Nasib warga Blang Cut, Kota Banda Aceh, terkatung-katung karena rencana pemerintah mendirikan Monumen Tsunami yang tak kunjung jelas. Tawar menawar ganti rugi tanah macet, padahal sudah dua tahun ini warga hidup susah dan melarat.

    DUA tahun setelah tsunami, Banda Aceh seperti orang yang habis mandi: necis, rapi, segala sesuatu berada di tempat yang semestinya. Sampah dari laut telah dibersihkan dan digusur dari pojok-pojok kota. Pasar, gedung, rumah dan bangunan kembali ditegakkan, diberi bedak dan pupur, dicat agar terang dan cantik. Bangkai-bangkai kapal, besar kecil, yang berserakan di penjuru kota, dipulangkan ke tempat asalnya ke pantai, ke laut atau dikirim ke dok untuk diperbaiki. Semuanya dibenahi, kecuali satu: Kapal Apung.

    Kapal Apung tetap saja nongkrong di tengah perkampungan padat di Punge, Blang Cut, di dalam kota Kota Banda Aceh, tanpa bisa digeser, diusik atau diganggu gugat. Apa boleh buat. Kapal Apung bukan hanya besar, tapi super besar. Beratnya 2.600 ton. Dari pantai terdekat, jaraknya dua kilometer lebih. Ditarik ke laut? Ah. ”Perlu satu tsunami lagi untuk mengembalikannya ke laut,” kata seorang turis asing yang mendatanginya pertengahan tahun lalu. Pak Turis berdiri heran termangu-mangu memandangi salah satu tanda mata tsunami itu: sebuah kapal raksasa yang diterbangkan ombak hingga ribuan meter dari tepian Pantai Ulee Lheu ke tengah-tengah permukiman di kota.

    Sebutan Kapal Apung sesungguhnya sudah menunjukkan sesatu yang ganjil, unik dan misterius. Bukankah semua kapal sudah semestinya terapung? Nama Kapal Apung agaknya berhubungan dengan muatan yang digendong kapal ini: generator pembangkit listrik.

    Lazimnya, generator listrik tegak berdiri di atas tanah, tapi tidak yang satu ini. Pembangkit untuk kawasan Kota Banda Aceh itu dibiarkan terapung-apung di atas sebuah kapal, ya kapal apung itu.

    Ceritanya, ketika konflik meletup di Aceh, banyak pembangkit listrik yang disabotase: jaringan listrik dibabat, tiang-tiang dan menara dirobohkan. Sebagian Aceh gelap gulita. Untuk mengatasi kekurangan sumber energi, pemerintah menyeret generator yang semula berlabuh di Pontianak. Itulah ”Kapal Apung”: kapal yang mengangkut generator listrik terapung.

    Sampai hari ini, meskipun tak terapung lagi, Kapal Apung tetap berfungsi sebagai rumah pembangkit listrik. Generator yang dibawa kapal jumbo itu tetap digunakan sebagai salah satu sumber energi terpenting bagi wilayah Banda Aceh dan sekitarnya. Persoalannya, kapal itu kini mendarat di atas lahan milik warga kampung Blang Cut. Apakah pemerintah akan memberi ganti rugi kepada pemilik tanah yang kebetulan ”ketempatan” kapal?

    Pada titik inilah kemudian muncul ide untuk menjadikan Kapal Apung sebagai semacam Museum Tsunami. Ini bukan gagasan yang buruk, tentu saja. Kapal Apung setidaknya bisa menjadi ”ikon” yang mewakili kedahsyatan tsunami. Namun sebuah ide tentu saja membutuhkan tindak lanjut. Kejelasan tentang tindak lanjut itulah yang kini mengombang-ambingkan nasib sebagian warga Blang Cut.

    Pemerintah Kota Banda Aceh mulai menyusun rencana tentang monumen itu pada pertengahan 2005, bekerja sama dengan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR). Soal pertama yang berkaitan dengan kepetingan warga adalah: seberapa besar museum akan dibuat? Berapa luas lahan yang akan dibebaskan dan berapa nilainya?

