BAGI Rakyat Aceh, Syiah Kuala menempati “tahta” tersendiri dalam khasanah sejarahnya. Syiah Kuala yang bernama asli Syeikh Aminuddin Abdurrauf bin Ali Al Fanshury As Singkily, adalah satu di antara ulama yang terkenal.

    Dua ulama lainnya adalah Hamzah Fanshuri yang dikenal penganut paham Wahdatul Wujud dan Syekh Nuruddin Ar- Raniry, pengarang kitab Bustanus Salatin (Taman Raja-raja) yang juga sekaligus mengusung faham Wahdatul Syuhud, yang jadi lawan faham Wahdatul Wujud.

    Kebesaran Syeikh Abdurrauf alias Syiah Kuala tercermin dalam pepatah Aceh, Adat bak Po Teumeureuhôm, Hukôm Bak Syiah Kuala, Kanun Bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana. Pepatah itu mengandung arti; Persoalan adat diatur oleh raja yang bergelar Po Teumeureuhôm, Perkara hukum diputuskan Abdul Rauf yang bergelar Syiah Kuala. Hal-hal yang berkenaan dengan qanun ada pada Puteri Pahang/Kamaliah, sedangkan reusam pada Laksamana (Bentara).

    Dari berbagai literatur sebutkan, nama Syiah Kuala bukan hanya kesohor dalam lingkup nusantara dan Aceh semata-mata. Memang namanya di Aceh abadi sepanjang masa. Dalam skop Aceh Abdurraug dianggap sebagai pelita yang menyalakan syiar Islam pada abad ke 17. Ulama yang lain ialah Hamzah Fanshury, Nuruddin Ar-Raniry dan Syamsuddin As Sumathrani.

    Prof Buya Hamka didalam makalahnnya berjudul Aceh Serambi Mekah yang “disisip” dalam buku Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia - Prof. A Hasjmy, Al Maarif, 1993) menyebut, “Apabila kita sebut nama dua orang ulama Aceh akan samalah arti seribu atau dua ribu orang.''

    Kata-kata itu dirujuk kepada salah seorang ulama yakni Syeikh Kuala. Artinya kehebatan dan kealiman Syeikh Kuala akan setara dengan kealiman seribu hingga dua ribu manusia lain. Dalam bahasa Arab ditamsilkan dengan kalimat "Rajulu yusaawi uluufa rijaali" (Seorang laki-laki yang sama nilainya dengan beribu-ribu laki-laki).

    “Beliau adalah Qadhi Malikul Adil, pada Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sulthanah Safiatuddin Meukuta Alam,” ujar salah seorang Ahli Waris Makam Syiah Kuala, Machmud Ika, kepada Waspada belum lama ini.

    Machmud mengaku keturunan kedelapan dari Syiah Kuala. Makanya tak heran, bila dia faham betul dengan leluhurnya. Karena itu kehebatan Syiah Kuala memang tidak boleh dinafikan di Aceh. “Beliau terkenal ke seantero Indonesia, kepulauan Melayu dan bahkan dunia,” sambung dia.

    Silsilah

    Seperti disebutkan tadi, nama asli Syiah Kuala adalah Abdurrauf. Nama lengkapnya Syeikh Amiruddin Syeikh Abdurrauf Al- Fanshury As-Singkly. Dia lahir pada 1001 H (1593 M) di Singkil sebuah perkampungan di pesisir pantai di Aceh.

    Ayahnya bernama Ali Al- Fanshury yang tak lain pengasas Sekolah Agama Dayah Simpang Kanan dan seorang ulama terkenal di daerahnya. Nama Fanshury diakhir namanya adalah dilakabkan dari salah seorang guru idolanya yakni Hamzah Fanshury.

    Dia mendapat pendidikan awal dari ayahnya sendiri di Dayan Simpang Kanan, di kawasan pedalaman Singkil. Setelah itu ke sekolah tinggi di Barus (Dayan Tengku Chik) yang dipimpin oleh Hamzah Fanshury. Di sekolah ini beliau belajar ilmu agama, sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi.

