YAHYA harus menerabas hutan dua sampai tiga jam perjalanan untuk menjejak Sinabang, ibukota Kabupaten Simeulue. Dia datang dari Ujung Harapan, kecamatan Sibigo Barat, yang berjarak sekira 90 kilometer dari ibu kota daerah itu. Daerah yang kerap digelitik gempa ini memang lebih jauh dibandingkan Bireuen.


    "Sudah dua malam di sini, ada urusan sedikit," jawabnya kepada saya ketika bincang-bincang di sebuah losmen di Sinabang, Selasa kemarin. "Begitu selesai, saya langsung pulang," Yahya menimpali. Tentu, Yahya kembali ke daerah yang jauh dari informasi dan minim pembangunan.

    Bicara soal Sibigo, lulusan SMA Sinabang ini lebih bersemangat, meski bukan dengan spirit 1873. "Dari 14 desa baru lima yang sudah dialiri listrik," keluhnya. Listrik memang masalah klasik. Pasalnya bukan cuma Sibigo, Banda Aceh saja yang berada di ibukota provinsi juga tak pernah cukup arusnya.

    Selain soal listrik, singgung perkara rumah juga menarik. Banyak bantuan yang diberikan untuk warga di sana bermutu jelek. Sehingga tak heran ketika gempa pada Rabu 20 Februari silam semua bergoyang dan ambruk. "Sekarang tiang pancangnya saja yang tersisa," kata dia.

    Menilik dari cerita Yahya, kalau bicara Sibigo sama dengan mendengar cerita kemiskinan. Miskin acap diidentikkan dengan kekurangan, baik itu pembangunan, fasilitas kesehatan maupun pendidikan. "Jalan ke sana nggak bagus," kata Yahya lagi.

    Gara-gara urusan transpor itulah, yang kerap membuat Yahya dongkol bin jengkel. "Kalau jalan bagus, waktu tempuhnya bisa lebih singkat lagi," ujar dia. Jalan memang tidak berpihak kepada warga yang jauh tertinggal.

    Yahya dan ribuan warga Sibigo lainnya harus menempuh dua, tiga bahkan bisa sampai empat jam perjananan untuk berjejak ke ibukota Ate Fulawan. Bagi warga Banda Aceh, jarak tempuh itu, bisa mencapai Ulim di Pidie Jaya dan Bireuen di bawah aspal hotmix.

    Tanpa maksud melecehkan, iseng-iseng saya bertanya pada Yahya yang lebih muda. "Kamu kenal dengan wajah Gubernur Aceh?" Dia diam. "Tahu namanya siapa?" Yahya juga diam. Lama dia berpikir.

    "Ya, kurasa dia," katanya dengan senyum pahit, setelah saya menyebutkan nama Irwandi Yusuf. Irwandi yang berduet dengan Nazar menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Keduanya pemenang Pilkada 11 Desember 2006. "Pernah datang waktu gempa," ucap dia kemudian.

    Irwandi, mantan propagandis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kelahiran Bireuen 2 Agustus 1960. Dia ini ahli stategi organisasi itu. Sedang Muhammad NAzar mencuat saat Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh (SU-MPR). Pria kelahiran Ulim, Pidie 1 Juli 1973 ini didapuk sebagai ketua presidium.

    Yahya pasti tak pernah mimpi, kalau suatu saat pemimpin Aceh muncul dari pelosok Sibigo, kampungnya. Kalau itu menjadi nyata, sudah pasti imbas akan mereka terima. Minimal, kalau tidak sepekan sekali, sebulan sekali pasti akan singgah ke Sibigo.

    Begitu juga dengan Danil, seorang warga di pulau penghasil Lobster. "Jarang sekali pemimpin daerah berkunjung ke kampung kami. Kalau pun ada itu pasti karena akibat tertentu, bencana misalnya," kisahnya.

    Karena itu, sudah pasti Yahya dan Danil dan warga di Simeulue lainnya iri dengan warga Bireuen dan sekitarnya. Bagaimana tidak, hampir tiap pekan, gubernur bertandang ke sana, baik dalam urusan kunjungan kerja bin dinas maupun tidak.

    Mengingat kunker itu, ucapan TAF Haikal, seorang aktivis asal pesisir barat melintas di telinga. "Coba tanya berapa kali Irwandi pernah berkunjung pantai barat selatan," tanya dia ketika itu. "Kalau pun pernah datang, masih bisa dihitung dengan jari."

    Suara Haikal, Yahya dan Danil sudah pasti mencerminkan 'jeritan hati' warga Aceh lain di kawasan Pedalaman Aceh dan Pesisir Barat Selatan. Tentu saja, mereka tidak minta job apalagi proyek. Mereka hanya berharap proyek pembangunan juga digulirkan ke sana. Itu saja.


Top