MENYERUPUT kopi di tengah jalan menjadi pengalaman pertama bagi Nguyen Quang Hong. Dia jurnalis asal Republik Sosialis Vietnam. Ini jejak pertamanya di tanoh Aceh. "Selama ini saya tahu Aceh cuma dari membaca koran dan melihat televisi," ujarnya kepada saya Rabu lalu.


    Hong sudah dua tahun menetap di Jakarta, Ibukota Indonesia. Dia bekerja sebagai koresponden di kantor berita Vietnam News Agency. Pria 37 tahun ini berada di Aceh atas undangan PWI yang menggelar kongresnya di Banda Aceh.

    Kesempatan langka bagi Hong bisa berkunjung ke tanah rencong. Katanya, jika tak dapat undangan tersebut, belum tentu dia datang sendiri. Pasalnya, ibu Hong, Madam Bui, tak ingin anaknya berkunjung ke provinsi paling barat di Indonesia ini. "Ibu saya susah sekali, dia khawatir," tutur alumnus Hanoi University.

    Namun, ketika 'burung besi' yang membawanya melayang di atas Aceh, Hong berpikir lain. Dalam pikirannya, Aceh tak seperti yang dia bayangkan. "Ternyata cantik sekali, bagus untuk wisatawan," ujarnya dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata.

    Selama di Aceh, ayah dua anak itu ditemani Muhammad Nasir Yusof, kepala Kantor Berita Malaysia, Bernama di Jakarta. Kesempatan itu dipakainya untuk keliling kota Banda Aceh, terutama pada malam hari. Lidah pertama Hong diajak berkuliner dengan Mi Aceh di kawasan Peunayong.

    Seusai menikmati mi yang dimasak dengan banyak rempah-rempah itu, Hong dan Nasir pun berhasrat jalan kaki menyusuri pinggiran Krueng Aceh. Di tas jembatan Peunayong, anak mantan diplomat Vietnam itu mengabadikan kubah dan menara Masjid Raya Baiturrahman.

    Sinar lampu yang berpendar di aliran Krueng Aceh yang membelah ibukota Provinsi Aceh itu, Nasir dan Hong tak puas-puasnya 'melukis' dengan cahaya. "Woow... bagus sekali," ujar dia girang.

    Begitu pula saat mengabadikan masjid kebanggaan rakyat Aceh dari balik pagar. Hampir penuh memori kamera digital, dia menjepret rumah ibadah umat muslim itu. Bukan cuma masjid, beca mesin dan penjual penganan ringan seperti martabak bangka dan putu ayu pun tak luput dari kilauan blitz kameranya.

    Bagi pria yang dua tahun menetap di Jakarta ini, apa yang dia lihat di tanoh Aceh semuanya 'langka'. Tentu saja termasuk saat harus menghirup aroma 'air hitam' made ini Aceh di tengah jalan di depan Masjid Baiturrahman. "Saya baru kali ini minum di tengah jalan," ujarnya sembari terkekeh.

    Sementara Nasir yang berasal dari Kelantan, Malaysia sudah sering menjilat kopi Aceh. "Saya sudah beberapa kali berkunjung ke sini. Pertama kali waktu tsunami, saat ribuan ton sampah masih berserak di mana-mana," jelasnya panjang lebar.

    Memang, sejak dibuka ruas jalan satu jalur di seputaran Masjid Raya dan sekitarnya, ada jalur-jalur tertentu yang jarang dilalui kenderaan. Tempat Nguyen Quang Hong dan Nasir nongkrong persis sebelah selatan Baiturrahman. Atau jaraknya cuma 20 meter dari Menara Modal yang tinggi menusuk langit.

    "Ini jalan mati, tidak pernah dilewati kenderaan kalau malam hari," ujar Syahrial, pemilik gerobak. "Karena itu kami berjualan di sini. Apalagi, sejauh ini belum ada yang melarang, karena memang tidak mengganggu orang lewat."

    Sembari menikmati malam itu, Hong memberi apresiasi positif untuk Aceh. "Provinsi ini unik. Daerahnya cantik, tinggal menggiatkan promosi sampai ke luar negeri. Apalagi, sekarang saya lihat sudah aman," ungkap Hong yang juga sudah melintas Selat Malaka menuju Pulau Weh Sabang.

    Melihat Aceh kekinian, dua jurnalis ini berharap ke depan rakyat di Serambi Makkah bisa hidup makmur dan pemerintahnya bisa melancarkan program-program pembangunan untuk kemajuan daerah ini. "Kalau ada waktu, saya akan kembali lagi ke sini. Saya suka masakan Aceh," tutur Hong. Tentu bukan, untuk ngopi di jalan kan Hong?


Top