Catatan Harian Munawardi Ismail - Waspada
    Artikel ini sudah pernah dimuat acehkita.com

    Selesai mengabadikan momen gempa terbesar dalam sejarah Aceh itu, aku segera kembali ke kantor di kawasan Peunayong. Lokasinya tak jauh dari pusat jajanan warga kota yakni Rex atau hanya selemparan batu dari Hotel Medan yang belakangan terkenal karena sebuah perahu raksasa tiba-tiba parkir di depannya akibat terbawa tsunami. Membawa serta ratusan jenasah.

    Tapi siapa yang berpikir tsunami.

    Aku kembali ke kantor untuk mengganti baterai kamera sekalian transfer foto yang sudah penuh. Maklum kamera coolpix-ku kapasitasnya kecil. Kemampuannya juga tidak sehebat gempa bumi yang sudah kurasakan 20- 25 menit lalu.

    Sampai di kantor, aku meminta bantuan sekretaris kantor yang biasa disapa Bang Teuku, lengkapnya Teuku Ardiansyah. “Aku mau transfer foto, ini memorinya sudah penuh,” kataku.

    “Lampu mati,” jawabnya.

    “Kita hidupkan genset saja,” sambungku bersemangat.

    Kulihat dia setuju. Tapi sedetik kemudian, dia berubah pikiran. Dengan alasan yang masuk akal, akupun mengalah. Kemudian beberapa foto yang angle-nya sama ku-delete. Baterai sudah memberi sinyal low.

    Dengan perasaan masih was-was, aku berniat masuk ke dalam kantor melihat komputer yang biasa kupakai kerja. Lantas kudorong pintu yang terbuat dari kaca hitam tebal. Tak ada isi bangunan yang rusak. Lalu dengan tergesa-gesa, kugantikan sandal jepit dengan sepatu sport yang jarang kupakai. Biar lebih gampang bergerak, pikirku.

    Sepeda motor yang selama ini kupakai untuk liputan, masih berdiri di tempatnya. Tidak bergeser. Setelah kukeluarkan, perasaan baru lega.

    Tiba-tiba aku ingin pulang. Dalam hitungan detik, kubuat agenda kilat. Sambil jalan pulang melihat keluarga bapak angkatku, aku ingin mengambil sejumlah bangunan yang roboh akibat digoyang gempa. Arahku menuju Rex dan Peunayong atau kawasan Kota. Atau lebih mudah menggambarkannya, ruteku menuju... arah laut!

    Benar saja. Tak jauh dari kantor, menuju Jalan Khairil Anwar, sebuah rumah makan dinding kanannnya copot. Tiang telepon melintang jalan. Sementara sejumlah hotel yang ada di kawasan itu kulihat masih utuh. Termasuk Hotel Medan.

    Namun tak jauh dari Losmen Aceh Barat, sebuah bangunan baru yang didesain artistik menjadi tak berbentuk. Warga yang mendiami daerah itu terlihat banyak berdiri di luar, mengantisipasi gempa susulan.

    Ada ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya. Bocah lusuh juga terlihat bersimpuh tanpa daya.

    “Fotonya bagus, Bang,” kata seorang anak yang kutaksir masih berusia 13 tahun. Yang dimaksudnya sebenarnya kamera, bukan foto. Dari dia aku tahu kalau di dalam tak ada korban.

    Selesai menjepret tiga kali. Aku langsung pergi. Firasat tak enak. Apakah keluargaku di Jalan Pocut Baren juga mengalamai hal yang sama. Ingin rasanya kutelepon. Kembali kuraih telepon genggam. Blank, tak ada sinyal.

    Saat itu aku sempat berpikir lead apa yang akan kubuat nanti untuk berita. Alor di Nusa Tenggara Barat, Nabire di Papua sudah, kini Aceh juga diguncang gempa dahsyat. Sekilas pikiranku menerawang terus, hingga ke tayangan televisi mengenai reruntuhan bangunan dan jalan terbelah di Alor atau Nabire.

