(Surat Terbuka Untuk Peraih Nobel Perdamaian 2008)

    YANG Mulia Tuan Martti Ahtisaari. Mitä kuuluu Mister Ahtisaari. Toivon, että sinusta tuntuu hyvältä. Kehu teidän palkinnon. (terjemahan bebasnya; apakabar Mister Ahtisaari, saya harap Anda baik-baik saja. Selamat atas penghargaan yang Anda terima...). Tuan, kami rakyat Aceh, pantas memberi apresiasi atas Nobel Perdamaian yang Anda terima.


    Ini warkah saya tulis secara terbuka agar para Yahwa dan Mawa di segala pesolok gampong Aceh ikut membaca. Sebab merekalah yang menikmati ’pohon’ damai sesudah Anda bantu semai. Damai itu, membuat mereka bisa kembali ke ladang, mulai dari tanom pade sampai pula campli, tapi bukan pula pingkui.

    Maaf kalau ketika membuka surat ini, saya mengawali dengan mengutip bahasa Suomi, bahasa yang –mungkin--Anda pakai sehari-hari. Kalau salah harap maklum, karena ini saya kutip dari internet. Dengan teknologi, Aceh dan negara Anda cuma selebar komputer jinjing.

    Kini, saya tidak tahu, apakah Anda masih tetap memantau situasi Nanggroe Tsunami; Aceh. Apalagi sesudah tuan menerima Nobel Perdamaian pada 10 Desember lalu. Setahu saya Anda menjadi orang ke 89 yang menerima Nobel di bidang perdamaian, setelah Jean Henri Dunant dari Swiss dan Frédéric Passy asal Perancis yang menerimanya pertama kali pada 1901.

    Tuan Martti, saya ingin kabari bahwa, menjelang Pemilihan Umum 2009 nanti, situasi Aceh diprediksikan bakal panas sekali, bukan karena ekses pemanasan global atau gara-gara hutan yang terbakar. Suasana itu dipengaruhi oleh suhu politik. Apalagi pemburuan kursi legislatif juga kian ketat dengan adanya partai lokal di sini. Padahal kami berharap, Pemilu nanti bisa sejuk, sedingin salju di Helsinki. Tapi apa daya, semua kadung terjadi.

    Tuan, kami rakyat jelata, tidak bicara soal tahta. Kami tahu, pemilu itu pesta demokrasi, kalau ’enak’ kami ikuti, jika tidak juga tak boleh dipaksai. Apalagi sampai harus membuat fatwa haram bagi yang tidak berpartisipasi (baca: golput). Maaf tuan, saya tidak menggurui, mungkin begitulah prinsip orang berdemokrasi. Tak boleh intimidasi apalagi memaksa sesuka hati.
    Tak Ingin Konflik
    Beranjak dari klausul perjanjian yang sudah ditandatangani, kami tahu ada perkara mulia di sana buat rakyat jelata. Dengan damai, kami bisa hidup merakit asa yang sempat dihayak senjata. Menata negeri supaya maju. Agar rakyat bisa hidup sejahtera, tanpa perlu menadah tangan meminta-minta. Dengan potensi yang melimpah, kami ingin, supaya rakyat juga tidak perlu hidup susah. Meski itu tidak mudah, tapi jangan pula dibuat hati rakyat makin gundah. Pasalnya, banyak aturan yang menjadi amanat undang-undang, tapi belum juga kelar. Bagaimana ini Tuan?

    Bagi kami, itu tugasnya petinggi negeri yang sedang bertahta. Mereka berhak menagih dan meminta kepada yang lebih berkuasa di Jakarta. Kami hanya rakyat jelata, cuma ingin agar tak ada lagi amuk senjata. Tuan Presiden lebih tahu, konflik yang membuat hidup menjadi pelik. Oleh karena itu, kami rindu Aceh tanpa mesiu. Rindu Aceh tanpa perang, termasuk ’perang’ kata-kata, seperti banyak diberitakan media. Jangan sampai pula, gara-gara perang-perangan membuat kami berhenti berladang.

    Kami tak ingin, petinggi di sini saling tuding menuding. Semuanya harus akur. Semua pihak seharusnya bersanding, bukan bertanding. Biarlah yang bertanding itu para pemain sepakbola saja. Betul tidak Tuan? Lalu, kalau ada rasa curiga sebaiknya di-stipo saja. Jangan curigai bahwa kami ingin merdeka lagi, merdeka itu sudah cukup sekali, sebab setelah itu mati.

