Pulau Weh sarat potensi. Sebagai sentra pariwisata, Sabang punya segalanya. Mulai dari danau, sumber air panas, hutang lindung, hingga mineral. Jangan cerita soal panorama bawah lautnya; nomor satu di dunia. Pantai berpasir putihnya juga. Sabang is very beautiful...!

    * * *

    DAVID Sandler berulang kali bilang; Sabang is very beautiful...! Pria asal Amerika Serikat ini tidak sesumbar atau sengaja memuji. Meresapi panorama Sabang membuatnya jatuh hati. Sandler mengaku sulit mengungkapkan dengan kata-kata. Hmmm…

    Tiba-tiba matanya terpejam. Hmmm…, dia kembali menarik nafas dalam-dalam. Saat ditemui Waspada akhir pekan lalu, David sedang weekend dengan rekan-rekannya di Pantai Gapang. Gapang salah satu objek wisata di Kota Sabang, selain Pantai Iboih.

    Pria berusia 29 tahun ini sudah berulangkali ke Sabang. Tak heran jika dia dapat kesempatan datang berkali-kali. Sebab, sudah setahun dia Aceh. Bahasa Indonesia tidak begitu lancar.
    Dulunya dia berkerja di sebuah Non Government Organization (NGO). Satu dari ratusan NGO yang ikut membantu korban tsunami di Tanah Rencong.

    Sekarang dia menjadi dosen tamu di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. Dia faham akan teori rakit roket, namun menitik berat pada ilmu mesin. Sandler juga mengajari bahasa Inggris dan mentranslet proposal-proposal ke dalam bahasa dia.

    Selama di Serambi Mekah, David Sandler kini kian popular dengan panggilan “Daud”. “Saya senang juga dipanggil Daud,” katanya. Tak ada yang istimewa pada nama itu. Cuma beda Barat dan Timur saja. Seperti Abraham di Barat, disebut Ibrahim di Timur. Sama juga dengan Yusuf yang di Barat disapa Yosef.

    Untuk liburan akhir pekannya, Daud alias David kerap mengarung Selat Malaka; berlabuh ke Gapang. Dengan belasan rekan-rekannya, Daud meninggalkan Banda Aceh yang penat dengan seabrek rutinitas. “Di sini alamnya indah, bikin pikiran tenang,” ujar dia.

    Barbara juga senada. Wanita Prancis ini sama dengan Daud. Dalam perjalanan antara Pulau Rubiah dengan Teluk Sabang, dia mengekspresikan kekagumannya. “Woooww…, air lautnya bening sekali,” kata gadis Paris yang bekerja pada sebuah NGO di Tijue, Pidie.

    Rekan dia, Jhon juga tak jauh beda. Meneropong dasar bagai melihat lewat lapisan kaca, membuat pria berambut kribo pirang itu menyimpan pesona. Rasa lelah sebulan bekerja bisa hilang disapu riak Rubiah yang menderu tenang.

    Tapi bagi Daud, dia bukan semata-mata mencari ketenangan. Kenyamanan menjadi tujuan selanjutnya. Kenyamanan itu yang kurang didapati pria berkaca mata ini. Bagaimana tidak, pasca tsunami Pantai Gapang belum berbenah. Ini bisa membuat turis tak betah.

    Fasilitasnya masih sisa-sisa tsunami. Itu kalau tak ingin disebut sisa “purbakala”. Bungalow ada tak terawat. Kursi rehat banyak yang meujungkat (jungkir). Mungkin ini bisa dimaklumi. Karena sudah tiga tahun –sejak konflik– dia tanpa penghuni. Kondisinya miris.

    Tanpa sarana, jangan harap turis kerasan. Daud menekan poin ini. “Itu harus mendapat perhatian. Perlu perbaikan fasilitas segera untuk menarik turis lebih banyak lagi,” urai laki-laki yang hobi main bola ini.

    Mengutip Daud, banyak yang harus dibenahi untuk memanjakan turis. Jadi bule-bule itu bukan cuma berenang di laut. Mereka juga ingin berenang di kolam renang. Lengkap dengan air panasnya. Begitu pula toilet harus lebih baik dan memadai.

    Pria berambut ikal ini ingin bilang pariwisata harus dikelola dengan profesional. Syahrial, 35, tahun sepakat dengan Daud. Syahrial, orang lokal. Tinggalnya di Sindoro Kota Atas. Sebelum tsunami, dia punya geleri di situ. Usahanya menjaul souvenir serta pernak-pernik lainnya dan rental alat-alat selam.

    Musibah 26 Desember 2004 itu melumat semuanya. Kini dia memulai dari nol lagi. Usahanya tetap menjual benda-benda seni seperti sebelum tsunami. “Pariwisata itu memang harus dikelola oleh orang yang berjiwa seni,” paparnya.

    Dia bilang, pariwisata itu hidup berdempetan dengan alam. Makanya segala fasilitas meniru nuansa natural. “Jangan kita bikin sarana seperti pemerintah bangun,” keluh dia. “Yang dicari turis kan suka nuansa alamnya.”

    Memang, di objek wisata Gapang sejumlah kursi dibangun dari beton dilapisi keramik putih kehijau-hijauan ukuran 20 x 20 cm. Tapi, tak banyak lagi yang tersisa. Sebagian sudah digulung ombak. Katanya, turis juga jarang duduk di situ. “Banyak yang milih di kursi plastik,”

    Syahrial berani menilai, yang dikembangkan pemerintah daerah bukan pariwisata. Akan tetapi semata-mata mencari proyek. “Makanya seperti ini,” kata pria berpredikat “Pemuda Pelopor Pariwisata” ini. Gelar itu dianugerahi Menteri Pemuda dan Olahraga pada 2001.

    Kondisinya seakan menambah runyam. Lihat saja pantainya. Pasir putih berserak sampah. Mulai dari daun kering, hingga batang-batang kayu tua. Termasuk tangan jahil yang buang sampah sembarang. Ini merusak keindahan.

    “Padahal sudah ada peringatan, jangan buang sampah sembarangan,” tambah Dodent. Tapi sial, “Tak ada yang peduli.” Dodent adalah figur paling tenar. Bukan cuma di Sabang, turis-turis asal Eropa paling akrab dengan namanya.

    Pria ubanan ini nama aslinya Mahyuddin. Dia pelaku wisata. “Jangan tanya saya kenapa lebih popular nama Dodent,” cetusnya dengan mimik tak serius. Dia manusia pertama yang mengelola usaha rental alat-alat diving (menyelam) di Pantai Iboih. “Turis-turis asing yang paling senang diving.”

    Bukan Cuma dilarang buang sampah. Warning lain pun dipasang, yakni soal terumbu karang. Bicara biota laut ini, Dodent selalu cemas. Sebab banyak tangan usil yang berotak perusak. “Dibandingkan belasan tahun lalu, kini terumbu karang tinggal 10 persen lagi,” sebut dia.

    Sisanya ke mana? “Dibom, dicuri tangan-tangan jahil. Menunggu tumbuh lagi butuh waktu lama. Satu tahun saja bisa tumbuh hanya lima centimeter saja,” ujar pria asal Garot, Pidie ini sedih. “Makanya kami tulis jangan injak terumbu karang beracun.”

    Begitulah. Sentra wisata yang punya nilai jual tinggi dibiarkan terbengkalai. Meski fasilitas masih seadanya, Daud tetap bilang; Sabang is very beautiful...!


Top