“Banda Ngoceh”

Oleh Munawardi Ismail

Tapi sampai kapan kita harus terus menengadah tangan? Apakah hingga air Krueng Aceh berhenti mengalir? Atau sampai kota ini kembali ‘tenggelam’ seperti 26 Desember, tiga tahun silam. Kalau ini terus berulang bak roda pedati, tak berlebihan jika dituding aturan itu cuma ocehan. Lantas orang pun memplesetkan Banda Aceh menjadi Banda Ngoceh.

MENGGELITIK sekali ketika saya membaca editorial Serambi Indonesia, Sabtu (3/4). Judulnya Banyolan Pemko Banda Aceh. Mungkin itulah bentuk ‘kekesalan’ media akibat terlalu banyak menampung keluhan dari pembacanya. Jika menilik lebih jauh memang tak berlebihan melihat kota yang dikatakan bersih, indah dan nyaman ini. Faktanya, memang belum ada perubahan yang begitu progresif.

Jika kita merunut satu-satu, kita memang harus menutup mata dulu dengan masalah energi listrik. Sebab masalah itu sudah lazim terjadi di negeri ini. Ini memang sudah menjadi rahasia umum. Malahan zaman sekarang, akan menjadi aneh kalau listrik tak pernah padam di suatu wilayah meudelat.

Persoalan primer warga lainnya, ya itu tadi soal air bersih. Persoalan ini memang sangat vital untuk membasah kerongkongan warga kota. Memang harus diakui, Pemerintah Kota Banda Aceh, belum mampu bangkit dari ‘sakit’ akibat tsunami. Sehingga banyak lembaga asing yang berbondong-bondong membangun kota ini. ‘Sedekah-sedekah’ itulah yang membuat Kota Banda Aceh, kembali apik.

Tapi sampai kapan kita harus terus menengadah tangan? Apakah sampai air Krueng Aceh berhenti mengalir? Atau sampai kota ini kembali ‘tenggelam’ seperti 26 Desember, tiga tahun silam. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menggelayut dibenak orang yang tinggal di Kutaraja. Termasuk pertanyaan ‘sedekah’ dari Kuwait Red Crescent Society (KRCS) pada 2005 lalu, berupa penyuligan air laut menjadi air bersih siap minum.

Memang bantuan itu diserahkan untuk pemerintah provinsi, tapi tak ada salahnya dia diurus bersama dengan Pemko Banda Aceh. Alasan yang paling logis karena mesin itu berada di wilayahnya Mawardy-Illiza. Persoalan biaya tentu bisa sharing dengan Irwandi-Nazar, kendati itu —mungkin—agak berat ditangan anggaran. Tapi, jika kita punya itikad, semua bisa selamat.

Penyapu Jalan

Menyikap masalah tersebut, saya teringat omelah seorang warga di Keudah. Nadanya miris. Tudingannya amat pahit. Dia kesal, akibat kurang tidur malam gara-gara harus menunggu jatah buka kran pada jam dua dini hari. Sudah pasti untuk menunggu beberapa jerigen air. Kata dia, kalau memang warga harus selalu membeli air, mungkin tak masalah PDAM Tirta Daroy diganti nama saja menjadi PDAM Tirta Jerigen.

Tudingan lain yang tak kalah sedap soal penyulingan air laut tadi. Kata dia, pemerintah bukannya tidak mau, tapi karena tidak jelas fee-nya, baik itu untuk yang usulkan anggaran, sampai ke atasan. Apalagi selama ini, yang lebih menonjol adalah program-program baru yang sudah pasti berapa jumlah harus dibagi. Sementara bagi yang tidak jelas fee, makin tak terurus.

Melihat kota ini, kita harus memberi apresiasi yang luar biasa untuk kerja keras ‘pasukan orange’. Pahlawan kebersihan ini, pontang-panting kerja membersihkan ruas-ruas jalan berdebu di kota tua. Sayang, salary yang mereka terima tidak seberapa bila dibandingkan dengan bau busuk sampah yang mereka angkut.

Kerja-kerja merekalah yang membuat kota ini terlihat nyaman. Kendati yang disayangkan kesadaran warga kota untuk tidak membuang sampah sembarangan masih rendah. Sungguh memalukan, pemilik mobil mewah pun dengan ringan tangan menyosorkan kemasan air mineral serta puntung rokok sembarangan.

Lagi-lagi, pahlawannya adalah para penyapu jalan dan pemulung jalanan. Beban yang dipikul ‘pahlawan adipura ini’ memang lebih berat, meski yang diterima tidak sepadan dengan kerjanya. Ini tidak adil. Bandingkan dengan pegawai di dinas-dinas dan instansi lainnya di lingkungan Pemko Banda Aceh. Kalau ditilik dari segi tingkat pendidikan dan beban kerja memang, keduanya beda.

Aturan Ocehan

Untuk ‘menghidupkan’ kembali kota ini, sejumlah lembaga donor macam Multi Donor Fund, United Nations Development Programme, United States Agency for International Development (USAID), dan lembaga lain sudah cukup banyak membantu. Ambil contoh, truk-truk sampah. Mobil yang disopiri para pegawai rendahan itu saban hari berwari-wiri, kendati gaji mereka lebih rendah dari pegawai negeri yang sebagian lebih banyak ngerumpi dan suka ngopi.

