Munawardi Ismail

    TEMBANG Indonesia Menangis mengalun sendu di halaman sebuah gedung sekolah baru di Kampung Mulia. Pelantunnya tak lain Sherina. Penonton pun sembab berkaca-kaca.

    "Tuhan marahkah KAU padaku, sungguh deras curah murka-MU, Kau hempaskan jari-MU di ujung Banda, tercenganglah seluruh dunia...,"

    Nyanyian itu memang amat manis divokali Sherina. Semua hadirin yang hadir tak kuasa menahan haru. Mata pun sembab. Apalagi saat Sherina menutup not terakhir lagunya.

    Hari itu, Selasa (4/4) Sherina menghibur ratusan murid dan undangan dari dalam dan luar negeri di Kampung Mulia, Kec Kuta Alam, Banda Aceh. Tentu saja dalam hajatan peresmian SD 20 dan SD 21.

    Tapi jangan terkecoh dulu. Kali ini "Sherina" yang manggung di Kampung Mulia itu bukan yang asli. Pun begitu, "Sherina" Aceh ini, suaranya tak kalah merdu dengan yang orisinil.

    Dialah Rahmi Amalia, 9 tahun. Siswa kelas 4 SD 20 Kampung Mulia yang memimpin belasan rekannya yang lain menyanyikan lagu Indonesia Menangis. Semua hadirin berdecak kagum.


    Tak mengherankan memang, jika lagu itu dibawakan amat persis seperti aslinya. Kalau pun beda, paling-paling beda tipis, setipis kulit bawang. Vokalnya juga jernih. Mimiknya, juga cukup serius bak biduan profesional.

    Pasalnya, Rahmi ini adalah jawaranya PMI Idol yang digelar Palang Merah Indonesia di Taman Ratu Safiatuddin beberapa bulan silam. "Suara kamu bagus ya," puji Dean Hirsch.

    Presiden World Vision International itu memuji vokal anak pasangan Mahmud Ali dan Nelfi ini di sela-sela makan siang. Dean Hirsch datang ke Kampung Mulia guna menghadiri hajatan organisasinya. World Vision yang membangun sekolah Sherina, eh Rahmi.

    Siang itu Rahmi tidak sendiri. Dua temannya, Fira Fudhla, 11, dan Dudi Afrialnaldi, 11, juga diajak ngobrol Hirsch. Mereka adalah anak-anak korban tsunami yang menghempas Banda Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004 lalu.

    Dengan dibantu transleternya, Presiden World Vision itu mengaku kagum dengan anak-anak Aceh. Makanya tak heran jika Hirsch pun berpesan, "Belajarlah dengan giat, kalian adalah masa depan Aceh dan dunia."

    Apa yang beda di antara ketiganya. Bila Rahmi unggul diolah vokal, maka Fira Fudha tampil memukau berorasi. "Setelah peristiwa itu, kami kucar kacir bagaikan ayam kehilangan induknya," tukas murid kelas 6 ini.

    Fira mengatakan, masih akibat musibah itu, mereka terpaksa pindah sekolah atau menumpang belajar di luar Aceh bahkan ada yang belajar di bawah tenda.

    "Semua kami lakukan agar tidak kehilangan pengetahuan dan masa depan, walau kami hidup dalam keadaan apapun," tutur bungsu dari dua bersaudara ini. Mendengar itu, Dean Hirsch pun mangut-mangut.

    "Dua bulan setelah tsunami, barulah kami tahu di mana posisi sekolah sementara kami, yakni SD Negeri 28 Kp Kramat. Tak lama kemudian kami pindah lagi ke SD Negeri 4 Kuta Alam, belajar sore hari. Meski rasa kantuk yang tak tertahankan, Alhamdulillah kami dapat belajar dengan tenang," sambung calon dokter ini.

    Kemudian, cerita dia dalam pidatonya, atas bantuan World Vision yang menyewa pertokoan tak jauh dari sekolah asal, mereka dapat belajar dengan tenag. Kendati tetap ada rasa takut yang menghantui, karena belajar di toko berlantai tiga.

    Fira juga berterima kasih kepada lembaga donor yang sudah membangun sekolahnya serta memberi berbagai fasilitas belajar berupa buku, sepatu, baju, jilbab dan lain-lain.

    "Terima kasih kepada Presiden World Vision atas bantuannya, semoga kami tak pernah melupakan ini sepanjang hidup kami sebagai generasi penerus bangsa kelak. I hope you successfull for yours job next times," tukas Fira yang disambut tepuk tangan meriah.

    Sementara Dudi Afrialnaldi lain lagi. Bak WS Rendra, bocah hitam manis, kelas 6 ini pun membaca puisi. "Hanya Kami yang Tersisa," ujar Dudi memulai membaca judul puisi karya salah seorang gurunya.

    Menarik lagi, isi puisi Dudi ditulis dalam bahasa Inggeris. Dia menceritakan kehidupannya yang hidup sebatang kara. Usai membaca puisi, Dudi disambut peluk haru para guru sekolahnya.
    Ternyata Dudi memang hidup sendiri. "Sekarang saya tinggal di rumah bibi. Ayah, ibu dan adik-adik jadi korban tsunami," ucapnya terbata-bata saat menjawab Waspada.

    Memahami psikologisnya, tak banyak yang harus ditanya ke Dudi. Apalagi jika sesuatu itu tentang masa lalu. Kita cuma bisa menggantung asa, seperti harapan Dean Hirsch,"Belajarlah dengan giat, kalian adalah masa depan Aceh dan dunia." Semoga!


Top