Munawardi Ismail

    SETAHUN lalu kota ini gelap. Bencana bukan saja menguburkan kota kami, tapi juga waktu seakan berhenti. Banda Aceh 365 hari lalu adalah kota mati. Hari-hari lainnya adalah buram.

    Seluruh sudut kota adalah kelam dengan ribuan mayat-mayat yang bergelimpangan. Tak ada yang berdenyut. Kecuali ringkih kodok sahut-menyahut. Hanya Krueng Aceh yang bergerak mengangkut mayat-mayat yang berserak.

    Bau bangkai menyengat di setiap gang dan jalanan. Banyak graffiti yang berbunyi; Di Sini Ada Mayat. Masih syukur bukan "Di Sini Ada Setan". Orang pada lari, bukan karena melihat setan, tapi karena getaran bumi yang tak pernah lekang.

    Kemarin sudah 370 hari Banda Aceh dalam duka. Duka maha dahsyat itu ikut menghilangkan banyak jasad. "Dia" juga meng-stipo peta-peta kampung di pesisir. Tsunami juga menenggelamkan tawa dan canda para balita. Bencana itu menguburkan keangkuhan manusia.

    Tak heran jika kemudian dalam hitungan menit gelombang raksasa itu membuat 280.000 manusia kehilangan nyawa. Di Aceh dan Nias 160.000 korban wafat. Belum lagi di Sri Lanka, 31.000 orang tewas, dan 4.000 lainnya hilang.

    Pantai selatan India kehilangan 8.000 jiwa, dan kepulauan Andaman dan Nicobar menelan korban lebih dari 2.000 jiwa. Kematian di Thailand mencapai 5.300 orang, 2.800 jiwa lainnya hilang.

    Satu tahun kemudian, pemimpin negeri ini mengajak kita untuk mengingat jasad-jasad beku. Menghormati mereka, sekali lagi, untuk mereka orang-orang baik, perempuan, laki-laki, anak-anak kita, orang dewasa, yang hilang dibawa gelombang.

    Lalu, kita tundukkan kepala, memanjatkan doa khusuk, agar arwah mereka yang kita cintai, baik yang ditemukan maupun yang tidak kita temukan, yang dinisankan di perut bumi, maupun terkubur didasar laut, kesemuanya memperoleh tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.

    Tak terasa tahun sudah berganti. Suasana tak lagi lengang. Tidak diam dalam amis mayat. Kini dia mulai bergerak dengan gairah muda-muda mengumbar dosa. Seakan mereka tak ingat peringatan setahun silam.

    Seharusnya mereka mengisi shaf-shaf di dalam masjid. Bertafakkur dan merenungi apa yang sudah kita lakoni selama ini. Bukan malah “menari-nari” dengan suara terompet.

    Sayang tak ada larang di sana. Penguasa bisanya diam. Mungkin juga ikut larut. Melihat itu, seakan-akan setahun yang lalu kota ini tak pernah kelam. Tidak sunyi dalam keheningan ketika lidah hitam menjilat tubuh-tubuh yang tak berlumur dosa.

    Apakah ini budaya kita? Sebelum saya menjawab, seorang senior alumni Lembaga Pers Dr Soetomo menghentak pikiran saya. Tentang tahun baru dia memberi secuil surah. “Penanggalan Masehi ternyata diambil dari lahirnya Jesus Kristus 1 Januari tahun masehi. Sebuah aqidah bisa terbelah jika kita memberi ruang toleransi.”

    Tahun Masehi adalah ciptaan Julio Caesar, tulisnya. Islam punya penanggalan 1 Muharram. Hijrah, simbol peradaban Islam. Pemaknaan tahun baru Masehi sering bias.

    Perenungan berubah menjadi hura-hura. Remaja muslim tak mau kalah. Ingin dibilang keren, gaul, ngetren dan sebagainya. Mereka lupa, itu bukan punya kita. Memang tak jelas! Sepeti belum jelasnya nasib ribuan “manusia tenda”.

    Tahun ini Banda Aceh memang tak lagi kelam. Krueng Aceh juga sudah mulai bergerak. Tak ada lagi mayat bergelimpangan. Ternyata bencana “ikut” menata wajah kota, setelah waktu kembali berdetak ke 2006.


Top