PEREMPUAN mungil itu berdiri depan pintu. Dia menyambut kami. Dengan balutan baju biru, kerudung putih dan kain sarung warna merah bata dia membuka suara menyapa. Batang usia sudah tinggi; 80 tahun. Orangnya terlihat ramah. Dialah Teungku Aisyah binti Teungku Muhammad Hasan.


    Wanita inilah yang paling menantikan kepulangan Dr Tgk Hasan Muhammad Ditiro. Dia adik kandung Hasan Tiro, deklarator Gerakan Aceh Merdeka. Hari ini, pria yang disapa Wali Nanggroe itu akan menjejaki kembali kakinya di Aceh setelah lebih kurang 30 tahun bermukim di Swedia.

    Aisyah dan Hasan Tiro lahir dari ayah yang sama, namun lain ibunda. Ayah mereka, Tengku Muhammad Hasan menikah dua kali. Dari pernikahannya dengan Tengku Pocut Fatimah, dikarunia dua anak laki-laki, yakni Tengku Zainal bin Muhammad Hasan dan Tengku Hasan Muhammad atawa Hasan Tiro.

    Setelah Pocut Muhammad yang tak lain cucu Tgk Syik Ditiro meninggal, Muhammad Hasan menikah lagi dengan Teungku Rohanna dan memperoleh seorang anak perempuan, itulah Aisyah. Ummi Aisyah, tiga tahun lebih muda dari Hasan Tiro, penulis buku Demokrasi Untuk Indonesia.

    Kini, susah berbicara dengan Aisyah. Pendengarannya rusak, untuk menanyakan sesuatu harus diucapkan
    dengan suara keras dan berulang-ulang. "Telinga Umi sudah lama sakit, bahkan sudah pernah diobati di medan," ungkap Hilmi, 55, putrinya.

    Dengan bantuan dia, perbincangan dengan Aisyah berjalan mudah. "Peu ek geuwoe dilee, apa mungkin pulang," tanya Ummi Aisyah belum sepenuhnya percaya, kepada Waspada, Sabtu, pekan lalu ketika bersilaturrahmi ke rumahnya di Desa Tanjong Bungoeng, Mali, Kecamatan Sakti, Pidie.

    "Lon teuingat that keu Cut Bang. Kiban han teuingat keu syedara teuh saboh treuk-- saya teringat sekali ke Cut Bang. Bagaimana tidak teringat dengan saudara yang tinggal seorang lagi," ujar. Cut Bang yang dimaksud wanita ini tak lain Hasan Tiro. Dia mengaku sejak kanak-kanak menyapa begitu.

    Ketika mengungkapkan itu, mata Aisyah berkaca-kaca. Dengan memakai ujung jilbab putih yang berenda dia menyapu bola matanya. Kesedihan membalut. Kenangan masa silam seakan membayang. "Cut Bang got that sayang geuh keu lon-- Cut Bang cukup sayang ke saya," ungkap dia lagi.

    Kenangan indahnya bersama Cut Bang membuat Aisyah banyak diam. Dia bercerita pula bagaimana baiknya sikap Hasan Tiro dalam menjaga adik semata wayang. Perhatian dan kasih sayang yang sempat dirasakan Aisyah kini mebuncah rindu. Bahkan rasa rindunya seakan menjadi sulit dibendung.

    Ini bisa dirasa dari pertanyaan dia yang beulang-ulang. "Peu ek geuwoe Cut Bang, ek geujak saweue lon," tanya dia dengan suara terbata-bata. Berita pulangnya ayah Prof DR Karim Tiro hanya dikabari Hilmi. Dari situ dia tahu. Tapi masih belum percaya juga sebelum ada di depannya.

    Pun demikian, untuk menyambut kepulangan abangnya, dia mengaku akan menyiapkan masakan Aceh seperti kuah pliek serta apasaja yang bisa dia berikan. "Ta bie peu-peu yang mudah. Yang paling penting beu geuwoe dilee," ungkap dia dalam bahasa Aceh.

    Bukan hanya Aisyah, tetangganya di desa yang sama juga sudah bersiap-siap menyambut Wali. Tgk Mahmud, 57, seorang warga setempat mengaku sedang sekali mendengar berita Hasan Tiro pulang. "Kamu senang that nyoe Wali geuwoe," ujar dia.

    Ditanya senang bagaimana? Pria berkulit gelap ini sulit mengutarakannya. Dari mimik, juga terlihat kalau dia tidak bohong. "Inikan sudah damai, jadi sudah saatnya wali pulang melihat tanah kelahirannya. Kami semua sudah lama tak melihat wajahnya," papar Mahmud.

    Bukan hanya Mahmud. Syafri, warga Aceh Besar, juga mengutarakan hal yang sama. "Saya penasaran ingin melihat wajah Hasan Tiro nanti," katanya. Dia mengaku mengenal Hasan Tiro hanya melalui foto-foto yang ada di majalah dan media massa.

    Meskipun tidak mengenal secara langsung, namun, pria 26 tahun ini,, pernah membaca soal perjuangan Hasan Tiro yang memproklamirkan kemerdekaan Aceh dari RI melalui Gerakan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Akibat aksinya itu, dia dicara pasukan pemerintah. Selama tiga tahun dia bergerilya dengan pasukannya di hutan Aceh.

    Lalu, pada 29 Maret 1979, Hasan Tiro meninggalkan Aceh, agar tidak ditangkap pasukan negara. Selama lebih kurang 30 tahun lebih, Hasan Tiro memimpin perjuangan gerakan kemerdekaan Aceh di tempat pengasingan di Norsborg, Stockholm, Swedia.

    Kini Hasan Tiro yang lebih dikenal sebagai Wali Nanggroe di kalangan GAM bisa pulang ke Aceh setelah GAM-RI melakukan perdamaian pada 15 Agustus 2005 di Finlandia. Untuk memuaskan rasa ingin tahu dan penasaranya,
    Syafri dan rekannya Sabri, akan berusaha mengikuti semua agenda Hasan Tiro selama berada di Aceh.

    Namun, dia yakin, bahwa kepulangan Hasan Tiro kali ini tidak sama dengan isu zaman konflik yang sudah lewat. Dulu, katanya sibak rukok treuk (sebatang rokok lagi) Wali akan pulang. "Tapi nyoe kon sibak rukok treuk. Insyallah Sabtu tiba di Aceh," ujarnya optimis.

    Dia bukanlah satu-satunya masyarakat yang ingin melihat langsung wajah Hasan Tiro saat tiba di Aceh nanti. "Hampir semua masyarakat Aceh ingin bertemu dan melihat secara langsung sosok Hasan Tiro," tukas Ibrahim KBS Juru Bicara Komisi Peralihan Aceh.


Top