BUKU bersampul biru itu mencatat segala kegelisahan penulisnya. Dialah Doel CP Allisah, penyair Aceh, yang pada akhir pekan kemarin meluncurkan goresannya. "Kegelisahan" Doel terangkum dalam sebuah buku antologi puisi yang diberi judul “Nyanyian Miris atau The Sadness Song.”

    "Bagaimana pun Doel, salah satu penyair Aceh terkuat sepanjang sejarah sastra modern di Serambi Mekah," ujar Ahmadun Yosi Herfanda, seniman kawakan di Jakarta dalam catatannya untuk kata pengantar buku yang disugih juga dalam bahasa Inggris ini.

    Ahmadun yang juga Redaktur Sastra Harian Republika Jakarta memuji habis pria kelahiran Banda Aceh, 3 Mei 1961 itu. "Sajak-sajaknya dalam buku Nyanyian Miris ini makin membuktikan kekuatan Doel sebagai penyair yang sangat layak dan patut diperhitungkan," sebutnya.

    Menurut dia, sajak-sajak Doel itu unik, karena memiliki pola-pola puitika individu yang seperti tak tersentuh oleh kecenderunga-kecenderungan puitika yang sempat muncul di Tanah Air, khususnya Jakarta.

    Dalam kata pengantarnya, Ahmadun juga menyebutkan, membaca sajak-sajak Doel tidak hanya membaca kegelisahan hati dan pencapaian estetik seorang penyair, tapi juga kegelisahan masyarakat Aceh sebagai sebuah komunitas politik dan budaya yang ikut mempengaruhi kelahiran sajak-sajak penyair Aceh ini.

    Kata Ahmadun, sebagai penyair yang tumbuh dan berkembang di Aceh, tentu Doel tidak hanya menangkap sisi keras atau sisi gelap Tanah Rencong. Sebab, tambah dia, tentu tidaklah pas benar mengindentikkan Aceh hanya dengan kekerasan bersenjata, teror, penderitaan dan aroma kematian.

    "Aceh juga adalah representatif dari kekayaan warisan budaya yang dibangun sejak msa Hamzah Fanshury atau masa kesultanan Aceh. Aceh juga kekayaan sumber daya alam yang menjanjikan kemakmuran," sebut pria kelahiran Kaliwungu, Kendal 17 Januari 1958.

    Penyair sufistik ini melihat, karya Doel menyimpan tema-tema yang cukup refresentatif untuk membaca jiwa dan nurani Aceh. "Sajak-sajaknya lebih merepresentasikan hasil pencarian pribadi yang terus menerus dalam 'kegelisahan kreatif' yang tidak kenal surut," cepenis itu.

    Sementara Walikota Banda Aceh, Ir Mawardy Nurdin dalam sambutannya, mengatakan buku ragam antologi tersebut untuk masa datang, bisa diperbanyak sebagai bingkisan bagi tamu asing yang berkunjung ke Aceh.

    Apalagi, lanjut dia, antologi puisi “Nyanyian Miris The Sadness Song” dicetak dalam dua bahasa; bahasa Indonesia dan Inggris. Buku yang diterbitkan bersama Aliansi Sastrawan Aceh ini memuat 103 puisi karya Doel sejak 1976 hingga 2006.

    Wakil Ketua DPR Banda Aceh, Anas Bidin Nyak Syech, menyambut baik “Nyanyian Miris The Sadness Song”. Katanya, Doel telah mencatat sejarah dalam tulisannya. Ini sangat penting dibanding dekan, rektor, profesor, ulama yang tak pernah menulis, maka mereka tidak pernah membuat sejarah.

    "Jika buku ini mengandung dakwah, maka ’Nyanyian Miris The Sadness Song‘ adalah ibadah. Bila suatu saat Doel sudah tiada, buku ini telah meninggalkan sejarah yang bisa dibaca oleh genarasi selanjutnya,” pungkas Anas dalam acara yang berlangsung di Museum Aceh, Minggu (30/9) menjelang buka puasa.

    Dalam komentarnya, Doel yang mantan wartawan itu mengungkapkan, puisi-puisi lahir dari 'pergolakan' jiwanya ketika meliput berbagai daerah di Aceh. Kegelisahannya sejak 31 tahun silam hingga kini itulah yang semuanya dituangkan dengan cara miris pula. Selamat.


Top