ACEH trauma lindu. Kemarin goyang bumi yang "dinanti" tak jadi. Lindu yang disebut juga gempa benar-benar sebatas isu. Isu pun bisa menggegerkan, karena warga memang kadung dikepung trauma. Cukup beralasan, sebab sejarah kelam tak ingin diulang. Ketika tsunami menggulung kampung Aceh dua tahun silam.

    Senin awal pekan lalu, seakan menjadi "simulasi" ketika sirene early warning system meraung keras sekali. Itu tanpa didahului gempa yang menjadi peringatan awal, berpeluang tsunami atau tidak. Tapi, efeknya, ribuan warga Banda Aceh ambil langkah seribu.

    Nah, sebenarnya kemarin isu itu mencapai klimaks. Setelah short massage service (SMS) gempa dahsyat menghebohkan. "Saya sudah pasrah. Kemana pun pergi kalau sudah mati tetap mati," ujar Musliadi, warga Punge Blang Cut, Banda Aceh ketika bincang-bincang dengan Waspada.

    Bukan hanya Musliadi yang tak peduli. Sebagian warga Ulee Lheue juga beraktifitas seperti biasa. Nelayan menjala ikan, pedagang menjualnya di pasar Keude Ulee Lheue. Yang belum berangkat kerja, kongkow di warung kopi.

    Meski beragam isu yang mengingatkan hari kelabu, 24 Desember 2004 lalu berdering di telepon selular, Aceh kemarin, sama seperti Aceh hari-hari sebelumnya. Tapi sulit dibeda antara truama dan siaga. Tak percaya, ingat saja "kesalahan teknis" di tower peringatan dini nomor 6 di Desa Kahju, Aceh Besar pada Senin lalu.

    Belajar dari kasus tersebut, Ardi Sofinar, seorang staf Palang Merah Indonesia ketika bincang-bincang dengan Waspada belum lama ini mengingatkan pemerintah ekstra hari-hati. Pasalnya, ini menyangkut dengan nyawa manusia. "Simulasi penyelamatan menghadapi bencana perlu dilakukan segera," saran dia.

    Bukan hanya itu, warga juga perlu diberi informasi tentang fungsi fasilitas escape way (jalur penyelamatan) yang sudah dibikin di sejumlah lokasi. Lalu, warga juga harus bisa membedakan bunyi sirene dengan bunyi alarm mobil pemadam kebakaran. "Itulah pentingnya informasi itu," katanya.

    Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Sa'aduddin Djamal, dan Kepala Stasiun Geofisika Mata Ie, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Aceh, Syahnan, ketika itu mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan Pemerintah Kota dan Pemerintah Aceh. "Rencananya beberapa pekan lagi, kita akan simulasi, rupanya alat ini (sirene-red) udah duluan bunyi sendiri," Syahnan berseloroh.


    “Sirene ini berbunyi tanpa ada gempa dan tsunami. Ini murni kesalahan, tidak disengaja dan direkayasa,” kata dia. Syahnan mengatakan, “Saya meminta maaf atas kejadian ini.” Pascatsunami, BMG memasang enam sirene tsunami di Banda Aceh dan Aceh Besar.

    Sejak dipasang, belum pernah diujicoba. Sirene ini langsung dikendalikan di pusat pengendalian gempa dan tsunami nasional di Jakarta dan di Medan (untuk regional). "Kini tombol pengendaliannya sudah diserahkan ke Aceh," sebut Alfin Hidayat, staf Sea Defence Consultan, kepada wartawan.

    Tentu saja, banyak pihak yang kesal dengan kesalahan sistem sirene sehingga berbunyi tanpa sebab. “Kok bisa begini?” tanya seorang warga Kajhu, saat mengetahui bunyinya sirene dikarenakan kesalahan teknis.

    “Kok bisa segampang itu dibilang kesalahan teknis. Kami sudah takut gara-gara ini, lari tunggang langgang,” tukas gadis berkulit putih yang tak mau menyebutkan namanya. Kekesalan warga Kahju dan "kahju-kahju" lainnya amat beralasan, karena itu menyangkut nyawa.

    Karena itu, pemerintah harus belajar dari "jeritan" sirene tsunami yang sudah lewat. Bukankah, tanggung jawab itu ada ditangan mereka. Jangan sampai kekesalan gadis Kahju terulang lagi, "Kok bisa segampang itu..." Makanya jangan main-main dengan maut, tuan! [Munawardi Ismail]


Top