,


    KETIKA para politisi nasional disibukkan pendaftaran partai, Aceh juga tak mau ketinggalan. Banyak politisi kawakan dan politisi ‘dadakan’ menyodorkan berkas ke Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Provinsi Aceh. Mereka mendaftar partai lokal dalam lingkup Nanggroe Aceh Darussalam. Akhirnya, parlok ini tumbuh bak cendawan di musim hujan.

    Memang, ketika kran pendirian partai lokal dibuka, banyak politisi unjuk diri, dan bahkan ada pula yang sengaja ‘turun gunung’. Tak salah memang, sebab ada produk hukum yang melegalkan; Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh plus Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pembentukan Partai Lokal.

    Banyak fenomena baru yang mencelat ketika UUPA memberi kesempatan kepada warga Aceh untuk berkecimpung di politik. Satu yang paling ’sakral’ adalah ditransformasikannya mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka dari gerakan bersenjata ke gerakan politik.

    Seakan menyergap peluang tersebut, para petinggi GAM pun mendeklarasikan sebuah ‘kendaraan’ politiknya yakni Partai GAM pada 7 Juli 2007. Saat itu Partai GAM muncul tanpa akronim. “Ya, partai GAM saja,” tukas TM Nazar, sekretaris urusan dalam negeri partai tersebut.

    Katanya, GAM itu sendiri tanpa akronim. Saat itu pula tampuk pimpinan masih dipegang Malik Mahmud. Tapi belakangan demi kepentingan lolos verfikasi, Partai GAM pun dirombak. Jadi sekarang menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri.

    Namun saat ini Partai GAM telah mengalihkan pucuk pimpinan itu kepada Mantan Panglima GAM, Muzakir Manaf sebagai ketua umum Partai GAM. Sementara Malik Mahmud yang disebut-sebut warga negara asing masih tetap dianggap sebagai petinggi partai.

    Lalu, lanjut dia, sementara lambang bulan sabit yang sebelumnya sempat terlihat di tengah juga dihilangkan. Namun, secara keseluruhan, warna dasar merah dengan garis hitam seperti bendera GAM selama ini masih tetap dipertahankan.

    “Singkat kata, akronimnya tetap GAM,” ujar salah satu pendiri Partai GAM, Ibrahim Syamsuddin. “Tulisan GAM tersebut dicantumkan dalam lambang partai, tapi bukan Gerakan Aceh Merdeka.” Sebelumnya, Partai GAM sempat melahirkan perdebatan panjang di kalangan elite politik tingkat nasional.

    Lain Partai GAM, lain pula dengan Partai SIRA. Tapi kata SIRA disini bukan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Pada kongres yang berlangsung dari 10-13 Desember 2007 lalu, mereka sepakat ‘wadah’ SIRA ditukar menjadi Suara Independen Rakyat Aceh.

    Dalam duek pakat tersebut, kongres memilih Muhammad Nazar sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai, Muhammad Taufik Abda sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai. Untuk sementara Partai SIRA tercatat diurutan ke-13 di Depkumham Aceh.

    Lain Partai GAM, lain pula yang terjadi di Partai Rakyat Aceh (PRA). Partai lokal pertama yang berkecambah di Aceh itu didominasi politisi muda. Umumnya mereka bekas aktivis yang getol menyuarakan aspirasi rakyat.

    Partai ini dideklarasikan pada Maret 2007, yang kemudian memilih bekas aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR) Aguswandi BR sebagai ketua. Namun dalam perjalanannya sampai diverifikasi pada 28 Februari kemarin, kursi ketua diduduki Ridwan H Mukhtar. Sekretaris dan kepengurusan lainnya tetap sama.

    Kemudian lain lagi gebrakan politik pendiri Partai Darussalam. Kedua pendirinya adalah pasangan suami istri yakni, Hj Mediati Hafni Hanum dengan suaminya Drs Azwir, M.Si. Mediati Hafni Hanum yang biasa disapa Hafni tak lain anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Aceh.

    Suaminya Azwir, dosen di Universitas Syiah Kuala. Dalam Pilkada lalu, Hafni terdaftar sebagai bakal calon gubernur Aceh. Sedangkan suaminya calon Bupati Aceh Utara. Namun, dua-duanya gagal menguasai tampuk kekuasaan yang diincar.

    Kini, kiprah politik pasangan suami istri ternyata belum berhenti. Buktinya mereka menunggangi ‘kendaraan’ lain yang bernama Partai Darussalam. “Kakak cuma peuget mantong– kakak hanya mendirikan saja,” katanya menjawab Waspada, akhir September lalu.

    Partai Darussalam, kata Hafni didirikan pada 7 Juli lalu untuk menampung aspirasi masyarakat. Dia membenarkan, kalau partai tersebut didirikan bersama suaminya, Azwir. “Kakak cuma peuget mantong, kakak hanya mendirikan saja,” Hafni mengulangi.

    Hafni mengaku tidak terlibat dalam kepengurusan. Partai dengan lambang Kupiah Meuketob dan sepasang rencong menyilang itu dipimpin Heri Iskandar. Tak ada Hafni atau Azwir di dalamnya. “Partai Darussalam ini terbuka. Hanya orang yang didukung masyarakatlah yang kita tonjolkan,” kata Hafni menimpali.

