Dalam lautan bisa diduga, dalam hati siapa tahu. Begitu kira-kira tamsilan dua kutub hati anak korban konflik di Aceh. Bisa saja rasa benci dan dendam meletup seketika. Bila tak ’dikelola’ bisa bahaya. Sektor ini kelihatannya agak ’disepelekan’ dalam masalah reintegrasi di tanah rencong.

    Buktinya, pembinaan mental anak-anak nyaris tak berdengung. Padahal, dua katub itu yang memberi garansi lestari atau tidak perdamaian di tanah Serambi Mekah. Lantas, di mana peran kaum ulama? Wartawan Waspada, Munawardi Ismail, menelisik kealpaan itu dalam laporannya.

    *****

    MAGRIB baru saja turun di ujung gang terakhir Lueng Bata. Hari pun segera berganti malam. Suara zikir tak berhenti bergema di lantai dua salah satu bangunan di sudut gang itu. Sekira empat puluhan anak-anak bersimpuh di sana.

    Haris, Rudini, Lukman, Amrizal serta rekan-rekannya kusyuk bertasbih. Zikir usai shalat magrib menjadi rutinitas anak-anak penghuni Markaz Al-Ishlah Aziziyah. Semuanya ada 93 orang. Panti itulah yang berada di rawa Lueng Bata.

    ”Mulai dusun, gampong, dan kecamatan semua namanya Lueng Bata,” sebut Tgk H Bulqaini Tanjungan sembari senyum tipis. Pria inilah yang menjadi pimpinan markas ini. Dialah ’ayah’ sekaligus ’ibu’ bagi yatim piatu tersebut.

    Bocah-bocah yang bersila itu amat istimewa bagi Bulqaini. ”Ini anak-anak korban konflik semuanya,” kata dia. Hanya beberapa orang dari anak ini yang selamat dari musibah tsunami. Mereka bak permata yang senantiasa menerangi relung hatinya.

    Bagi pria kelahiran 39 tahun silam ini, perdamaian terasa hambar bila mereka ditelantarkan. ”Untuk apa MoU ini, MoU itu kalau anak-anak ini dibiarkan dengan jiwa gersang,” sebutnya.

    Bagi ayah tiga anak ini, Memorandum of Understanding (MoU) yang diteken di Helsinki 15 Agustus 2005 itulah yang mengawali jalan damai di Serambi Mekah. ”Tapi damai juga tak boleh mengabaikan anak korban yang masih trauma,” ucap dia.

    Kata Bulqaini, semuanya akan buyar bila anak-anak itu hidup ’liar’. Ya, sebab di tangan merekalah nasib Aceh ke depan akan ditentukan. Bocah yang kita maksud adalah anak-anak korban konflik. Mereka datang dari latar yang beragam.

    Di sini, ada anak yang jalan hidupnya saling berseberangan. Tidak hanya etnis, tetapi juga daerah asal mereka juga berbeda. Sebagian besar berasal dari Aceh, sisanya, Jawa, Padang, dan sebagian campuran Aceh-Jawa-Gayo-Padang.

    Ada yang berasal dari pesisir timur Aceh, pesisir barat Aceh, Aceh Selatan, Aceh Tengah sampai Bener Meriah, pedalaman Aceh Utara. Bocah-bocah itu menderita jiwa raga akibat konflik di tanoh Aceh.

    Yakni ada anak mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka yang meninggal dalam kontak tembak dengan TNI, ada anak TNI yang tewas ditebas GAM, serta anak warga biasa yang tak terlibat dalam pusaran konflik.

    Bukan cuma itu, mereka juga mengusung rasa yang sama, yakni dendam. Bagi suami Rosmaida itu jika ini dibiarkan, bukan tak mungkin suatu saat nanti damai akan kembali tercabut dari Aceh. Sulit melestarikan perdamaian.

    Karena itulah, Bulqaini menjadikan agama sebagai solusi untuk mendidik anak-anak konflik. Dia pun rela menjadi jembatan penghubung persaudaraan yang rusak dalam tiga dekade terakhir.

    Dalam konteks ini, nampaknya bekas Rais Am Rabithah Thaliban Aceh ’berjuang’ sendiri. Dia mengumpulkan seluruh anak-anak yang tak berharap petaka ini menimpa mereka. Sedangkan pemerintah dan bahkan Badan Reintegrasi Aceh Damai pun terasa mengabaikan.

