Oleh Mounaward Ismail

    BERDIWANA ke Ulee Lheue, saya membayangkan apa yang terjadi 135 tahun silam, ketika Pante Ceureumen digebrak Belanda. Pada 26 Maret 1873, mereka menyatakan perang kepada Aceh. Dari kapal perang Citdadel van Antwerpen, Marnix, Coehoorm, dan Bronbeek kompeni menggempur daratan Aceh.

    Setelah maklumat perang dinyatakan, baru Senin, 6 April 1873, Belanda mendaratkan pasukannya di Ulee Lheue dibawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler. Sepekan kemudian, Kohler wabakiras alias wabakireuh ditembak pejuang Aceh pada 14 April 1873.

    “Oh god, ik ben gtroffen (Ya Tuhan, aku kena),” kata Kohler setelah sebutir peluru menembus dadanya. Dia tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman, pada pagi hari sekira pukul 8.30. Saat itu, dia baru saja mengelilingi Masjid Raya dengan teropongnya dalam upaya mengintip tentara Aceh.

    Sekarang, untuk melihat tempat Kohler tertembak masih ada pohon geulumpang atau kelumpang (sterculia foetida) di dekat gerbang kiri Masjid Raya. Orang Belanda menyebut pohon itu Kohlerboom atau pohon Kohler. Kalau ingin melihat memorial park-nya pun masih ada.

    Tewasnya Kohler praktis menggegerkan. Seorang jenderal Belanda mati ditembak di wilayah jajahannya. Nama Aceh ikut terdongkrak, lantas, menjadi buah bibir di daratan Eropa dan belahan dunia lainnya. Kabar soal agresi ke Aceh ikut menghiasi Koran-koran dunia; The New York Times dan London Time. Belanda pun menuai malu besar.

    Sampai kini, kita masih bisa melihat pohon Kohler dan kuburan para marsose Belanda yang merenggang nyawa dalam Perang Aceh. Kuburan Militer Peutjut begitu nama yang ditabalkan. Ribuan nama prajurit Belanda yang tewas di masa menaklukkan Aceh dipahat di dinding marmer gerbang masuk Kerkhoff.

    Menariknya, nama yang tertera di sana lengkap dengan tempat serta tahun kematiannya. Contoh; Kandang 1871, Missisigit Raya 1873-1874, Aroen 1875, dan Kota Toeankoe 1889. Datanya, tercantum dari 1873 sampai 1935. Syukurlah, sisa-sisa dokumen fisiknya masih bisa dilihat kendati sudah sedikit uzur. Tapi, paling tidak masih berjejak meski nyaris tak ada yang peduli.

    Memelototi itu, saya takjub luar biasa. Dari segi mengelola fakta sejarah–biarpun itu pahit--, mereka hebat. Tentu, ini belum lagi dokumentasi yang tersimpan rapi di Leiden sana. Aneh juga, selama ini generasi Aceh cuma membaca dan mendengar itu dari hikayat-hikayat yang ditulis. Memang banyak hikayat yang mengisahkan kegigihan pejuang Aceh masa silam.

    Perang dan Tsunami


    Lalu, pekan kemarin saya kembali ke Ulee Lheue terpakur lagi di sana. Kini saya tak melihat lagi ada Pante Ceureumen. Pantai itu ditelan laut setelah diamuk gelombang maut. Saya tak pernah membayangkan kengerian yang terjadi dalam musibah 26 Desember 2004 silam. Saat lidah tsunami menjilat daratan Aceh, di pagi Minggu. Lalu, semua porak-poranda. Ada ratusan ribu nyawa melayang dan hilang ketika itu.

    Bagi yang selamat dia senantiasa berucap; “Alhamdulillah ya Allah, lon mantong neu bie panyang umu (Alhamdulillah ya Allah, saya masih diberi panjang umur).” Masjid Baiturrahim di Ulee Lheue menjadi saksi bisu dari kemurkaan alam, tiga setengah tahun silam.

    Musibah ini kembali membuat Aceh tenar di dunia. Kali ini juga akibat perang plus tsunami yang berandil menanyarkan tanoh rincong. Perang yang sudah 30 tahun berkecamuk juga punya saham ‘mengharumkan’ Aceh. Kemudian ditambah lagi tsunami yang makin membuat Aceh begitu dekat dengan sahabat-sahabat di benua lain. Hanya saja, jika seabad silam karena kegigihan dan keperkasaan prajuritnya, kini malah terbalik. Kedukaan dari peristiwa alam terbesar dalam sejarah peradaban manusia terjadi di Aceh. Itulah tsunami, sebuah maklumat Tuhan—yang dari kacamata agama dilihat sebagai cobaan— kepada hamba-NYA yang sudah bangga berselimut dosa.

    Setelah ie beuna atau smong—kata syedara kita di Simeulue— nama Aceh tertoreh dengan tinta hitam di berbagai koran dunia. Kabar bencana dahsyat tsunami menghiasi koran elite mulai dari yang terbit di Washington, Amerika Serikat sampai di London, Inggris Raya. Tentu saja tak ketinggalan dengan Ashahi Shimbun di Jepang. Intinya mulai dari Kutub Utara hingga ke Selatan semua berduka untuk korban tsunami di sejumlah negara.