    Pada awalnya, pemerintah merancang monumen seluas tiga hektare. Jika diplot dalam wilayah yang ketiban Kapal Apung, kawasan itu meliputi puluhan kapling yang dimiliki oleh 59 keluarga. Pendekatan sudah mulai dilakukan. Dan tawar menawar pun dimulai. Warga minta ganti rugi Rp 1 juta per meter, tapi pemerintah menilainya kemahalan. Pemerintah Kota Banda Aceh hanya menyanggupi separohnya, Rp 500 ribu per meter.

    Negosiasi pun berjalan alot. Berkali-kali pembicaraan dilakukan, namun titik temu tidak kunjung diperoleh.

    Menurut Lurah Punge Blang Cut, Abdullah TB, nilai ganti rugi yang diminta warga sudah pantas. Itu harga yang sangat lumrah mengingat tanah di sana merupakan harta warisan endatu (nenek moyang). Apalagi, sebagai besar pemilik tanah umumnya sudah yatim. Di tempat itulah anak-anak ini berpisah dengan orang mereka. ”Saya tak menyalahkan warga meminta harga jutaan, sebab tanah itu punya sejarah dan romantikanya sendiri,” kata Abdullah.

    Nasib sebagian besar warga Blang Cut memang carut marut sejak digasak tsunami. Suharyo, misalnya. Lelaki berumur 50 tahun asal Jawa Barat itu sekarang hidup sendirian setelah keluarganya lenyap ditelan ombak. Ia membangun gubuk triplek beratap seng, seluruhnya dengan tenaga dan ongkos dari kantong pribadi. ”Ongkosnya habis Rp 18 juta, tanpa bantuan sedikit pun dari pemerintah,” katanya.

    Suharyo tidak sendiri, sekitar 50 keluarga lain di Blang Cut bernasib serupa. Hampir semuany tinggal di gubuk darurat, karena bantuan rumah yang biasa diterima korban tsunami mustahil direalisasikan sebelum ada kepastian soal museum. ”Tak berani kami membangun rumah yang layak, kalau nanti ada ganti rugi, bisa-bisa pindah lagi. Sayang kan?” kata Haji Safwan, pemilik tanah terluas (207 meter) di Blang Cut yang kini juga membangun gubuk ala kadarnya. ”Kami tak boleh membangun apa pun di sini,” tambah Abdullah, ”alasannya, dalam radius tiga hektare akan dibangun Museum Tsunami.”

    Menurut Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh M. Kamil Yunus, pada awalnya program museum itu sudah berjalan. Dana juga sudah diplot. Pada anggaran 2005, BRR mengalokasikan dana pembebasan tanah Rp 17,4 miliar untuk keperluan itu. Sayang, ketika akan dibayarkan, warga menolak karena dinilai terlalu murah. Terpaksa dana tersebut ditarik kembali dan akan dialokasikan pada anggaran tahun berikutnya, dengan catatan: ada kepastian soal rencana museum.

    Masalahnya, gagasan museum itu agaknya baru sampai tingkat ”wacana”. Jurubicara BRR, Tuanku Mirza Keumala mengakui tak ada progress berarti dalam rencana itu, karena pembebasan tanahnya belum beres. Direktur Penataan Ruang dan Lingkungan BRR, Erwin Fahmi ikut menegaskan bahwa BRR belum punya rencana apa pun terhadap Kapal Apung. ”Masih rapat terus,” katanya singkat.

    Tak tahan berlama-lama dalam ketidakpastian, warga membentuk Forum Komunitas Masyarakat Kapal Apung yang diketuai Fauzi Daud. Anggota DPRD Aceh Besar itu dianggap netral. Ia kerap membela kepentingan warga walaupun tak punya tanah di lokasi Kapal Apung. ”Saya tak punya interest di sini. Mungkin justru karena itu warga percaya saya,” katanya.

    Bersama Fauzi, warga Blang Cut menggelar musyawarah untuk mencari jalan keluar. Hingga laporan ini disusun, Oktober 2006, pertemuan warga sudah puluhan kali digelar di Masjid Subulussalam, tak jauh dari lokasi kapal. Selain musyawarah, Fauzi mengaku sudah melobi ratusan pejabat tinggi melalui surat menyurat. ”Hanya Koffi Annan (Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang belum saya kirimi surat,” katanya bergurau.