    Kemudian pikiranku seakan berhenti pada satu stasiun televisi yang membahas musibah gempa di Indonesia sejak 10 tahun terakhir, termasuk tsunami di Bayuwangi. Seorang seismolog yang diwawancarai televisi itu mengatakan, tsunami akan muncul 50 menit setelah gempa.

    Pernyataan seismolog itu masih lekat erat. Tapi aku tidak bisa menerka apa yang akan terjadi di Aceh setelah peristiwa minggu pagi.

    Tak berapa lama kemudian, akupun putar kiri melintasi Jalan Panglima Polem yang berakhir di Kampung Mulia. Melewati Tepekong, rumah ibadah umat Budha, banyak orang yang putar haluan, menjauhi arah laut.

    Rasa ingin tahuku semakin bertambah. Apa yang terjadi, aku belum tahu. Aku juga tak melihat ada orang-orang yang kukenal melintas, atau rekan jurnalis lain kecuali Yuswardi, yang tadi berjumpa di kawasan swalayan runtuh.

    Dua puluh meter di depan, orang-orang mulai riuh. Ada yang berlari-lari kecil seperti orang melakukan sa’i antara Safa dan Marwah. Ada pula yang masih berjalan santai, tapi dengan mimik ketakutan. Aku tambah penasaran.

    Kulihat orang mulai panik. Paniknya melebihi waktu gempa. “Kenapa, Bang?” tanyaku pada orang yang kebetulan melintas di depan. Dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Karena melihat orang berlari, dia pun melakukan hal yang sama.

    Semakin penasaran, setelah kulihat ke arah Pasar Peunayong, orang berlari semua. Seperti sedang ikut lomba maraton massal. Tapi rautnya penuh ketakutan.

    Aku pakir sepeda motor dekat median jalan. Kubuka tas pinggang dan seketika kamera menyala. Kujepret suasana panik. Tapi aku tidak puas, fotonya kurang menceritakan suasana yang benar-benar panik. Kuambil sekali lagi, baru lega sedikit, meski aku sendiri tetap tak puas.

    Dalam hitungan detik, orang yang berlari makin ramai, mulai sepeda motor, mobil, beca mesin dan lain-lain. Aku pun kembali bertanya pada seorang pria yang mengendarai sepeda motor.

    “Katanya air laut naik,” ujarnya.

    Aku merasa belum yakin sampai ada teriakan, “Air laut naik… Air laut naik.”

    Pertama aku sempat berpikir, lho kok air laut naik ke daratan. Tapi entah bagaimana, aku kembali terbayang wajah seismolog yang di televisi swasta itu.

    “Air naik… Air naik…” teriak seorang pemuda sambil terus berlari. Tapi tak seorang pun yang melihat air. Yag penting berlari.

    Bagai tersentak, aku bergumam: tsunami!

    Masih untung tidak berteriak. Bisa-bisa dianggap sableng. Berapa orang yang tahu arti tsunami. Aku semakin yakin yang datang adalah tsunami. Makanya aku putar haluan. Tujuanku ke Pocut Bareng, gagal. Aku tancap gas ke arah lain, menjauhi laut.

    Di sepanjang Jalan Panglima Polem mulai di depan penjahit hingga Simpang Lima, arus padat. Semua berlomba cepat. Mendekati lampu mereh, jalur makin padat. Suara klakson di mana-mana. Tak jauh beda suasananya seperti bulan puasa menjelang buka. Pemandangan semacam itu sering dijumpai di bulan suci.

    Karena padat, aku menerobos trotoar depan sebuah warung internet. Di ujung trotoar aku terperangkap beton. Sementara di sampingku, sebuah mobil Kijang menabrak sepeda motor yang ada di depannya.

    Kacau memang. Termasuk aku yang dengan seketika menurunkan sepeda motor dari trotoar tinggi tanpa memikirkan lagi risiko mesin retak atau pecah. Dengan memotong jalan, kuarahkan motor ke Jalan T Angkasa, atau arah Rumah Sakit Kesdam.

    Tujuanku sebenarnya ingin menghindar dari air lebih dulu. Karena itu air asin. Makanya aku parkir di gedung PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang lebih tinggi. Pangalaman tahun 2000, saat terjadi banjir, gedung itu tak terjilat air.

