"Alah nyak hai, bek ta peugah le masalah rumoh --sudahlah nak, jangan cerita lagi soal rumah," lirih Ummiati, dengan mata mendadak lembab. Matanya berkaca-kaca. Raut wajahnya memang kelihatan sedih. Kesedihan itu hanya bisa dia pendam bersama suami, Abdullah Wahab dan anak-anaknya.


    Ketika ditemui Waspada belum lama ini, wanita berusia 45 tahun itu sedang istirahat dengan beberapa tetangga dan suaminya. "Kami baru pulang jualan ikan di depan," ujar Ummiati di rumah gubuknya di Lorong Bispa, Desa Baet Dusun Krueng Cut, Kecamatan Baitussalam.

    Memasuki tahun ketiga pascatsunami, masyarakat korban tsunami di sini masih menempati shelter (rumah hunian sementara). Sedang Wahab menetap di rumah yang dibikin sendiri dari kayu-kayu sisa tsunami. "Kami belum dapat rumah," katanya singkat.

    Tanah selebar lapangan bulutangkis membentang di depan Ummiati. "Ini tanah kami. Di atasnya berdiri rumah semi permanen. Di sini dapurnya," tunjuk Abdullah Wahab kepada kami. Tak jauh dari tempat itu, sebuah palang bertuliskan namanya dipajang.

    "Apalagi yang kurang, tak ada yang perlu diragukan, banyak saksi. Ini sudah jelas hak milik kami," kata dia lagi. "Tapi orang yang tak punya tanah malah dia yang duluan dapat rumah. Ada yang baru beli tanah, langsung dapat rumah," keluh Wahab lagi. Sialnya, ada warga itu bukan penduduk asli. Tapi mereka duluan mendapatkan rumah bantuan.

    Menanggapi ketidakadilan tersebut, Abdul Wahab, mengaku hanya bisa pasrah. “Kalau bicara soal keadilan, seharusnya penduduk asli di sini yang harus mendapatkan rumah duluan, bukan orang dari luar, bahkan ada yang sampai empat rumah,” keluh Wahab.

    Karena itu, keluarga miskin ini tak berharap yang muluk-muluk lagi. Suami istri ini hanya pasrah saja. Apalagi kala mendengar di ada pendatang di kampung mereka, membeli tanah di situ malahan langsung mendapat ada yang sudah diidam-idamkan Wahab dan Ummi. "Kami hanya bisa menunggu saja," sebut keduanya.

    Menunggu tentu sangat membosankan bagi keduanya. Apalagi di tempat lain, malahan ada yang ”mengoleksi” rumah bantuan. Mulai dari dua unit hingga 10 unit per orang. Sedan di Lorong Bispa, belum terlihat tanda-tanda akan ada perumahan untuk para korban. Padahal, di dusun tetangga, pembangunan rumah menuju final

    Ditambahkan, selain belum mendapatkan rumah, dalam enam bulan terakhir ini mereka juga sudah tidak pernah mendapatkan bantuan apapun lagi, baik dari pemerintah maupun pihak terkait lainnya. Wahab juga menyesalkan, ketidakseriusan pemerintah yang terkesan kurang tanggap dalam melihat permasalahan para korban tsunami. “Yang kami perlukan sekarang adalah rumah dan air bersih, bukannya jalan dan selokan,” sesal Wahab.

    Keluarga Wahab memang pantas kesal. Soalnya, pelaksana rekonstruksi lebih mementingkan merehab jalan dan saluran ketimbang membuat rumah korban tsunami. Waspada melihat jalan Lorong Bispa hanya menunggu waktu untuk pengaspalan. Sedangakan atap gubuk Wahab sudah pada bocor.

    Untuk itu, Wahab selaku korban tsunami mengharapkan, perhatian pemerintah dan pihak terkait bisa segera mempercepat pembangunan rumah bagi korban tsunami. “Kami berharap agar rumah yang telah dijanjikan segera dibangun, agar masalah kami selama ini cepat selesai,” pintanya.

    Apa yang dialami Wahab, amat paradoks dengan enam warga korban tsunami yang mendapatkan rumah bantuan lebih dari satu unit, di Desa Punge Blang Cut, Kecamatan Meuraxa. Sebelumnya kasus serupa juga terjadi di Kampung Mulia. Ada tuan tanah yang mendapat 10 rumah.

    Di kampung ini, enam warga di Punge Blang Cut yang memperoleh rumah lebih dari satu unit. Lima warga mendapat rumah di antara tiga sampai enam unit. Sementara satu lagi, Abdullah TB, kepala Desa Punge Blang Cut, justru disebutkan memperoleh rumah 10 unit.

    Selain di Desa Punge Blang Cut, di Desa Rukoh, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, kepala desa setempat, Hasyim Hamdani, mendapatkan rumah 10 unit, namun setelah dicek kepada warga, ternyata informasi itu tidak benar. Namun warga membenarkan adanya empat pendatang (bukan warga Rukoh) yang tinggal di barak Rukoh yang lebih duluan memperoleh rumah ketimbang warga asli di sana.

    Sementara itu, Abdullah TB, kepala Desa Punge Blang Cut, membantah tudingan bahwa dia memperoleh rumah 10 unit. Dia menyebutkan, sebelum tsunami dia mempunyai rumah 12 unit. Sementara tujuh rumah hancur akibat tsunami.

    “Tiga rumah atas nama anak saya, bukan saya, Rumah itu pun dibangun bukan di atas tanah kosong, tapi di atas pertapakan rumah yang hancur akibat tsunami,” ujar dia seraya menunjuk bekas pertapakan rumahnya di desa yang kini terkenal dengan Kapal Apung itu.


Top