    Dengan musyawarah maraton dan pelbagai jurus lobi ini, perlahan-lahan sikap warga melunak. Mereka menyadari keterbatasan pemerintah dalam soal dana. Untuk itu, warga mengajukan beberapa usulan.

    Yang terpenting: tuntutan ganti rugi tanah tetap Rp 1 juta per meter. Ini masih harus ditambah dengan ganti rugi bangunan, sesuai ketentuan yang berlaku. Menurut Fauzi, nilai ganti rugi harus mengacu pada kenaikan harga tanah di Kota Banda Aceh selepas tsunami, yang memang menanjak gila-gilaan.

    Namun, jika pemerintah memang tak punya duit, ada jalan keluar. Warga bersedia menerima ganti rugi Rp 500 ribu per meter, asal disediakan lahan relokasi yang berada di kelurahan yang sama, yakni Punge Blang Cut, seluas tanah yang dibebaskan. Selain itu, pemerintah juga musti membangun rumah tipe 54 bagi seluruh keluarga yang berada di lokasi pembebasan tanah.

    Jika usulan itu tak bisa dipenuhi, warga minta agar Kapal Apung harus segera dipindahkan agar mereka dapat segera membangun kembali rumah yang layak. Pilihan lain: areal pembebasan dipersempit, agar tak banyak lahan warga yang menjadi korban.

    Menurut Fauzi, tuntutan lahan relokasi itu sebenarnya hanya menagih “janji” Plt Gubernur NAD Azwar Abubakar dan Pjb Walikota Banda Aceh Mawardy Nurdin. Ketika menjabat keduanya menyatakan sanggup memberi ganti rugi dan menyediakan lahan relokasi. "Ini hasil rapat tanggal 12 Desember 2005 dengan Penjabat Walikota dan Plt Gubernur. Ini bukan janji, tapi wacana dari kedua pejabat itu. Sayang, karena keduanya sudah di akhir jabatan, rencana ini tak terlaksana," papar Fauzi.

    Menanggapi tuntutan ini, Pemerintah Kota membentuk tim independen untuk menilai harga tanah di lokasi Kapal Apung. Tim yang diketuai dosen Fakultas Hukum Unsyiah, Teuku Ahmad Yani, ini merekomendasikan harga yang mengejutkan warga: Rp 300 – 400 ribu per meter persegi, lebih murah dari harga yang ditawarkan pemerintah.

    Pjb Walikota yang baru (sebelum walikota terpilih dilantik), Razaly Yussuf, mengaku prihatin dengan nasib dengan nasib warga Punge Blang Cut. Gara-gara negosiasi yang berlarut-larut, warga belum bisa menerima bantuan rumah layak huni. Namun Razaly juga menegaskan pemerintah tidak ingin sembarangan dalam menetapkan harga ganti rugi. Semuanya sudah dihitung seadil-adilnya, berdasarkan penetapan Panitia Pengadaan Tanah Kota Banda Aceh. Soal relokasi dan pembangunan rumah, Razaly tak bisa menyanggupi permintaan warga. “Belum jelas sumber dananya,” katanya terus terang.

    Antropolog Unsyiah Anwar Joesoef mengakui peliknya masalah Kapal Apung ini. Pemerintah punya niat baik tapi dananya terbatas. Di sisi lain warga juga membutuhkan masa depan yang lebih baik. Sementara itu, kondisi ekonomi Banda Aceh setelah tsunami benar-benar mencekik. ”Semua barang mahal,” katanya, “bahkan daerah-daerah yang dulu tak laku, kini tanahnya mahal sekali.”

    Agar persoalan tak berlarut-larut dan warga segera mendapatkan kepastian, agaknya pemerintah bertindak cepat. Gagasan membuat museum tsunami di lokasi Kapal Apung memang masuk akal. Namun, tak semua ide yang masuk akal harus dilaksanakan sekarang. Jika dananya terbatas dan banyak sektor lain yang lebih mendesak, gagasan ini bisa saja ditunda, atau dihapus sama sekali.

    Soal Kapal Apung, yang penting pemerintah bisa memberi ganti rugi yang sangat layak kepada keluarga yang memang dirugikan. Toh, hanya dua rumah yang benar-benar ketiban itu kapal.


Top