    Sejalan dengan Hafni, politisi Senayan dari Partai Amanat Nasional, DR Farhan Hamid juga putar haluan. Kader PAN yang berandil besar menggodok UUPA di Jakarta ini memacang pondasi Partai Bersatu Atjeh. Pria ini mengaku tak ambisius. Hanya saja dia melihat kiprah partai lokal di Aceh amat penting dalam perspektif menatap Aceh masa depan.

    Kata ahli farmasi ini, antara partai lokal dengan partai nasional harus bersinergi. “Harus saling menguntungkan, tapi untuk Aceh, bukan untuk partai,” ungkap dia kepada wartawan belum lama ini. “Jadi kepentingan nasional di Aceh dijaga partai lokal, kepentingan Aceh di nasional dijaga parnas.”

    Hal ini juga diakui oleh Ketua Badan Pemenangan Partai Demokrat Aceh, M Ali Yakob. Dalam sebuah diskusi di Banda Aceh, dia mengatakan dengan adanya partai lokal membuat suasana baru di alam demokrasi. “Harapan kita dengan hadirnya partai lokal, Aceh bisa menjadi lebih demokratis,” sebut dia.

    Semangat serupa juga diusung mantan politisi Senayan, Ghazali Abbas Adan. Mantan calon gubernur itu bergerak di bawah panji Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS) yang dideklarasi pada 3 Juni 2007. Tekad Ghazali sudah pasti. “Kami berkewajiban memperbaiki sistem politik Aceh menjadi lebih beradab,” tukasnya.

    Di mata tokoh vokal di Senayan ini, politik Aceh sudah tidak sehat lagi. Bekas Abang-None Jakarta ini melihat aksi premenisme mencoreng pesta demokrasi terbesar pada 11 Desember 2006 silam, saat Pilkada terbesar digelar.

    Berhenti di Angka 13?

    Hingga verifikasi tahap pertama pada 28 Februari lalu, Dephukham Aceh sudah menerima 13 berkas persyaratan untuk pendirian partai lokal. Dari 13 parlok tersebut, tiga di antaranya sudah diverifikasi yakni; Partai Rakyat Aceh (PRA) Partai Darussalam dan Partai Pemersatu Muslim Aceh (PPMA).

    Sepuluh partai lainnya yang masih menunggu untuk diverifikasi yaitu; Partai GAM, Partai Generasi Aceh Beusaboh Thaat dan Taqwa (Gabthat), Partai Serambi Persada Nusantara Serikat (PSPNS), Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan (PARA).

    Selanjutnya, Partai Aceh Meudaulat (PAM), Partai Lokal Aceh (PLA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu Aceh (PBA) dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).

    Kepala Bidang Pelayanan Hukum Kanwil Depkumham Aceh, Jailani M Ali SH kepada Waspada, baru-baru ini mengatakan hingga saat ini mereka sudah menerima 13 embrio partai lokal. “Baru tiga yang kita verifikasi berkas-berkas administrasinya,” ujar dia.

    Mengenai 10 partai lagi yang belum dilakukan pengujian, Jailani menyebutkan semuanya harus sesuai dengan PP Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Lokal. “Kita selalu memberi pelayanan yang terbaik untuk warga yang berurusan ke Dephukham,” sebutnya.

    Jumlah partai lokal yang akan menancapkan kukunya di tanah rencong, kabarnya akan bertambah lagi. Ini artinya dia tak akan berhenti di angka 13. Paling tidak, sejumlah pejabat yang kini aktif memerintah di Aceh akan mendaulat sebuah ‘perahu’ politik baru. Namanya Partai Aceh Independen (PAI).

    PAI ini tidak sendiri, embrio lain yang sudah bertunas adalah Partai Nurani Aneuk Nanggroe Aceh (NUANA). Selain itu, kalangan mahasiswa juga bakal ambil bagian dalam politik. Tapi itu semua belum pasti. “Tak masalah, biar saja tumbu banyak partai, nanti alam yang akan menyeleksinya,” sebut Khairul Amal, ketua Komisi A DPR Aceh.

    Berapa pun partai lokal yang lahir di bumi Aceh, Dephukham tentu saja akan menerimanya. Jika dia sesuai aturan, tak perlu takut akan ditebang sejak dini. Namun, kendati sudah selesai verifikasi bukan berarti serta merta bisa dicoblos pada Pemilu 2009 nanti.

    Ini diungkapkan Pelaksana Tugas Kakanwil Departemen Hukum dan HAM Aceh, Syamsul Bahri. Dia menyebutkan, meski sudah mendaftar dan diverifikasi, partai-partai lokal itu belum bisa dipastikan dapat mengikuti ajang pemilihan. “Verifikasi hanyalah bagian dari pemeriksaan kelengkapan, jadi verifikasi belum bisa menjamin partai masuk sebagai peserta pemilu, keputusannya setelah hasil verifikasi.” tukasnya.

    Kita tunggu saja, ‘cendawan’ mana yang akan layu sebelum dicoblos. [Munawardi Ismail]


Top