    ”Pembinaan mental anak-anak itu juga kita perhatikan dan itu sangat penting,” kata Koordinator Bidang Sosial dan Budaya BRA, Prof Dr Ir H Hassan Su’ud kepada Waspada kemarin. ”BRA juga sudah memikirkan itu, tapi belum jalan.”

    Belum Fokus

    Selama ini, badan reintegrasi itu lebih fokus ke masalah lain, yakni ’pembangunan’ fisik semata. Selama ini BRA mengaku lebih fokus pada masalah yang lebih besar dulu. ”Kita masih mengurusi masalah rumah yang sangat banyak.” ujarnya.

    Bahkan untuk kerangka kerja 2007 saja, BRA mengaku belum fokus ke pembinaan mental. ”Padahal ini juga masalah besar ke depan. Efeknya akan kita rasakan 10-15 tahun mendatang,” timpal guru besar Fakultas Pertanian Unsyiah ini.

    Pun demikian, Hassan mengaku, pihaknya tidak menutup mata dengan masalah ini. Untuk melestarikan perdamaian, Hassan melihat sektor ini menjadi amat urgen. Kendati pada sisi lain dia mengakui hingga kini BRA belum mengurusinya.

    Terkait dengan itu, mereka pun tak tinggal diam. Jalan menuju ke sana sudah dirintis sejak lama. Lagi-lagi yang terkendala di sektor dana. Katanya, BRA akan berupaya masuk lewat pintu budaya.

    Hassan mengistilahkan peuleupie hatee alias penyejuk hati. Itu sangat perlu, sehingga tidak membangkitkan lagi dendam yang sudah usang. Targetnya damai bisa langgeng dan membumi sepanjang masa.

    Mendidik anak-anak korban konflik agar tak terbebani dengan sejarah hidupnya yang kelam bukan sebatas beban institusi resmi. Pendekatan komunal akan sangat efektif. Artinya semua stakeholder wajib terlibat di dalamnya. Mulai dari keluarga, ulama dan umara (pemerintah), sampai ke individu-individu.

    Tapi untuk yatim piatu korban konflik sendiri sampai saat ini belum ada data valid. Begitu pun BRA kabupaten-kota sudah menyetor data pada pertengahan Februari ini. Total yatim piatu tersebut adalah 39.194 jiwa. Sayangnya, mereka tak membuat usia dan klasifikasi gender.

    Rinciannya dapat dilihat sebagai berikut; Kota Sabang sebanyak 34 jiwa, Banda Aceh (356), Kabupaten Aceh Besar (1.158), Pidie (6.716), Bireun (7.514), Aceh Utara (5.910), Kota Lhokseumawe (1.964), Aceh Timur (5.592), Kota Langsa (962), Aceh Tamiang (1.242).

    Lalu Kabupaten Bener Meriah (2.028), Aceh Tengan (1.210), Gayo Lues (152), Aceh Jaya (416), Aceh Barat (342), Nagan Raya (1.030), Aceh Barat Daya (886) dan di Aceh Selatan berjumlah 1.682 orang.

    Sementara dari tiga kabupaten lain yakni, Aceh Singkil, Aceh Tenggara dan Simeulue tidak ada data. ”Tahun 2007 ini rencananya kita akan memberikan beasiswa kepada anak korban konflik,” kata Yusny Saby, ketua BRA kepada Waspada di sela-sela Pelatihan Jurnalisme Damai untuk Liputan Reintegrasi Aceh di Berastagi, pada Senin (29/1) lalu.

    Acara tersebut digelar Yayasan KIPPAS (kajian informasi, pendidikan dan penerbitan Sumatera) yang disokong Uni Eropa. Ada 15 jurnalis Aceh yang mengikuti kegiatan dalam program ”Peningkatan Kapasitas Profesionalisme Jurnalis untuk Mengawal Proses Perdamaian di Aceh”.

    Kini Yusny cabut dari BRA. Dia mengundurkan diri. Posisinya diganti Korbid Ekonomi, Dr Islahuddin sebagai pelaksana tugas sementara. Program beasiswa untuk yatim konflik akan terus berlanjut.

    Tapi sayang, kendalanya sudah menghadang. Pasalnya, dari Rp700 miliar dana yang dianggarkan tahun 2007, pemerintah ’hanya’ mengabulkan Rp250 miliar saja. ”Soal dana ini memang yang menjadi kendala. Kita harapkan gubernur Aceh Irwandi menaruh perhatian,” Hassan Su’ud berharap.

