Munawardi Ismail

    KETIKA pembabatan hutan Aceh masih marak, saat itu Muhammad Nazar pasti masih aktif sebagai aktivis Sentral Informasi Referendum Aceh. Mungkin saja dia masih mendekam dalam tahanan, baik itu dalam penjara di Aceh, atau pun juga dalam "pengasingan" di Pulau Jawa. Tapi, kini dia malah ingin menyelamatkan hutan.

    Nazar tidak sendiri. Bersama "komandannya" Irwandi Yusuf yang saat ini keduanya mengendalikan Pemerintahan Aceh ingin memperbaiki kembali "semak-semak" yang terlanjur rusak. Kerusakan itulah yang membuat banjir dan tanah longsor, baik itu di Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tamiang dan lain-lain.

    Tapi yang perlu diingat, itu semua tak terlepas dari efek gundulnya hutan dan merajalelanya para cokung kayu. Kini ketika keduanya punya "power" mereka akan duet melestarikan hutan Aceh. Tentu termasuk "membangun" kembali hutan Aceh yang sudah kritis.

    Untuk menyelamatkan hutan, pemerintahan Aceh sudah menggagas Moratorium Logging atau jeda tebang hutan. Isu ini mendapat sambutan hangat dari pecinta lingkungan, tapi ada juga yang merasa "mesin uang"-nya bakal mati. "Kita harus dukung program jeda tebang hutan ini," tukas Cut Hendon, dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh.

    Bukan hanya mendukung, Cut Hendon malah mengajak semua elemen masyarakat untuk menyelamatkan dan menjaga hutan Aceh. Apalagi sejak 2005 dan 2006 merupakan tahun yang menjadi momok paling menakutkan di belantara Aceh.

    "Bayangkan dalam sehari, dua kali lapangan bola kaki hutan Aceh gundul dan ditebang," katanya. Jumlah yang disebutkan itu jika dikalkulasi dalam satu tahun menjadi 20.796 hektar. Jadi sebesar itulah hutan Aceh rusak pertahun.

    Bagi aktivis perempuan itu, jeda tebang hutan masih sebatas slogan dan media kampanye semata. Namun akan sia-sia bila semua elemen tidak komit dengan program tersebut. Lain halnya dengan Chalid Muhammad, Direktur Walhi Nasional.

    Dia berkomentar, "Langkah yang diambil Pemerintah Aceh menyangkut jeda tebang hutan adalah “langkah yang paling masuk akal” untuk menghentikan penebangan hutan," katanya pada acara peringatatan Hari Lingkungan, Selasa (5/6) silam.

    Jeda tebang atawa Moratorium Logging diharapkan bisa mengerem aksi tebang hutan itu, minimal 15 tahun mendatang. Namun ada aktivis lingkungan yang pesimis. Pasalnya, belum lama berganti bulan, aksi pembalakan liar dan penebangan hutan tetap marak.

    "Sampai detik ini masih ada lansir melansir kayu di hutan Aceh," kata Afrizal Akmal, Direktur Eksekutif Masyarakat Penyayang Alam dan Lingkungan (Mapayah) dalam aksi demonya belum lama ini di Banda Aceh.

    Dana persimis juga diungkapkan mantan anggota DPR-RI yang kini menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang. Katanya, Moratorium Aceh akan sia-sia jika konservasi lingkungan tak diikuti dengan pemberian kewenangan yang lebih besar pada daerah.

    "Jika ini tidak dilakukan, maka sama saja dengan omong kosong. Karena yang mengerti keadaan setempat adalah pemerintah daerah yang akan selalu dikontrol oleh masyarakat di daerahnya masing-masing," katanya dalam acara Konferensi Rakyat Indonesia yang diadakan Walhi di Wisma Haji, Jakarta Timur.

    Disebutkannya, moratorium logging atau jeda tebang di Aceh akan sia-sia kalau pusat mengeluarkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Tapi Menteri Lingkungan Hidup, Rahmat Witoelar memastikan pusat akan memberikan porsi pengelolaan lingkungan yang lebih besar pada daerah. “Untuk Aceh misalnya, kita sangat mendukung moratorium yang mereka terapkan,” tukas di tempat yang sama.

    Cukong Tebus Dosa

    Terkait dengan masalah menghijaukan kembali hutan Aceh, awal bulan ini, Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar mengajak cukong-cukong kayu untuk menebus dosa atau kesalahannya melalui penghijauan kembali bumi Serambi Mekkah.

    Dia mengatakan hal itu seusai membuka Workshop, Pameran dan Pendidikan Lingkungan di gedung AAC-Dayan Dawood, Unsyiah Darussalam, Banda Aceh. Kegiatan itu bertema "Membangun Aceh Hijau Bersama". Nazar menandaskan agar dalam rangka penghijauan ini, pengusaha hutan sama sekali tidak bisa lepas tangan.

    Nazar mengatakan sebagai implementasi moratorium logging yang dicanangkan Pemerintah Aceh 6 Juni lalu, pihaknya terus bertekad menertibkan perizinan HPH maupun IPK yang beroperasi selama ini. "Mulai saat ini kita tidak akan mengeluarkan izin HPH baru atau IPK baru, karena tidak memberi dampak perekonomian yang menguntungkan dalam kehidupan masyarakat, terutama masyarakat di pedesaan," katanya.

    Nampaknya, harapan jeda tebang bakal menabrak tembok. Pasalnya Departemen Kehutanan (Dephut) RI mengatakan, meskipun provinsi Aceh sudah menerapkan moratorium logging, namun bukan berarti keberadaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Aceh dilarang beroperasi.

    "Kalau saya tidak salah ada 11 HPH di Aceh. Semuanya masih aktif," kata Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dephut, M Arman Mallolongan, kepada wartawan usai menjadi pembicara pada acara yang sama.

    Sayangnya, Arman tidak merincikan nama-nama perusahaan pemegang HPH yang beroperasi di Aceh itu. 11 HPH tersebut sudah memiliki izin yang dikeluarkan pemerintah jauh sebelum pemerintah Aceh menerapkan jeda tebang hutan sementara pada 6 Juni 2007 lalu.

    Disebutkannya, keberadaan 11 HPH tersebut dinilai penting sebagai bagian dari upaya pemerintah memenuhi pasokan kayu untuk kebutuhan rekonstruksi Aceh pasca tsunami. Meski Aceh sudah menerapkan moratorium logging, tapi tidak bisa menghentikan aktivitas HPH, karena kebijakan tersebut bersifat tentatif dan sementara.

    Menjadi urgen jika HPH itu masih di Aceh untuk diminta bertanggungjawab dalam menghijaukan kembali hutan Aceh. Harus diakui memang, keberadaan penhijauan ini sangat penting bagi kelanjutan kehidupan masyarakat Aceh terutama bagi genereasi muda dan anak cucu di masa mendatang.

    "Kepada semua pihak termasuk pejabat dan pengusaha juga kita minta sumbang sihnya menanam pohon agar bumi Aceh kembali hijau," katanya. Ini memang penting, tapi jangan sampai ketika kondisi hutan sudah kritis begini, masyarakat juga dituntut bertanggungjawab. Sedangkan HPH malah berleha-leha.

    Jika begitu jadinya, sama saja cukong kaye pajoh boh panah awak gampong keunong geutah (cukong kayu makan nangka, orang kampung kena getahnya). Semoga saja tidak seperti itu. [Munawardi Ismail]


Top