,

    TIGA tahun tsunami di Aceh mendapat tanggapan beragam dari para korban. Ada yang tersenyum mengembang, tapi amat banyak yang menahan geram. Apalagi para korban kerap merasa rehab rekon meninggalkan 'mudharat" bagi mereka. Selain senyum kecut, duka pun masih tersisa, meski bencana sudah 36 bulan lewat.

    Kalau Abdul Wahab dan istrinya, Ummiyati mungkin sudah bisa tersenyum tiga tahun usai bencana. Pasalnya, korban tsunami yang menetap di Lorong Bispa, Desa Baet Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar ini 'baru' mendapatkan rumah bantuan.

    "Enam bulan lalu, kami masih tinggal di barak. Alhamdulillah, kini sudah rumah sudah selesai dibangun," ujar Ummiyati bersama suamiya yang sedang sakit gigi. Pipi kanannya bengkak, sehingga Abdul Wahab tak banyak bicara. Enam bulan silam, tepatnya saat usia Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dua tahun, Ummi masih tinggal digubuk tua.

    Di rumah tipe 36 itu membuat hati Ummi 'damai' kembali. Sudah dua bulan dia menetap dibangunan berwarna kuning tersebut. Kendati 'kecil' jika dibandingkan dengan rumah sebelum musibah 26 Desember 2004 itu, tapi dia tak peduli. Dengan kerja kerasnya, kini rumah itu sudah diperluas lagi.

    Dia menambah bangunan lain di belakangnya, tapi belum selesai dikerjakan. "Ini untuk dapur. Yang sudah ada sempit, makanya ada kami tambah lagi dapurnya. "Kami bersyukur sekali, sudah mendapat rumah ini," kata perempuan berusia 46 tahun ini penuh senyum.

    Tapi tidak bagi Safari Gambang, warga Dusun Bunot Meujanggot, Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Pria paruh baya ini, tetap berteduh di tempat hunian sementara (shalter) mengisi hari tuanya. "Sudah tiga bulan rumah saya terlantar. Katanya nggak ada bahan," ujarnya dengan muka berkerut, Minggu kemarin.

    Safari hanya tahu sudah 36 bulan dia harus menunggu bantuan itu. Nelayan Alue Naga ini, bukannya tak sabar menanti. Tapi karena sudah kelewat lama, makanya dia geram juga. Di dusunnya Safari, memang belum ada rumah bantuan yang pembangunannya sudah selesai dengan sempurna.

    Kecuali banyak yang belum berpondasi, ada yang sedang diikat batu bata. Namun ada pula cuma tinggal pasang atap saja. Warga yang hanya sepelemparan batu dari bibir pantai ini mendapat bantuan dari Australia Redcross. Sejumlah plang nama milik palang merah itu terpacang dibeberapa lokasi di sana.

    Safari sedikit beruntung, rumah sudah di depan mata, namun belum kelar. Akan tetapi lain lagi dengan Syamsuddin, warga desa yang sama. Pria berusia 45 tahun ini bersama keluarga masih tinggal di shalter pinggiran Krueng Cut. Dia sedikit kesulitan bergerak karena kakinya diambil tsunami.

    "Saya sudah pakai kaki palsu," katanya sembari menunjuk kaki kanannya. Dengan keterbatasannya dia tetap bertahan hidup. Saat disambangi Waspada, Syamsuddin sedang merajut jala. "Rumah saya sampai sekarang belum selesai, mungkin nggak dibangun lagi," pungkasnya dengan nada kecewa.

    Dia bercerita. Awalnya memang sudah dipacang pondasi untuk rumah yang diidamkannya. Karena melihat kualitas bahan bangunan tidak sesuai, dia pun protes. "Batanya saja kalau diremas langsung hancur," katanya. Karena dia protes, rumah tersebut pun ditelantarkan oleh kontraktor pelaksana.

    "Karena kita protes, rumah kita ditinggalkan. Ya, mereka bikin rumah yang enggak ada orang protes," kata Syamsuddin. Hal itulah yang membuat warga Bunot, Alue Naga ini bertahan di barak-barak sementara. Tapi dia tak tahu sampai kapan harus bertahan.

    Namun, dia sudah yakin, bila rumah belum selesai, selama itu pula Syamsuddin bersama 651 kepala keluarga lainya dari desa yang sama akan bertahan di shalter-shalter tua. Shalter yang berjejer di pinggir sungai itu pun kian usang. Di situlah warga empat dusun di Alue Naga akan bertahan dalam batas waktu yang tak bisa ditentukan.