Syukur, sejauh ini belum ada keluhan kekurangan biaya operasional. Kalau pun muncul, tentu harus kita tutup muka dengan seutuek (pelepah pinang). Kondisi yang amat kontras juga bisa kita lihat pada sejumlah aturan bersyariat yang dibikin Pemko Kutaraja, eh Banda Aceh ini. Sebut saja sejumlah lokasi yang bakal dijadikan sarana wisata Islami, misalnya. Namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Banyak tempat yang dirakit malahan menjadi lokasi pacaran baru. Sementara Wilayatul Hisbah ditugaskan mengampanyekan penerapan syariat Islam.

Begitu juga dengan lapak jajanan malam yang bertaburan sepanjang jalan Daud Beureueh, hingga Teuku Nyak Arief dan ruas-ruas jalan lainnya di sepanjang kota tua. Di sini para muda-mudi silih berganti datang dan pergi. Mulai dari yang sekadar ngobrol sampai ada yang ambil kesempatan buat ‘nyenggal-nyenggol’. Tahulah selera anak muda, mumpung kondisi sepi dan remang-remang.

Lain yang muda, lain lagi yang dewasa. Mereka ambil posisi –termasuk penulis sekali-kali---di tempat-tempat yang sudah tenar. Apalagi kalau bukan warung kopi. Di sini, pengunjung juga datang silih berganti. Topik yang ulas pun bervariasi. Intinya semacam ngerumpi atau ngoceh, kata orang Betawi. Tapi yang pasti semua hikayat diputar di sini, mulai dari hikayat prang, musang sampai ke hikayat ulee.

Sayangnya, hikayat musang dan ulee ini juga didendangkan pemerintah. Ini bisa dilihat dari banyak aturan yang menjadi sekadar ocehan. Lihat saja, soal Izin Mendirikan Bangunan. Itu juga tidak pernah ketat benar. Padahal aturan itu sudah baku dan wajib dipatuhi sesuai dengan tata ruang dan tata kota. Tapi buktinya, bisa sembarangan saja. Anda punya uang, punya tanah, tentu bisa bikin toko sesuka hati. Mau menghadap kiblat, mengarah selatan atau utara terserah saja. Soal izin, gampang diatasi.

Mau bikin gedung hingga menjulang langit atau pun menyusur tanah, juga terserah. Asal jangan muka tokonya yang mengarah ke langit, karena anda sendiri nanti yang ketiban susahnya. Bayangkan kalau hujan, semua genangan akan berkumpul di toko anda yang konstruksinya tidak lazim itu. Kalau genangan di sejumlah ruas jalan, itu sudah pemandangan biasa.

Tiru Ahmadinejad

Kenapa ini bisa terjadi? Barangkali sudah sama-sama ketahui penyebabnya; aturan itu dibuat untuk dilanggar, atau hanya sekadar menjadi ocehan. Ocehan gaya ini tentu tidak kita dapati kalau mengambil contoh di Negeri Iran. Walikota Taheran Ahmadinejad—kini menjadi Presiden Iran— misalnya. Pria sederhana yang terpilih pada 3 Mei 2003 sebagai walikota, membuat banyak kebijakan yang bersifat religius, populer dan kadang kontroversial. Di antaranya adalah kebijakan pemisahan penggunaan lift untuk pria dan wanita di lingkungan kantor walikota.

Dalam buku berjudul “Ahmadinejad! David di Tengah Angkara Goliath Dunia” yang ditulis Muhsin Labib dkk, terbitan Hikmah Populer Bandung, 2006 disebutkan, di kantornya yang sederhana, Ahmadinejad setiap hari menemui puluhan warga Teheran yang datang dengan beragam keluhan dan permasalahan. Yang benar-benar dirasakan warga Teheran adalah keberhasilannya menekan jumlah kemacetan kota dengan mencopot lampu lalu lintas di perempatan besar menjadi jalur putar balik yang sangat efektif.

Dia juga sukses memperlihatkan sosok walikota yang sederhana, ringan tangan melakukan kewajibannya dan tak sungkan merasakan sendiri beban masyarakat. Di kalangan pegawai walikota, namanya menjadi bahan perbincangan yang tak ada habisnya, setelah dia beberapa kali mengenakan pakaian pembersih jalanan untuk menunjukkan solidaritasnya. Seringkali dia turun dari mobil bututnya, cuma sekadar untuk membersihkan selokan yang mampet. Informasi tambahan, setelah 2 tahun menjabat walikota Teheran, Ahmadinejad termasuk dalam finalis pemilihan walikota terbaik dunia “World Major 2005”. Dari 550 nominasi, dari Asia hanya sembilan orang saja.

Tentu, kita tidak mengharapkan kondisi seperti itu di kota ini. Yang kita ingini aturan yang sudah dibikin Islami itu betul-betul ditepati. Bukan malahan membuat sarana pendukung untuk dilanggar lagi. Kalau ini terus berulang bak roda pedati, tak berlebihan jika dituding aturan itu cuma ocehan. Lantas orang pun memplesetkan Banda Aceh menjadi Banda Ngoceh.

Begitu pula dengan hasrat menjadikan Kota Banda Aceh untuk contoh penanganan bencana secara nasional. Wajar saja, sebab seperti diutarakan Walikota Mawardy Nurdin, kesiapan Banda Aceh menjadi pilot project telah cukup memadai dengan tersedianya infrastruktur mitigasi (penanganan bencana) yang dibangun pascatsunami. Sekali lagi, tentu saja kita berharap itu bukan cuma ocehan. Tapi saya yakin, ini semua tidak terjadi di Banda Aceh, tapi di kampung saya Banda Ngoceh.[a]

* Artikel ini sudah dimuat Harian Serambi Indonesia, pada 8 Mei 2008


No comments:


Top