SEBUAH ketukan di pintu kamar, membuat saya terjaga. Hari itu sudah senja. Belum sempat saya menyapa, dia sudah duluan buka suara. "Ini undangannya, kamu datang nanti malam ya," tukas pria gaek berambut keriting itu sembari menyerahkan dua lembar undangan. Penampilannya biasa. Malah terkesan urakan.

    "Ini buat si Agam satu, satu lagi untuk kamu. Si Agam nggak bisa datang. Kamu nanti malam harus hadir," katanya. Agam yang dimaksud tak lain rekan saya di Aceh Tamiang. Namanya Agam Fawirsa, seorang seniman, yang juga rekan kental si pengantar undangan.

    Undangan hitam selebar amplop putih itu tertulis; Presiden Rex Hasbi Burman Malem Diwa D'tround. "Pria ini memang aneh, sudah tahu dirinya 'Presiden' tapi masih gemar antar undangan," saya bergumam, setelah pria itu berlalu tanpa permisi. "Mungkin inilah caranya seniman. Acara sendiri, antara undangan juga sendiri."

    Siapa pun dia, pria itu masih akrab dengan kami; rekan-rekan di Waspada Banda Aceh di bilangan Peunayong. Kawasan ini seakan sudah menjadi daerah "kekuasaanya". Dia selalu memakai sandal jepit ke mana pun bepergian. Kendati seorang presiden, pria berusia 63 tahun ini bukanlah pemimpin negeri. Tapi dialah yang dijuluki sebagai Presiden Rex!

    Pria kelahiran Lhok Buya, Calang, Kabupaten Aceh Jaya, ini sejak 1991 silam kerap disapa presiden. Dia nyaman dengan gelar yang dilakabkan oleh Kompas ini. Pada mulanya Hasbi hanyalah seorang tukang parkir yang sering mangkal di Pasar Ikan Peunayong, Jalan Perdagangan Pasar Aceh, dan Rex Peunayong.

    Malam Sabtu (25/5) itu menjadi malamnya Hasbi Burman. Di mana dia merasa dinobatkan "kembali"
    sebagai Presiden Rex oleh sebuah komunitas yang bernama Parte-Sa.
    Di sinilah pria yang bekas tukang parkir itu membacakan 20 puisinya. Hasbi tidak sendiri. Sejumlah pejabat dan istri pejabat juga tampil uji bakat.


    Burman mengakui banyak puisi yang ditulisnya tentang cinta, kerinduan, dan perempuan. Apalagi, perempuan bisa memberikan inspirasi baginya dalam merangkai kata menjadi puisi indah yang memukau.

    Pada suatu waktu, Hasbi Burman pernah mengatakan bahwa dia belum menemukan cinta seutuhnya. “Saya memang telah mempunyai seorang istri, tapi saya belum menemukan cinta yang utuh,” kata pria kelahiran tahun 1944 ini.

    Pernyataan ini membuat orang kaget. Tapi bagi Burman, ”cinta yang saya maksud bukan hanya cinta dalam artian suka. Tapi cinta adalah kehangatan, keramahtamahan, belaian, dan manja. Jujur, saya belum mendapatkannya,” jelas Hasbi. Karenanya, tak heran jika sejumlah puisi yang ditulis Hasbi Burman ada yang bercerita tentang cinta yang gagal.

    Hasbi Burman dikenal sebagai penyair yang otodidak. Kemampuannya merangkai kata menjadi puisi tidak dipelajarinya di universitas. Menurut Hasbi, kesukaannya menulis puisi mulai tumbuh sejak duduk di bangku kelas empat Sekolah Rakyat (setingkat Sekolah Dasar –red.) di Calang, 1958 silam.

    Rex seakan menjadi rumah bagi seorang Hasbi. Di pusat jajanan yang dikepung pertokoan dan hotel ini, Hasbi semakin meneguhkan dirinya sebagai seorang penyair yang dikenal banyak kalangan. Makanya tak heran, jika Rex malam itu, ratusan penonton tak beranjak dari lokasi acara. Apalagi seniman gaek Udin Pelor tampil sebagai pembawa acara.

    Aksi panggung Hasbi Burman benar-benar disukai para penonton. Terlebih lagi dialog segarnya dengan penyanyi anyar Aceh, Rafly. Penampilan Hasbi yang dimulai pada pukul 22.00 WIB dibuka dengan film dokumenter yang merekam kehidupan sehari-hari sang presiden, termasuk saat dia mencari inspirasi untuk puisi-puisinya yang sarat makna.

    Usai pemutaran film pendek berdurasi 23 menit itu, Hasbi Burman tampil dengan membacakan puisi. Semalam Suntuk Bersama Hasbi Burman juga dimeriahkan dengan lantunan lagu Aceh yang dibawakan Rafly, dan Saleum Group. "Hasbi memang seniman yang patut dihormati," kata Sarjev, seniman lainnya.

    Malam minggu kemarin itu, bukan hanya Rex yang menyambut kembalinya sang presiden. Namun, di bilangan Ulee Kareng, sekelompok seniman muda, juga mengetarkan dunia seni Aceh. Lewat Episentrum Ulee Kareng, yang digagas Komunitas Tikar Pandan, musisi Aceh Moritza Thaher, menggelar "konser" tunggal yang memukau.

    Konser yang bertajuk Hikayat Djaman Boeroek itu menampilkan dua bagian. Dalam bagian pertama ada sejumlah hikayat tentang keburukan. Lagu "Di Babah Pinto" pun mengalir dengan syahdu. "Anda tahu siapa penciptanya," tanya pria yang akrab disapa Momo itu. Tak ada yang bisa menjawab. "Ini lah kesalahan kita." timpalnya.

    Memang, Momo menghadirkan kekacauan serta kebrutalan dalam konser musiknya. Namun, setelah kekacauan dan kebrutalan itu, lalu ditampilkan semacam utopia yang berupa harapan dan tujuan. "Ini konser musik yang menjadi malam pertama pembukaan Episentrum Ulee Kareng," kata Azhari, Direktur Tikar Pandan.

    Episentrum itu, kata dia, diberi harga yang pantas atas segala pengalaman masa silam yang hitam. "Dari episentrum ini, kita nyatakan bahwa gairah hidup kita, bukan hanya tak bisa ditaklukkan, tetapi juga telah menjelma kekuatan." tukas seniman muda ini.


Top