Munawardi Ismail

    TAK ada yang mengira, kalau keheningan di Minggu pagi pada 26 Desember lalu menjiprat maha duka. Di pagi buta alam memang masih bersahabat, setelah itu semua terasa kiamat. Setelah gempa, laut pun menggelegar; tsunami.

    Jika memori musibah dahsyat itu dibuka lagi, semua akan berkomentar sama. “Jangan diungkit lagi, saya cukup sedih. Saya belum bisa melupakan itu,” kata Yuliana, warga Kampung Bitai, Banda Aceh sendu.

    Memang setelah semua panik pasca-gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter. Semua warga tak menyangka bakal ada gelombang raya yang menghempas dan menghancurkan daratan.

    Apalagi setelah bumi “bergoyang” ada tiga kali dentuman yang meledak dari arah utara (baca: laut). Pikiran masyarakat kian tak menentu, mereka menerka beragam. Mungkin perang, karena status Aceh ketika itu masih dalam keadaan darurat.

    “Lon pikee kok sampe hate, ban lheueh gempa ka ditiek bom, bit han utak. Saya pikir kok sampai hati begitu selesai gempa, kenapa dilempar bom lagi, betul-betul tak punya otak,” ujar Salamah, 47, warga Lamreh Krueng Raya, Aceh Besar.

    Tidak berhenti sampai di situ, usai suara dentuman, dumm… dummm.. dumm…, lalu ditingkahi bunyi raungan seperti helikopter. “Lon pike leueh gempa biet-biet ka prang, lheueh 3 go su bom, su helikopter teuga that, saya pikir setelah gempa benar-benar perang, setelah 3 kali suara bom, datang suara helikopter,” tambah dia.

    Setelah itu, Salamah bersama anaknya yang sedang hamil 9 bulan naik ke bukit Soeharto, sekira 2,5 km dari Pelabuhan Malahayati. “Kami langsung lari begitu ada yang berteriak, air naik…air laut naik…,” kenangnya.

    Peristiwa dahsyat itu bukan hanya dialami Salamah saja. Sulaiman, warga Aceh Jaya yang ditemui di Banda Aceh juga mengaku sama. Pasca gempa dia mendengar tiga kali suara dentuman di tengah laut. Kemudian disusul suara raungan helikopter yang terbang rendah.

    Terasa Sudah Kiamat

    Semua warga yang mengalami langsung musibah itu punya kisah yang beragam. Apalagi banyak yang mengamini bahwa gelombang yang melibas daratan pada akhir Desember 2005 berhawa membunuh. Airnya hitam pekat, karena ada lumpur laut yang mengendap. Aromanya sudah jelas tak sedap.

    “Ngeri untuk diingat lagi. Airnya mencari mangsa. Di mana ada orang ke situ dia datang,” urai Yuliana lagi. Tsunami, memang bukan saja menenggelam daratan Aceh dan isinya. Semua usia ikut menjadi korban, tak peduli tentara, polisi, pejabat, anggota terhormat, petani atau nelayan semua tamat dalam kiamat kecil itu. Masya Allah, Innalillah.

    Seperti halnya yang dialami Nurfida, 28. warga Desa Cot Lamkeuwuh, Kecamatan Meuraxa Banda Aceh yang menjadi korban tsunami 26 Desember 2004. Dia “harus” mengikhlaskan kehilangan enam saudara kandungnya ketika bencana akhir tahun itu.

    Ditanya kisah sedih dihari minggu, bak sebuah judul lagu, perempuan yang biasa disapa Ida ini berkisah. Berawal minggu pagi kelabu. Pagi itu, ia dan suami serta adik bungsu sedang berada di rumah kontrakkannya yang akan mereka tempati. Nurfida meninggalkan bapak, kakak, dan abang ipar serta adik dan dua kemanakannya.

    “Pagi itu saya tidak sempat pamit karena ada mereka masih tidur. Sedangkan bapak sudah pergi, biasanya dia duduk di warung kopi dekat rumah,” kisah Nurfida kepada Waspada. “Tidak ada firasat apa-apa saat itu, semuanya berlangsung seperti biasa.”

    Setengah jam di rumah kontrakan di kawasan Desa Punge Ujong, tiba-tiba terasa bumi bergoncang. Mulanya lambat, lama kelamaan guncangan terasa begitu kentara. Suami sempat berteriak, “Gempa, gempa, gempa.” Semua yang di rumah berhamburan keluar.

    Sesampainya di depan, kata dia, dirinya sempat terjerembab. Hatinya ada sedikit kacau, karena memikirkan janin yang tengah dikandungnya berusia empat bulan. “Saya sempat was-was memikirkannya,” tutur Nurfida.

    Usai gempa, suaminya pamit ke warung kopi yang jaraknya sekitar 30 meter dari rumah yang baru disewanya seharga Rp2,5 juta pertahun. Selang beberapa menit setelah kepergian suaminya, tiba-tiba orang berteriak kepanikan, “Air, air, air laut naik.”

    Mendengar teriakan itu, Nurfida pun ikut kalut. Pikirannya menewarang kepada sang suami yang sedang mencicipi kopi paginya. Namun, tanpa terasa pikirannya kosong, ada suara yang mengajaknya ke sebuah rumah berlantai tiga.

    “Oya kemari,” tiru Nurfida seraya mencoba mengingat kisah setahun silam. “Tanpa pikir panjang saya langsung mengikutinya. Saya hanya bisa pasrah, ingatan kepada suami sempat menghilang beberapa detik.”

    Sesampainya di lantai tiga, Nurfida melihat semuanya berubah menjadi lautan. Pikirannya kepada suami kembali menerawang dengan hati yang gundah. Ia sempat berdoa agar suami masih selamat.

    Tak henti-hentinya istri MH Setiady itu berdoa sambil mengucapkan asma Allah SWT. Sambil melirik ke sana kemari, dengan harapan suaminya terlihat. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat sosok yang akrab dikenalnya sedang duduk di atas atap bangunan toko.

    “Saat itu, saya meyakini yang duduk itu adalah suami saya. Saya mencoba melambaikan tangan. Mulanya tidak ada balasan, setelah beberapa kali melambai, dia pun membalasnya,” aku Nurfida dengan linangan air mata.

    Begitu yakin suaminya masih selamat, ia langsung berlutut mengucapkan syukur seraya mengucapkan keagungan kepada Allah SWT. Saat itu, tiada kekuatan apa pun, kecuali menyebut keagungan Illahi.

    Dalam pikirannya bahwa gelombang dahsyat minggu pagi itu merupakan cobaan berat dari Allah SWT. Cobaan itu merupakan petunjuk agar semua kembali mengingat-Nya. “Selama ini kita lalai dan lupa kepada Allah SWT.

    Allah SWT, sebut Nurfida, telah menunjukkan kebesarannya. Sang Khalid memberikan bencana dahsyat agar kita tidak melupakan-Nya. Di balik bencana ada hikmahnya, Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan makhluk ciptaan Nya.

    Setahun berlalu, ia telah kembali ke desa asal bersama suami dan bayinya yang berusia enam bulan. Ia tidak sendiri, walau enam keluarga kandungnya menjadi korban, dua abang dan dua adik menemani hari-harinya di gubuk yang mereka bangun bersama. (bersambung)


Top