    Setelah parkir, dengan lari kecil ke Simpang Lima, aku bermaksud mengambil foto dengan baterai yang tersisa. Dari tugu Simpang Lima yang biasa dipakai demonstran, sudah banyak manusia berdiri di sana. Mereka mengucapkan doa karena telah selamat dari air bah.

    Arus air di Jalan Sri Ratu Safiatudddin di mana aku sempoyongan digoyang gempa, terlihat deras menyeret apa saja. Termasuk mobil, dan kios-kios. Air itu hitam dan pekat. Aku sendiri tak menyangka kalau tsunami membawa air hitam pekat berisi Lumpur. Beda dengan visual yang kulihat di televisi tentang tsunami di Banyuwangi.

    Kios-kios itu juga mengalir ke jalan T Nyak Arief. Tak lama kemudian kulihat Bedu, fotogrefer Serambi Indonesia, muncul. Di sebelah kiri, muncul Hotli (kamerawan Global TV) dengan mobil Landrover-nya. Dia parkir di sana. Sebuah handycam di tangannya mengabadikan kejadian di depan mata. Rekaman ini, diputar berulang-ulang di RCTI, karena Global TV sama-sama berada di bawah Bimantara.

    Sementara seorang rekan wartawan Waspada yang bertugas di Aceh Tamiang, Muhammad Hanafiah, bercerita, dia melihat arus tsunami itu berwarna hitam setinggi pohon kelapa sedang menuju kawasan Kota. Karena itu, dia buru-buru lari dari tempat penginapan, sehingga kakinya bengkak.

    Sekitar 10 menit kemudian, ketika arus sudah berhenti, tak jauh dari kami, jenasah seorang wanita mengapung. Mulai ada korban, gumamku. “Sudah, angkat saja ke Rumah Sakit Kesdam,” kataku kepada empat pemuda seraya membenarkan letak busana perempuan malang ini.

    Ketika kondisi panik reda dan air sudah tenang, aku bersama Hotli berniat menuju Masjid Raya Baiturrahman. Belum sampai di sana, sejumlah warga sedang memanggil-manggil seorang pria dan anak kecil di bawah jembatan Pante Pirak yang tersangkut jaring nelayan.

    Menolong atau meliput? Kuputuskan dua-duanya.

    Setelah mengambil foto dua kali jepret, kami pun bahu-membahu berusaha menarik tali besar yang dipasang untuk menarik seorang bapak dan bocah perempuan berusia sekitar dua tahunan itu. Sedangkan di bawah, tiga aparat kepolisian berusaha membantu melepaskan dan mengangkat anak tersebut.

    Fragmen ini juga ditayangkan di RCTI, hasil rekaman Hotli.

    Sementara ada belasan pria, termasuk aku, terus berusaha menarik tali itu. Lewat perjuangan lelah tiga polisi tadi, anak tersebut berhasil diangkat ke atas jembatan. Kemudian kami sarankan dibawa ke Rumah Sakit Kesdam. Kondisi bocah itu kedinginan. Kaki merah tergores, di bawah matanya lumpur menempel.

    Kemudian, pria itu pun diselamatkan. Lelaki yang ikut terserat arus itu berusaha menyeleamatkan bocah itu. Tapi ketika ditanyai, dia juga tak tahu itu anak siapa. Sementara jalan menuju Masjid Baiturrahman tak bisa dilewati. Deretan pertokoan tempat Radio Flamboyan mengudara, tinggal dua lantai. Satu lantai lagi terbenam. Amblas ke dalam tanah akibat gempa.

    Begitu pula dengan jalan SA Mahmudsyah yang menuju Kodim 0101 Aceh Besar. Ada belasan mobil di sana. Nasib pertokoan baru di sana juga tak jauh beda. Parahnya dia cuma tinggal satu lantai saja. Runtuhnya bangunan bangunan akibat gempa. Sepanjang mata hanya kehancuran yang tertatap. Masya Allah [bersambung]


Top