SEBUAH bundelan setebal kotak korek api, dibolak-balik pria ini. Dia sedikit menggores salah satu lembaran di bundel itu. Usai memberi tanda silang, lembaran koran pun kembali dilahapnya hingga tundas. Kebetulan hari itu berita utamanya menyangkut kasus yang sudah dia selidiki.

    ”Mustafa Ditahan”, begitu judul headline sebuah media lokal di Aceh pada 28 Desember lalu. Mustafa adalah mantan bupati Bireuen yang menjadi tersangka karena menilep uang negara sebesar Rp82 miliar lebih yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten. Boleh dikatakan atas andil pria itulah, sehingga kasus tersebut dibongkar polisi.

    Penahanan Mustafa A Glanggang, yang akrab disapa Gus Mus itu, membuat langkah pria ini sedikit lebih ringan di akhir 2007. Namun, tantangan di 2008 pun tak kalah beratnya. Sebab bundelan di meja kerjanya masih penuh dengan data-data korupsi yang belum dilibas tuntas.

    Pria itu tak lain, Akhiruddin Mahjuddin, koordinator Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh. Bersama dengan jaringan aktivis antikorupsi lainnya, dia terus mengendus dan bergerak menghadang koruptor dalam ’rimba’ uang di Aceh.

    GeRAK Aceh yang didirikan sejak 2004, seakan menjadi momok bagi pejabat publik di Serambi Mekah. Bukan cuma yang masih dalam lingkup kekuasaan, bekas-bekas pejabat pun kerap kali panas dingin dibuatnya. ”Sinyal-sinyal” korupsi seantero Aceh sudah terdeteksi para aktvis yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat ini.

    Pun demikian, tidak membuat pria yang akrab disapa Udin ini jumawa dan bangga. ”Kami kecewa dengan aparat penegak hukum di Aceh yang masih tebang pilih dalam menegakkan hukum,” ungkap dia.

    Udin mengeluhkan akibat banyak kasus yang belum ditangani dengan serius oleh aparat kejaksaan. Begitu pula dengan pengadilan dalam memberi vonis tidak memberi efek jera. Terkadang, banyak koruptor yang dibebaskan pula. ”Ini mengecewakan,” tukas dia.

    Di tengah kecewaan itu, Koordinator Presidium GeRAK Indonesia mengaku bisa sedikit tersenyum melihat kinerja kepolisian. Pasalnya, polisi sudah memberikan sebersit harapan baru terhadap usaha atasi korupsi.

    Pada sisi lain, kata dia, ada indikasi, kasus-kasus korupsi ini menjadi semacam Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bagi para aparat penegak hukum, baik itu jaksa maupun polisi. Belum lagi ada kasus-kasus yang ’dimanfaatkan’ oleh keduanya untuk ’memeras’ mereka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

    Dari penelusuran lembaga anti korupsi ini, kabarnya banyak pejabat yang seakan menjadi ’sapi perahan’ para aparat yang dimaksud. Indikator itu secara tidak langsung mendapat pembenaran dari Kejaksaan Agung. Lembaga itu menyebutkan di Aceh ada tiga Kejaksaan Negeri (Kajari) yang kinerjanya berapor merah.

    Menariknya, ’pengakuan dosa’ itu diperkuat dengan pernyataan Kejaksaan Tinggi Aceh yang ’mengakui’ nilai merah dalam sejumlah rapor kajari di Aceh. Malahan, jumlahnya ”dimark-up” lagi oleh Kejati menjadi 10. ”Ada sepuluh Kajari di Aceh yang tidak becus,” kata Kajati Aceh, Abdul Djalil Mansur, SH.

    Menilik dari fakta itu, Akhiruddin kian yakin, bahwa memang aparat penegak hukum di sejumlah kabupaten kota di tanoh rincong, masih ’main-main’ dalam masalah penegakan hukum. Tidak ada kepastian hukum bagi tersangka atau terdakwa. Sehingga kasusnya berlarut-larut. Inilah yang dilihat aktivis antikorupsi ini sebagai preseden buruk dalam penegakan hukum. ”Yang model begini harus segera dibangku panjangkan,” tandas Udin.

    Dukungan serupa juga datang dari Forum Lintas Aktivis (FLA). Kelompok aktivis mahasiswa yang tergabung dalam lembaga ini mendesak Kajati Aceh untuk menjalankan fungsinya dengan memutasikan Kajari kabupaten/kota yang memegang rapor merah di Kejaksaan Agung RI.

    Juanda dari FLA ketika menanggapi pertanyaan Waspada, akhir bulan kemarin menyebutkan, selama ini ada kesan, para penegak hukum bertindak cuma sekadar memberi citra positif saja dalam upaya pemberantasan korupsi.

    Karena itulah, dia ikut mendesak pemerintah untuk mempekuat instrumen hukum yang ada, sehingga bisa maksimal. “Bukan hanya kajari, jaksa-jaksa yang rapornya merah pun harus dibangku panjangkan saja,” tambah dia.

    Lain lagi dengan mantan Ketua Muhammadiyah Aceh, Imam Suja’. Anggota DPR-RI ini malahan melihat penegakan hukum itu masih diskriminatif. Dari optiknya, dia melihat keadilan belum ada dalam banyak kasus korupsi di Aceh.

    Dia membandingkan kasus Abdullah Puteh dengan kasus korupsi lainnya di Indonesia. Dalam bahasa awam, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menyebutkan, ”lebih besar hukuman penyolong ayam dibandingkan pencuri kerbau.” katanya menanggapi hukuman penjara yang tidak adil sedang dijalani bekas Gubernur Aceh itu.