    Selain Dusun Bunot Meujanggot, di Alue Naga juga ada dusun Podiamat, Musafir dan Kutaran. Desa yang dipimpin Sayuti itu nyaris hilang diamuk gelombang raksasa. "Katanya BRR banyak sekali dana, tapi banyak rumah tak selesai, peu peng nyan keunek puwoe u jawa," tuka Ridwan, kepala dusun Kutaran.

    Ridwan serta empat warga lainnya; Agus Hanafiah, Andi Nurdin, Muslem Hamid dan Nurhayati seperti tak kuasa menahan geram. "Padahal tsunami pertama sekali kena di Alue Naga, tapi malah rumah-rumah warga kampung kami yang belum di bangun," sambung Agus sedikit emosi.

    Dia berasumsi, sejatinya pelaksana rekon memprioritaskan kawasan-kawasan yang terkena bencana. Apalagi ketika lidah tsunami menjilat kawasan itu pada detik pertama kali. Namun, menjelang BRR Aceh-Nias berakhir, malah Alue Naga bagai dilupakan. "Seharusnya di sini dululah, dibangun. Kan yang pertama terkena kami," katanya lagi.

    Sebagai bukti tak mendapat prioritas, Ridwan, kadus Kutaran menimpali hingga kini dari 326 unit yang dibutuhkan warganya, baru 70 unit selesai dibangun. Alasan tidak ada lokasi untuk relokasi tak masuk akal di mata korban. "Cukup banyak tanah di sini kalau mau relokasi pengungsi korban tsunami," ujar dia.

    Katanya, BRR bukan tak mau merelokasi, tapi mereka mengatakan tak punya dana. Dengan nada sinis Ridwan mengaku tak percaya. Dia malah menanyakan, "peu peng nyan keunek puwoe u jawa, apa uang yang ada (di BRR-red) ingin dikembalikan ke pusat."

    Kadus Kutaran ini menyebutkan dalam pertemuannya dengan petinggi BRR beberapa bulan silam disebutkan, lembaga itu tidak punya anggaran untuk merealisir rencana reklamasi enam hektare tanah. "Meunan awak nyan di peugah, begitulah mereka bilang, nggak ada uang untuk reklamasi" sebut Ridwan.

    Sampai saat ini, sambung Muslem Hamid, rencana pembebasan tanah untuk membangun rumah tak pernah terpenuhi. Malahan dari luar area yang dibutuhkan 6 ha, turun menjadi 4 ha, dan terakhir 1,5 ha saja. Dan itu pun kabarnya tak mungkin dipenuhi BRR. "Hana peng dipeugah," sebutnya. Untuk pembebasan tanah atau reklamasi sebut Ridwan, dibutuhkan sekitar Rp 7 miliar saja.

    Menurut dia, bukan hanya pembebasan lahan, untuk pembangunan 650 meter tanggul saja, sampai kini belum terpenuhi. Mereka menanti laksana menunggu tumbuhanya gigi ayam. Dalam kesabaran yang sudah diambang batas, warga di sini tetap bertahan di shalter-shalter usang.

    Sangat beda dengan Desa Lambung, Lamjabat di Kecamatan Meuraxa. Dua gampong yang berada di Ulee Lheue ini jauh bergerak cepat. Kalau kita lihat Lambung misalnya, kawasan itu ditata bak komplek perumahan. Sanitasinya cukup memadai. Di tambah pula jalan aspal hotmix seantero kompleks. "Itu jalur-jalur evakuasi," ujar seorang penduduk di sana.

    Tapi sayangnya, banyak rumah yang pembangunannya di danai Multi Donor Fund itu, tetap kosong. Hanya sebagaian yang sudah berpenghuni. Tak jauh beda dengan Lamjabat. Di tengah-tengah tambak warga jalan untuk jalur evakuasi malah dibangun lebih bagus dari jalan negara.

    "Seharusnya jalur evakuasi ini bisa belakangan, ketika rumah-rumah korban tsunami sudah mencukupi. Kebutuhan yang paling mendesak itu ya rumah dulu. Tapi sampai kini, korban tsunami malah belum punya rumah," keluh Shalihati, warga Lampaseh Kota dengan nada duka. Semoga derita ini bukan kado tiga tahun tsunami.


Top