"Umong meuateung, lampoh meupageu, rumoh meuadat, pukat meukaja"

    BAHARUDDIN nama pria itu. Usianya lima tahun lagi baru genap setengah abad. Posisinya Panglima Laot Lamteungoh, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Sudah lima tahun terakhir ’jabatan’ adat itu di pundaknya. Tugas adatnya sedikit berat.

    Bahar, begitu dia disapa juga rangkap ’jabatan’. bukan hanya dikenal sebagai Panglima Laot. Dia juga keusyik atau kepala desa di kampungnya.”Saya hanya menjalankan kepercayaan masyarakat,” katanya kepada Waspada di Desa Lamteungoh baru-baru ini.

    Kepercayaan itulah yang terus dilakoni pria yang seluruh anggota keluarganya tewas dalam musibah dahysat tsunami. Gelombang gergasi itu merenggut semuanya. Tapi tidak semangat hidup lelaki kulit gelap itu. Tugasnya adalah menegakkan aturan adat untuk para nelayan.

    Semangat itulah yang dia usung untuk menjaga kembali lingkungannya pascatsunami.

    "Umong meuateung, lampoh meupageu, rumoh meuadat, pukat meukaja—sawah ada pematangnya, kebun ada pagarnya, rumah ada tata tertibnya dan jaring ada tandanya,” tukasnya sembari mengutip sebuah petitih Aceh.

    Karena itu, pascatsunami dia berharap, untuk mengelola kembali lingkungan Aceh, semua elemen perlu berpaling ke belakang. Ada kearifan lokal yang dilanggar. ”Aceh punya pola sendiri dalam mengatur masalah ini,” ujarnya.

    Kearifan yang dimaksud Bahar—begitu dia disapa, bukan hanya di laut, tapi di blang (sawah), gle (ladang) dan uteun (hutan). Uniknya, masing-masing ’lembaga’ adat itu punya struktur tersendiri. ”Ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Aceh dipimpin Iskandar Muda,” sambung Pawang Hasan, Panglima Laot Lhong, Aceh Besar.

    Dalam tatanan adat itu, nama di laut disebut Panglima Laot, Keujruen Blang di sawah, Peutua Seuneubok di ladang dan Pawang Uteun atau Panglima Uteun untuk yang mengawasi di hutan. ”Selama ini yang masih eksis hanya Panglima Laut,” kata Sulaiman Tripa, seorang peneliti masalah kebudayaan lokal di Aceh.

    Katanya, lembaga-lembaga inilah yang punya wewenang untuk menjaga wilayah masing-masing. ”Peutua Seuneubok itu punya wewenang untuk menjaga pinggiran hutan agar tak ditebang sembarang lalu dijadikan ladang,” papar dia.

    Peutua Seuneubok, tambah penulis Aceh itu juga bertugas mengawasi pembukaan ladang-ladang baru oleh masyarakat. ”Masyarakat tak boleh sembarangan membuka ladang baru tanpa sepengetahuan Peutua Seuneubok,” jelasnya.

    Hal yang sama juga berlaku di sawah. ”Keujruen Blang-lah yang mengatur masalah pembagian air bagi petani di sawah. Dia juga yang mengatur kapan warga turun ke sawah dan bagaimana teknik pembagian airnya,” sambung dia.

    Panglima Laot Aceh, HT Bustaman malahan menilai, jika kearifan lokal yang sudah disebutkan tadi berjalan, ”Saya kira sangat membantu pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan di dalam kehidupan masyarakat,” tambahnya.

    Pawang Zakaria dari Krueng Raya, Aceh Besar juga mengatakan hal yang sama. ”Bila semua komponen adat ini bisa berjalan normal, saya yakin tak perlu khawatir dengan lingkungan Aceh. Unsur inilah yang perlu dilibatkan dalam melestarikan lingkungan di Aceh,” urai pria yang juga Panglima Laot itu.

    Menurutnya, jika manusia tak serakah dan taat pada ketentuan adat, maka tak perlu dikhawatirkan. ”Kalau kita taat pada adat, tak akan kejadian seperti di Aceh Tamiang,” tukas dia. ”Kearifan-kearifan itulah yang perlu dilestarikan,” timpal Haikal, seorang aktivis Aceh lainnya.

    Memang, sekira 23 Desember 2006 lalu, enam kabupaten di Aceh diserang banjir. Daerah itu adalah Aceh Tamiang yang melanda 12 kecamatan, Aceh Timur (5 kecamatan), Aceh Utara (16), Bener Meriah (3), Gayo Lues (5), dan Bireuen (3).

    Data yang dilansir Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh belum lama ini menyebutkan tiap tahunnya hutan Aceh terus mengalami pengurangan luas akibat deforestrasi yang mencapai kurang lebih 20.796 ha per tahun. Selama tahun 2005-2006 diperkirakan deforestasi hutan Aceh mencapai angka 266.000 ha atau setara empat kali lipat luas Singapura dengan luas degradasi mencapai 2,2 juta ha, setara 44% dari total luas daratan Aceh.

    Menurut Walhi, laju pengurangan luas hutan ini disebabkan oleh makin tingginya aktivitas pembalakan liar yang dipicu oleh proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Kerusakan hutan ini juga diikuti oleh rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Aceh, kurang lebih 46,40 persen atau 714.724,38 ha DAS di Provinsi Aceh mengalami kerusakan dari 1.524.624,12 ha total luas DAS di Aceh.

    Masih menurut lembaga pemerhati lingkungan itu, Banjir yang terjadi di tujuh daerah Aceh akhir tahun lalu juga disebabkan oleh rusaknya empat DAS yang mengaliri daerah tersebut, yaitu DAS Peusangan di Kabupaten Aceh utara, DAS Tripa di Kabupaten Gayo Lues, DAS Tamiang di Kabupaten Aceh Tamiang, dan DAS Jamboaye di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara.

    ”Kerusakan empat DAS tersebut rata-rata telah mencapai 50 persen,” kata Dewa Gumay dari Divisi Kampanye dan Advokasi Walhi Aceh. ”Kerusakan hutan dan DAS tersebut dipicu oleh maraknya aktivitas pembalakan liar.”

    Baharuddin sendiri merasa prihatin ketika diperlihatkan data-data yang ditelaah Walhi itu. Dia hanya berkata singkat, ”Kita semua salah. Mungkin tak ada salahnya jika untuk membendung keserakahan kita dengan kearifan yang sudah hidup turun temurun di masyarakatnya,” imbuhnya. [Munawardi Ismail]


Top