,


    TIGA belas tahun silam, Teungku Lukman berharap bayi yang baru dilahirkan isterinya, Umi Safiyah tumbuh seperti tokoh idolanya; Nur Misuari. Dia berharap, nama itu bisa memicu jiwa si anak untuk militan dan berilmu tinggi. Namun, 13 tahun kemudian sebaliknya yang terjadi.


    Lukman memang mencomot nama Misuari untuk anak laki-laki yang lahir dari rahim sang istri. Misuari adalah tokoh perlawanan di Filipina Selatan. Namanya Nur Misuari. Dia Ketua Fron Pembebasan Nasional Moro (MNLF) dan juga bekas gubernur di wilayah otonomi Muslim Filipina.

    Belakangan dia mengecam dan menuduh pemerintah Filipina melanggar pelaksanaan perjanjian perdamaian tahun 1996 dengan MNLF pada 2001. Pada Mei 2007 lalu, Nur Misuari, yang ditahan di Filipina, diizinkan keluar untuk mendaftarkan diri sebagai calon gubernur di provinsi selatan dalam pemilihan separoh-waktu.

    Nasib Misuari 'junior' dari Aceh ini memang beda. Dia hidup di "dodaidi" konflik. Lukman sendiri tak berharap kehidupan anaknya buram. Konflik yang mendera Aceh kini memang sudah berakhir. Damai sudah bersemi. Tapi, efeknya kian terasa berat dipikul Umi, 37.

    Kini, selain ditinggal suami, enam anaknya pun terlantar tak berpendidikan. Konflik mencabik kebahagiaan keluarga ini, termasuk masa depan Misuari. Konflik pula yang memisahkannya dengan sang ayah. Saat Misuari berumur 10 tahun, Tgk Lukman pamit tak pulang-pulang. Sudah berkali-kali lebaran, pria tak tahu di mana rimbanya.

    "Ayahnya diculik, saat dia dua bulan dalam kandungan," kata Umi Safiyah kepada Waspada, Kamis (3/1) di sela-sela menunggu pemulangan rombongan korban konflik dari Banda Aceh. Umi menunjuk si bungsu Muhammad Nur yang terlelap dalam gendongan. Usianya baru 2,4 tahun. Muhammad Nur adik bungsu Misuari.

    "Dia tak pernah melihat ayahnya," sambung Umi lagi sembari menoleh ke si bungsu. Berarti hampir tiga tahun wanita berkulit sawo matang itu hidup menjanda. Jablai istilah keren sekarang. Jablai akronim dari jarang dibelai.

    Umi serta dua anaknya 'mengungsi' 21 hari berada di Banda Aceh. Dia bagian dari 443 jiwa warga Aceh Tengah dan Bener Meriah yang berdelegasi ke ibukota. Mereka menuntut Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA) memperbaiki rumah yang sudah tak layak huni.

    Selama di Kutaraja, para korban konflik ini ditampung di bilangan Ateuk Jawo. Tepatnya di kantor Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI). "Misuari tidak lagi bersekolah, makanya saya bawa saja," kata Umi dengan nada sedih.

    Kata dia, bocah 13 tahun itu ingin ikut ibunya ke Kutaraja. Dia menolak tinggal dengan kakaknya di Panto Reudok, Puteng, Bener Meriah, kampung mereka. "Hana lee jak sikula lon, saya tidak lagi bersekolah," ujar Misuari dengan mimik rada malu-malu.

    Bocah kuning langsat ini berhasrat sekali untuk kembali ke sekolah. Ibunya pun begitu. Namun, mereka mengaku terkendala, karena sekolah itu sulit dijangkau dari kediaman mereka. "Abang-abangnya juga nggak sekolah lagi," ujar Umi lagi.

    Misuari anak keempat dari enam bersaudara. Abang, kakak dan adiknya, Ismawardi, 16, Muhammad Amin, 15, Mistahul Jannah, 14, Mariani, 12, dan Muhammad Nur,2,4 tahun. "Awak nyan mandum, hana sikula lee, mereka semua tidak sekolah juga," timpal Misuari.

    Ibunya bercerita ketika masih kecil, mereka pulang ke Desa Peulandok, kecamatan Tiro Kabupaten Pidie, Misuari sempat mengenyam dunia pendidikan, tapi hanya sampai di kelas tiga sekolah dasar. Pindah ke Bener Meriah membuat masa depannya tak sewangi aroma kopi. Tiro adalah kampung halaman pertama mereka. Begitu pula dengan Bener Meriah yang menjadi tempat dia mencari nafkah. "Saya sudah 20 tahun tinggal di sana," kata Umi Safiyah.

    Di dataran tinggi Gayo itu, mereka hidup sebagai petani. Tentu saja kopi menjadi tanaman unggulan di kebun mereka. Sejak konflik mendera, banyak warga di sana yang turun ke pesisir. Ketika damai bersemi, mereka kembali menggarap ladangnya.

    Sama seperti nasib para korban konflik lainnya dari Negeri Antara. Begitu pula dengan keluarga Misuari. Saban hari mengcangkul nasib di ladang kopi, tapi yang sangat disesali hanya pendidikan anaknya yang harus berhenti. "Saya ingin kirim dia ke pesantren," ucap Umi yang disambut anggukan anaknya.

    "Saya ingin sekolah atau ke pesantren," sambung Misuari polos, sepolos pikirannya yang mengaku belum tergores cita-cita.


Top