    Oleh karena itu, dia menginginkan agar lembaga pendidikan seperti pesantren (dayah) bisa mengambil peran di sini. Tentu saja seperti yang dilakukan Tgk Bulqaini Tanjungan. ”BRA sudah jajaki lewat pertemuan awal dengan kalangan ulama,” sebut Su’ud.

    Tak Punya Dana

    Bukan hanya ulama dayah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Dewan Masjid, Majelis Adat Aceh serta semua elemen juga dilibatkan dalam proses ini. ”Ulama siap mendidik dan mengasuh mereka dengan pengetahuan agama,” sebut Tgk H Daud Zamzamy.Wakil Ketua MPU ini ketika ditanya Waspada mengatakan menabur agama dan siraman rohani dalam jiwa mereka menjadi salah satu solusi yang bisa meredam embrio konflik di masa mendatang.

    ”Orang agak sukar diinsafkan bila bukan dengan ilmu agama. Karena itu ulama siap sedia mendidik dan menampung mereka sehingga menjadi manusia yang baik, yang tidak ada sama sekali dendam kesumat di antara mereka,” paparnya.

    Daud Zamzamy yang juga pimpinan pesantren Riadus Shalihn, Kuta Baro, Aceh Besar itu mengaku pihaknya baru mampu sebatas mendidik dan menerima kedatangan mereka. ”Kalau mencari dan mengumpulkan mereka, kemampuan kami kurang,” katanya.

    Kendala kemampuan itu terkait dengan finansial. Dana minim. Meski begitu, Abu Zamzamy juga memberikan solusi. Bisa ditanyakan kepada tokoh masyarakat setempat mana yang layak dan patut. ”Sebab keinginan kita aman dan damai itu abadi,” sebut dia.

    Seperti disebut Abu Kuta Baro itu, soal menampung yatim konflik, banyak dayah di Aceh sudah melakukan itu. Tapi bukan seperti yang dilakukan Tgk Bulqaini. ”Hampir semua dayah ada santri yang jadi korban konflik,” timpal pimpinan dayah Mahyal Ulum, Aceh Besar, Tgk H Faisal Ali.

    Katanya, setahu dia, banyak dayah di Aceh yang menampung dan mendidik anak korban konflik. Tapi jumlahnya beragam. Dayah-dayah itu antara lain, Dayah Ummul Aiman dan Mudi Mesra di Samalanga, Bireuen, Malikusshaleh, Panton Labu, Aceh Utara, Ruhul Fatayat, Seulimeum dan Mahyal Ulum, Aceh Besar.

    Untuk melestarikan damai ini, Faisal Ali mengharapkan komitmen pemerintah yang sudah menjanjikan dana reintegrasi. Bantuan tersebut hendaknya disalurkan sesuai janji, dan transparan sehingga mereka bisa merasa manfaat.

    Itu solusi ’kecil’ dari Ketua Rabithah Taliban Aceh, terutama bila ingin melestarikan perdamaian membumi di Nanggroe endatu. Karena itu, jangan biarkan anak-anak korban konflik memelihara dendam di hatinya. Sebab bisa ”mengancam” usia perdamaian.

    RUDINI baru saja selesai shalat Magrib. Senyum tipis mengembang dibibirnya ketika disapa Waspada, pekan lalu. Dia ditemani, ’ayah’ sekaligus gurunya; Tgk H Bulqaini Tanjongan. Kisah hidupnya memang kelam, tapi jiwanya yang besar.

    Namanya memang sama dengan bekas menteri di zaman Soeharto. Rudini, si Menteri Dalam Negeri itu kini sudah uzur. Tapi Rudini yang satu ini usianya masih 13 tahun. Dia salah satu korban dari pertikaian panjang yang memberangus Aceh.

    Rudini kecil lahir di Desa Cot Geureudong, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen. Kulitnya sedikit gelap, segelap kisah hidupnya. ”Ayah saya dibunuh GAM,” kata putra kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Yusmadi dan Nazimah.

    Itu kata terakhir yang keluar dari anak berdarah Jawa dan Aceh itu. Lalu, seketika bola mata lembab. Bulir bening menetes satu... satu. Kemudian tangis pun tak dapat dibendung. Dia sesegukan.

