, ,


    MERWAN Yusuf tidak membual ketika memberi 'khutbah' seni kepada pengunjung Pameran Lukisan Mahdi Abdullah, di Episentrum Ulee Kareng, Banda Aceh, akhir pekan kemarin. Kurator jebolan Perancis ini tidak pula sedang memuji. Pasalnya lukisan realis perupa Aceh itu memang benar-benar punya roh dahsyat.


    Dia juga bukan sekadar bersuara. Sebab, ini bisa dilihat dari semua lukisan perupa Aceh itu yang bertema kehidupan masyarakt kalangan bawah. Fenomena-fenomena yang ada di dalam lukisan seperti terlihat nyata. "Lukisan-lukisan Mahdi memberi optimisme," sebut kurator kelahiran Banda Aceh itu.

    Menurut dia, ciri khas itu adalah menggunakan warna yang cerah. "Itu tandanya seorang pelukis itu tidak menyembunykan fakta. Apa adanya, setiap apa yang dia pikirkan langsung dia tuangkan dalam kanvas," urai ketika ditemui Waspada di Banda Aceh, baru-baru ini.

    Pameran Lukisan Mahdi Abdullah, yang mengusung tema “Histori(kri)sme” itu sudah digelar sejak 23 Februari lalu dan berakhir pada 8 Maret nanti. Pameran tunggal ini sudah kerap digelar Mahdi di Aceh. Namun, Mahdi acap kali diundang berpameran di Tokyo, Jepang, Malaysia, Jakarta dan Bandaung.

    "Melihat lukisan Mahdi yang punya roh kuat itu, sudah saatnya pelukis Aceh maju ke tengah. Tak boleh berada di pinggiran lagi," ungkap lulusan jurusan seni rupa di Eiocole Nationale Superiuer des Beaux Arts yang melanjutkan studi sejarah dan peradaban di Ecole des Hautes en Sciences Sociales, di Paris.

    Merwan, tak bisa menyembunyikan kekagumannya goresan kelokalan Mahdi dalam merekam realitas keacehan. "Goresan-goresan kotemporernya selalu merekam realitas yang terkadang alpa dari polesan seniman lain," tutur Azhari, seorang seniman Aceh.

    Siapa sebenarnya Mahdi Abdullah? Pria sederhana, kelahiran Banda Aceh 26 Juni 1960 sudah cukup asam garam dalam dunia seni rupa Aceh. Bukan hanya pameran tunggal, dia juga acap menggelar pameran bersama, baik di dalam maupun di luar negeri.

    Tentu saja, karya-karyanya dikoleksi berbagai bangsa di dunia. Bukan hanya para kolektor di dalam negeri, namun di negeri juga. Contonya saja, para kolektor dari Negeri Matahari Terbit. Tulisan Mahdi lainnya juga dibawa ke Eropa, bahkan parlemen Uni Eropa.

    Glyn Ford, anggota parlemen Eropa asal Inggris bahkan memboyong satu lukisan Mahdi Abdullah buat dipajang di sana yakni yang berjudul 'Di Antara'. Ford berkunjung ke Aceh pada akhir 2006 silam, sebagai Ketua Misi Pemantauan Pilkada Uni Eropa di tanah rencong. "Lukisan ini akan saya pajang di Parlemen Eropa," kata Mahdi mengutip komentar Ford.

    Tidak hanya itu, dia juga 'sukses' menggambarkan kedahsyatan tsunami di kanvasnya. Seperti lukisan perahu dan kapal yang terbang dan gelombang raya yang mengepung Masjid Raya Baiturrahman di Kota Banda Aceh. Lukisan yang disebutkan terakhir malah sudah 'terbang' ke Eropa juga.

    Ketika bincang-bincang dengan Waspada, sarjana Teknik Arsitektur ini menjelaskan konsepnya dalam berkarya. Katanya, karya seni adalah manivestasi dari narasi realitas manusia dan lingkungan. "Saya percaya bahwa subjek dan objek pendukung kehidupan realitas turut berperan dalam ekspresi yang sedang berproses," ungkap Mahdi Abdullah.

    'Proses' itulah yang digoreskan lagi pada pamerannya kali ini. Nuansanya amat berbeda. Tak percaya lihat saja lukisan 'Taman Sari' yang digandrungi mayoritas pengunjung. Bagaimana tidak, goresan tersebut 'diperankan' oleh lima model yang diilustrasikan dari daun pisang. "Gambarnya cerah dan benar-benar hidup," ungkap Silvie, seorang pengunjung.

    Menyikapi itu, ayah tiga putra satu putri ini mengatakan, setiap penafsiran itu diserahkannya kepada para penikmat seni. termasuk dengan model yang ditampilkan berupa daun pisang. "Ini memang hal baru," ucap dia.

    Pun begitu, nilai filosofis yang ingin ditonjolkannya tak lain untuk mengungkapkan 'keresahannya' dalam ranah Aceh. Memang diakuinya, dalam pameran kal ini dia membuat seri daun pisang, gara-gara punya latar belakang daerah, di mana kaum hawa sering ditangkap karena memakai baju yang tidak layak.

    "Jadi saya mengambil proses itu dengan membuat tubuh wanita dibalut dengan daun pisang. Kenapa wanita? ya mungkin karena saya laki-laki mungkin senang sama wanita, itu memang sudah kodrati," papar dia. Bukan hanya sebatas itu, kata Mahdi, daun pisang juga menggambarkan proses perjalanan waktu. Nah betulkan?


Top