    Setelah menamatkan “kuliah” di sekolah itu, lalu meneruskan pengajian ke sekolah Samudra Pase yang dipimpin oleh Syeikh Syamsuddin As Samathrani, salah seorang ulama yang juga merupakan pengikut kepada Hamzah Fanshury yang beraliran atau faham “wahdatul wujud”.

    Pada saat Syamsuddin diangkat menjadi Qadhi Malikul Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke Mekah dan merantau ke beberapa negara Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di sana.

    Semasa di Mekah beliau tinggal di Qusyasy dan belajar dengan Sheikh Sharifuddin Ahmad Al Dajaany Al Qusyasy (1583 - 1660) bertempat di rumah Aceh. Beliau dibantu oleh muridnya Sheikh Ibrahim Al-Kauraany (1616-1689). Di Mekah, dia sempat belajar dengan Sheikh Nuruddin Ar-Raniry semasa ulama terkenal dengan faham “wahdatul syuhud” itu.

    Semasa di Arab, Syiah Kuala bergaul dengan banyak ulama terkenal yang berasal dari Indonesia seperti Sheikh Nawawi Bantan, Sheikh Abdul Samad Pettani dan lain-lain. “Beliau 19 tahun belajar di Mekah dengan 27 ulama besar di sana,” sebut keturunannya, Machmud Ika.

    Makam

    Ketika terjadi musibah tsunami 26 Desember 2004, lokasi kuburan bekas ketua Mahkamah Agung Aceh itu menjadi sorotan berbagai kalangan. Berbagai elemen berbondong-bondong berkunjung ke sana. "Para tamu asing itu menyatakan, rasanya belum 'afdhal' datang ke Aceh bila belum berziarah ke Makam Syiah Kuala," ujar Machmud Ika.

    Sayangnya, pemerintah belum memperbaiki makam Syech Abdul Rauf Al Singkili "Pemerintah pusat dan Pemda Aceh pernah berjanji akan membangun kembali kawasan Makam Syiah Kuala, namun sampai saat ini belum juga terealisasi," sambung Machmud, Ika.

    Nama Syech Abdul Rauf yang wafat pada abad 17 dalam usia 105 tahun itu diabadikan di salah satu perguruan tinggi negeri terkenal di daerah Tanah Rencong yakni Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Kini Unsyiah sudah berusia 45 tahun.

    Machmud merasa kecewa dengan rektorat Universitas Syiah Kuala, karena tak punya perhatian apapun dari lembaga itu. "Jangankan mendapat perhatian, para dosen dan mahasiswa Unsyiah tidak pernah datang ke Makam Syiah Kuala, khususnya pasca tsunami," papar dia.

    Kata Machmud, nama besar Syiah Kuala sampai ke negara Turki dan Timur Tengah, Malaysia, sehingga pasca tsunami banyak relawan negara asing menyempatkan diri berziarah ke makam tersebut.

    Namun, Machmud sangat menyayangkan, di tengah banyaknya arus penziarah, kompleks makam Syiah Kuala yang luasnya 2,6 hektare hanya terdapat sebuah mushalla dan fasilitas MCK seadanya.

    Sedangkan makam dibangun sederhana oleh ahli waris dengan rangka kayu dan atap seng. Di samping makam terdapat bangun berukuran 5x2 meter untuk peziarah membacakan doa dan shalat sunah.

    Menurut ahli waris makam, ketika Azwar Abubakar menjabat Pelaksana tugas Gubernur Aceh , dia pernah menyatakan bahwa Pemda telah menyediakan dana Rp1,5 miliar untuk merehab makam tersebut dan bangunan lainnya.

    Begitu pula dengan Departemen Sosial juga sudah menyediakan dana Rp1,4 miliar untuk membangun cungkop (rumah) Makam Syiah Kuala, dan Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias juga menyediakan dana Rp818 juta untuk membuat pagar.

    "Namun, janji-janji itu hingga saat ini belum juga terealisasi. Harapan kita agar kompleks makam ini segera dibangun, karena ini peninggalan sejarah," ungkap Machmud prihatin. Tapi sayang tak ada yang menangkap keprihatinan itu.


Top