    Begitu pula dengan Zaini Djalil, seorang pengacara di Banda Aceh. Dia menilai penetapan mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh sebagai terpidana koruptor itu lebih mengarah pada hukumam politik dan tidak adil jika hukuman sampai 10 tahun kurungan penjara.

    “Dalam kasus Abdullah Puteh, saya melihat lebih berat tendensi politis ketimbang hukum. Apalagi, kasus Abdullah Puteh merupakan tugas pertama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” katanya.

    Menurut dia, hukuman ‘politik’ 10 tahun penjara terhadap Puteh yang diwajibkan juga membayar ganti rugi mencapai Rp7 miliar dan denda Rp1,5 miliar dalam kasus pembelian helikopter Mi-2 buatan Rusia senilai Rp12 miliar, terlihat tak adil.

    “Di mana rasa keadilan, seorang yang telah divonis sebagai koruptor yang merugikan negara ratusan miliar rupiah hanya mendapat hukuman empat tahun penjara, sementara Abdullah Puteh dihukum 10 tahun penjara,” sebut dia.

    Ia menilai, kasus hukum yang tersangkut dengan Tommy Soeharto, misalnya hanya dihukum beberapa tahun penjara. “Kalau kasus Puteh, itu lebih terkait dengan penyalahgunaan wewenang dan tidak ada unsur korupsinya, namun hukumannya sampai 10 tahun. Di mana letak keadilan hukum kita,” tukas Zaini.

    Terlepas dari berbagai ‘pledoi’ itu, kasus Puteh dan Mustafa, juga bagian dari keberhasilan lembaga anti korupsi di Aceh dalam mengorek kasus penilepan uang publik di Aceh. Khusus GeRAK, selama periode 2005-2007 ada 69 kasus yang sudah dilaporkan ke penegak hukum. “Kasusnya sudah ada yang masuk ke tingkat penyidikan, tapi ada juga yang masih diselidiki,” papar Akhiruddin.

    Bukan cuma sekadar melapor ke pihak terkait, guna menghadang korupsi, GeRAK juga ikut mendidik masyarakat. Mereka ikut membangun partisipasi publik dalam ranah korupsi di Aceh. Tentu, bukan hanya lembaga ini saja yang berkoar-koar. Selain GeRAK, setidaknya ada 12 lembaga anti korupsi lain yang sudah tumbuh di Aceh sejak 2000 silam. Tidak hanya di provinsi saja, di kabupaten/kota pun sama.

    Contohnya, sebut saja Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (SoRAK), dan Solidaritas Masyarakat Anti Koruspsi (SAMAK) di provinsi. Tapi, dua lembaga ini sudah duluan tenar. Lalu di Pidie ada Jaringan Akar Rumput Anti Korupsi (JARAK); di Bireun ada Gabungan Solidaritas Anti Korupsi (GaSAK).

    Lantas di Singkil terdapat Masyarakat Anti Korupsi Singkil (MaTRAS); di Kuta Cane ada Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi Keadilan (SRDK); di Aceh Selatan ada Jaringan Akar Rumput Anti Korupsi; di Meulaboh ada Solidaritas untuk Anti Korupsi (SuAK); kemudian di Simeulue ada Solidaritas untuk Transparansi (SAKSI); dan di Calang ada Masyarakat Transparansi Aceh Jaya.

    Menurut Akhiruddin, di daerah, isu korupsi dapat dikatakan sebagai sebuah era yang membawa masyarakat pada proses keterbukaan, dan secara imparsial membuktikan jika masyarakat memiliki entry strategy menuju sebuah demokratisasi yang sesungguhnya. “Otomatis, kondisi ini juga memberi ruang bagi masyarakat Aceh,” sebut dia.

    Ruang itu pula yang dipakai lembaga anti korupsi di Aceh untuk mendidik masyarakat dan komunitas-komunitas agar partisipatif dalam menjerat koruptor. Udin juga berharap, elemen mahasiswa dan pelajar bergerak sebagai agent of change di Aceh. Tentu saja agen untuk mengubah wajah Serambi Makkah, dari ‘jerawat’ korupsi.

    “Kami setuju sekali, ‘tikus-tikus’ itu ditumpas dari Aceh. Mereka sudah banyak mencuri uang rakyat. Sampai-sampai rakyat miskin makin banyak di sini. Hukuman yang berat cukup pantas buat mereka,” tukas, Alvi Chairani, seorang siswa SMA di Banda Aceh.

    Alvi sepakat, pelajar juga perlu dibekali pengetahuan tentang korupsi sejak dini. Bagi gadis sawo matang ini, pengetahuan itu menjadi semacam early warning system (sistem peringatan dini) dalam menghalau kasus berbau korupsi.

    Terkait dengan itu pula, dia amat setuju, jika siswa-siswi di Aceh mendapat gemblengan khusus dalam memberangus korupsi. Begitu pula dengan Nirna Yanti, mahasiswi di sebuah lembaga pendidikan profesi di kota yang sama. “Memang harus dari dini kita mulai. Meski upaya yang sudah dilakukan sekarang pun sudah cukup baik,” tambah dia.

    Upaya itu, lanjut dia, harus dibarengi advokasi-advokasi yang mesti dilakukan berbagai elemen di Aceh. “Jadi bukan semata-mata kewajiban lembaga peduli anti korupsi saja,” timpal Yanti. “Pelajar, mahasiswa, akademisi, polisi, jaksa dan sebagainya harus punya niat untuk memberantas korupsi.” Lantas bagaimana dengan niat birokrat dan politisi?


Top