    Kedukaan Rudini amat dalam. Sampai-sampai dia tak kuasa melanjutnya kisah hidupnya. Hanya sepenggal yang sempat dia utarakan. Temannya Amrizal,13, dan Lukman,12, berusaha menenangkan Rudini. ”Kami di sini senasib.”

    Ketiganya menetap di Markaz Al-Ishlah Aziziyah. Amrizal dan Lukman sama-sama warga Desa Batee Pila, Kecamatan Nisam, Aceh Utara. Kedua orang tuanya tewas digasak peluru panas aparat keamanan.

    Rizal pun bercerita. Suatu hari di tahun 2000, mendekati lebaran, ayahnya sedang shalat di surau (Aceh: Meunasah) kampung setempat. Kabarnya ada gerombolan bersenjata yang melarikan diri ke kawasan itu.

    Tak lama kemudian, peluru pun menyalak ke dalam meunasah. ”Pada rakaat kedua ayah meninggal setelah ditembak,” kata pelajar Kelas 1 SMP Islam Ibnu Khaldum Lueng Bata ini mengutip cerita orang tuanya.

    Amrizal anak ke-5 dari tujuh bersaudara dari pasangan Ismail dan Nuraini. Ibunya kita tinggal di kampung halamannya. Setahun sekali di menjenguk orang tuanya di sana. Tapi dia sudah betah tinggal Lueng Bata, makanya jarang pulang.

    Kisah Lukman juga tak jauh beda. Anak ke-8 Usman dengan Syamsiah itu bercita-cita menjadi pilot Angkatan Udara. ”Awalnya saya dendam, tapi Tu mengajari kami supaya tak dendam lagi,” katanya. Tu adalah panggilan takzim untuk Bulqaini.

    Bukan hanya mereka, Husnul Makhyar, Nur Fatimah dan sikembar Mufazar dan Mufazir asal Desa Pinta Rimba, Trumon Aceh Selatan juga bernasib sama. ”Selama di sini kami sudah bersaudara, makanya kami tak dendam lagi,” sambung Lukman.

    Cerita Harisman lain lagi. Dia anak tentara. Ayahnya Jufri MS, bertugas di Kodim 0105 Aceh Barat. Haris tinggal di Asrama Kodim tersebut. Dia anak kedua dari empat bersaudara. Ibunya Nurajiati.

    Menurut Haris, ayahnya diculik di Simpang Empat Jeuram, Kabupaten Nagan Raya ketika sedang berada di sana. Jaraknya sekira 30 km dari tempat tinggal mereka. Dia tak ingat lagi kapan persisnya peristiwa yang merenggut nyawa sang ayah terjadi? Namun yang pasti pada suatu hari di tahun 2000.

    ”Saat itu saya masih di sekolah. Waktu dibilang ayah meninggal saya tak percaya. Saya asyik main-main dengan teman-teman di sekolah,” cerita manta siswa MIN Johan Pahlwan itu.

    Sama halnya dengan Amrizal, Haris pun mengaku tak berpikir lagi untuk menuntut balas. ”Kami di sini sudah seperti saudara, main dan bakar ikan bersama. Tak ada lagi dendam dihati saya. Awal-awalnya iya, saya dendam juga, tapi ustazd di ini bilang kita tak boleh dendam. Kita harus ikhlaskan saja,” kata siswa SMP Islam Ibnu Khaldun, Lueng Bata ini.

    Keikhlasan itu juga diungkapkan Nurbaiti,45, janda Ayah Sofyan, jurubicara GAM Aceh Besar. Kini dia hidup dengan lima anaknya yang sedang beranjak remaja. Untuk membiaya kebutuhan hidup dia terpaksa kerja apa saja asalkan halal.

    ”Saya sudah bilang ke mereka untuk rajin-rajin mengaji dan sekolah. Ikhlaskan kepergian orang tuanya,” kata ibu Haris Munandar, Syukrina, Muhammad Iqbal, Zulkarnen, dan Edi Kurniawan itu.

    Namun, dia mengeluhkan kurangnya perhatian. Dia pun merasa kesulitan membiaya sekolah anak-anaknya. Apalagi bantuan sangat minim. Meski demikian, Nurbaiti berhasrat tak membiarkan anak-anaknya terlantar.

    Tapi, tapi tak tahu harus bagaimana. Lantas siapa yang akan bertanggungjawab dengan pendidikan dan masa depan mereka nanti, jika bukan kita.


Top