    Tsunami itu juga yang membuat anak-anak distrik Sumaysi, Arab Saudi, Mondera, di Portugal, Bacharach di Jerman atau distrik Yamagata di Jepang serta kaum Aborigin di Australia ikut larut dalam duka. Mereka pun mau menyumbang apa yang dia punyai. Atas nama kemanusiaan, empati dunia menguat. Orang Eropa, Amerika dan sebagainya menjadi begitu lengket dengan tanoh Aceh. Tak ada yang bertanya, agama, ras dan warna kulitnya apa. Semua menjadi sahabat negeri Aceh.

    Seabad Tsunami


    Tujuh bulan lagi, kisah tsunami memasuki masa 1.460 hari. Memang, jika dilihat dari tarikh, empat tahun waktu yang paling singkat. Tapi Anda tahu di mana sekarang jejak tsunami? Sudahkah tertera dalam bingkai kaca, untuk dikenang dan menjadi renungan bersama? Apakah kita harus mencari ke sebuah Museum di Tokyo atau di sebuah gerai di Pattani, Thailand.

    Tapi, semua orang tahu, kalau smong bin ie beuna terjadi di Aceh. Dan itu paling dahsyat. Tak salah lagi. Sayangnya, aroma tsunami kini bagai tak berbau lagi. Lantas apakah kita harus menunggu tempo seabad, untuk melihat seperti yang didata Belanda? Entahlah! Apakah kita harus berdiwana ke Srilanka, Amerika atau bahkan hingga ke alam baka untuk mencari memorinya.

    Lalu, haruskah, cucu dan cicit kita nanti hanya membaca kisah tsunami lewat hikayat yang akan atau mungkin ditulis ‘Dokarim-dokarim baru’. Sulit bin sukar menjawabnya. Sebab sampai hari ini, belum ada tanda-tanda ‘otentik’ ke arah sana. Kalau ada pembaca yang mulai tahu, syukurlah.

    Namun, saya tidak mendapati jejaknya seperti yang sudah ‘dicatat’ Belanda dalam Perang Aceh. Perang Aceh boleh dikatakan musibah bagi negeri Snouck Hurgronje itu. Tapi saya belum melihat model Belanda dalam musibah Aceh. Memang ada ‘Kerkhoff’ tsunami di Ulee Lheue dan Lambaro, namun itu tak lebih gundukan tanah. Bisa dimaklumi, sebab amat sulit untuk mengenali siapa saja yang terbujur di sana, apalagi untuk sebuah nama.

    Meski gelombang raya sudah lewat, dia masih meninggalkan jejak. Salah satunya kapal apung. Sebutan kapal apung sesungguhnya sudah menunjukkan sesuatu yang ganjil, unik dan misterius. Bukankah semua kapal sudah semestinya terapung? Kapal apung ini tetap saja nongkrong di tengah perkampungan padat di Punge, Blang Cut, di dalam Kota Banda Aceh, tanpa bisa digeser, diusik atau diganggu gugat. Apa boleh buat. Kapal Apung bukan hanya besar, tapi super berat. Beratnya 2.600 ton. Dari pantai terdekat, jaraknya dua kilometer lebih.

    Ditarik ke laut? Ah, ”Perlu satu tsunami lagi untuk mengembalikannya ke laut,” kata seorang turis asing yang mendatanginya pertengahan tahun lalu. Inilah salah satu tanda mata tsunami: sebuah kapal raksasa yang didorong ombak hingga ribuan meter dari tepian Pantai Ulee Lheue ke tengah-tengah permukiman di kota.

    Masih untung, nama kapal apung yang berhubungan dengan muatan yang digendong kapal ini: generator pembangkit listrik, masih terjerembab utuh hingga sekarang. Mungkin saja, jika tak dikelola, si raksasa ini akan tinggal kenangan. Karena itu sebelum benda-benda tsunami itu hilang dan sejarah pun akan menjadi hikayat, dari sekarang selamatkanlah dia.

    Tidak sulit, apalagi kita hidup di zaman canggih sekarang bukan hal mustahil rasanya kalau nama-nama korban tsunami tidak bisa kita ukir di dinding-dinding kuburan massal. Kalau kita ingin menjiplak gaya Belanda, tentu tak ada salahnya nama-nama syuhada tsunami dicatat juga. Sehingga anak cucu kita—katakannya seabad kemudian, pada tahun 2104 misalnya—bisa membaca nama kakek buyutnya yang meninggal dalam bencana dahsyat.

    Jangan sampai nanti, tsunami itu malah dijadikan dongeng peu dodaidi aneuk. Malahan, saya sempat berpikir jika Masjid Baiturrahman dan Kerkhoff tak berbekas, generasi sekarang mungkin akan berpikir, kegigihan pejuang Aceh itu hanya sebatas dongeng. Lantas, kalau suatu saat nanti tsunami pun dianggap dongeng, ke mana tanggungjawab kita yang sudah menggaruk banyak untung dari musibah itu?

    Mungkinkah kita hanya merangkai kata-katanya saja untuk menjadi hikayat? Jika dipikir-pikir, zaman Belanda saja bisa, kenapa sekarang tidak? Bukankah kini lebih maju dari seabad lalu. Tapi kok kompeni punya nama-nama prajuritnya yang mati di Aceh. Masak kita yang katanya hidup di zaman bermartabat malah tak tau nama-nama rakyat, sungguh naif. Terakhir, apakah generasi Aceh seratus tahun nanti percaya bahwa tsunami itu bukan dongeng. Entahlah… [a]

    * Artikel ini sudah dimuat Harian Serambi Indonesia, Selasa (29 April 2008)


Top