpam, aku bertanya ada korban tidak. Setelah kupastikan tidak ada yang terperangkap. Kamera coolpix pun menyala.

    Selesai kufoto semuanya. Muncul Yuswardi (koresponden Tempo di Banda Aceh). Kami pun bercerita apa yang kami saksikan dan rasakan masing-masing.

    Tak lama kemudian, Kapolda Aceh yang juga Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD), Irjen Pol Bahrumsyah Kasman muncul lengkap dengan pengawalnya plus Kapolresta Banda Aceh.

    Begitu kukira foto sudah cukup, aku langsung angkat kaki. Selain perasaan tak enak, aku juga ingin keliling kota melihat di wilayah mana saja yang rusak. Sebab, berdasarkan laporan rekan-rekan yang kukenal, banyak bangunan yang roboh, termasuk sebuah hotel cukup tenar di bilangan Taman Sari.

    Memori kameraku penuh. Dengan tergesa-gesa aku segera pulang ke kantor. Pertama ingin transfer foto ke komputer, selanjutnya mengabadikan kerusakan akibat gempa yang dua hari kemudian baru kutahu berkekuatan 8,9 skala Richter.

    Siapa yang mengira hal yang lebih buruk bakal terjadi. [bersambung]


Top