    Tuan Martti. Kami sudah lelah berpeluh darah. Kami berharap damai itu tidak semu seperti yang diketuskan petinggi negeri. Seharusnya itu kita jaga bersama-sama, agar damai tidak sirna. Bukan itu saja, kita pun harus memupuk damai ini dari yang katanya semu menjadi nyata, jika dia belum tumbuh, mari kita sirami biar dia cepat berakar.
    Panglima Ahtisaari

    Tuan Ahtisaari. Di hari Anda menerima penghargaan bergengsi dalam karier sebagai politisi, sebenarnya kami ingin memberi juga sebuah gelar untuk Tuan. Boleh jadi itu sebagai rasa terima kasih, atawa sebagai tanda jasa untuk Anda yang paling istimewa. Ya, Anda telah berjasa bagi perubahan Aceh.

    Setahu saya, para endatu kami dulu juga acap memberi gelar kehormatan kepada mereka yang sudah berjasa. Gelarnya pun ada macam-macam, tapi yang pasti itu amat-amat terhormat. Namun, sampai saat ini, saya melihat belum ada usul dari orang yang membidangi adat-isitiadat guna memprakarsai itu.

    Saya yakin, mereka bukan lupa, tapi sedikit sibuk mengurusi proyek. Ya, mulai dari proyek jalan becek, sampai saya tak tahu hendak bilang apalagi ke Tuan. Karena ’gelombang’ anggaran yang datang ke Aceh, bak hujan turun dari langit. Semoga ini tidak membuat mereka lupa dataran. Sebab kalau lupa, bisa-bisa mereka harus ’berenang’ di kamar sempit lembaga permasyarakatan.

    Tuan Presiden, saya yakin dedikasi Anda itu tanpa berharap imbalan dan pamrih. Semua bermula dengan ketulusan merakit perdamaian. Soal sebuah gelar, ini bukan untuk menambah euforia saja. Tapi murni sebagai bentuk menghargai kerja orang lain. Ini tulus sebagai rasa terima kasih untuk kerja berat yang sudah Tuan perbuat.

    Karena itu, jika Anda berkenan datang lagi ke nanggroe kami. Saya ingin memberi gelar tinggi, mungkin tak setinggi gunung Halimon, sebab tak kuasa kami daki. Buktinya, kami pernah 32 tahun terperosok di sana. Ah, itu masa lalu Tuan, sudah kami kuburkan bersama puing-puing gelombang tsunami.

    Tapi anteeksi (maaf) Tuan, saya belum punya referensi tentang banyak gelar warisan nenek moyang kami. Mungkin semuanya masih tersimpan rapi dalam almari di Leiden, Belanda. Nah, ini kesempatan lagi untuk kembali studi banding atau mencari jejak ke sana. Masalahnya bukan cuma itu saja Tuan, sampai saat ini pun, yang berhak memberi gelar belum ada. Kalau tidak salah Wali Nanggroe namanya. Itu pun, sampai kini, kami tahu siapa orangnya.

    Qanun Wali Nanggroe yang menjadi amanat dari Helsinki pun tak kami ketahui juntrungnya. Kabarnya sudah disusun rapi, tapi belum finalisasi. Sekali lagi anteeksi Tuan, itu tugas anggota dewan, jadi kami tak berani campuri. Kami rakyat jelata hanya bisa diam untuk sementara. Sembari menunggu aturannya, tak ada salahnya kami mulai menyeleksi gelar yang tepat untuk Tuan.Sambil menanti kelar Qanun Wali Nanggroe.

    Mungkin biarkan kami menggelari Anda panglima saja. Ya, Panglima Martti Ahtisaari. Panglima itu juga jabatan yang sudah lazim di tempat kami. Contohnya ada Panglima Laot. Lembaga Panglima Laot ini sudah berdiri sejak Sultan Iskandar Muda. Dia itu raja kami dahulu kala yang gagah perkasa, membuat Aceh kaya raya.

    Gelar itu, tak mungkin kami sematkan untuk Tuan. Karena Tuan berjasa bukan hanya di laut dan darat saja. Damai itu membuat semua sendi kehidupan berdenyut lagi. Kemudian ada lagi Panglima Uteun, tapi ini tak cocok dan tak banyak dipakai, sebab mereka hanya Pang Seuneubok.

    Lalu Panglima Polem, ini gelar untuk kalangan bangsawan istana. Jadi yang berhak menyandang itu hanya orang-orang yang berdarah biru saja. Begitu pula dengan Panglima Kawom. Ini juga skopnya kecil, hanya untuk kelompok atau kalangan sebuah etnik saja. Panglima Tibang sama juga. Dia hanya mengurusi urusan syahbandar pelabuhan. Dalam negara modern sekarang –mungkin—dia setara dengan kepala imigrasi. Untuk sekedar Tuan ketahui, Panglima Tibang pun kadung cacat namanya. Kesannya sudah negatif.

    Kalau Panglima Prang, jelas-jelas tak mungkin lagi, sebab negeri ini sudah damai. Kalau Panglima Damai juga lebih-lebih salah kaprah, sebab tak ada literaturnya dalam kamus masa silam Aceh. Untuk sementara sebagai bentuk penghargaan, tak ada salahnya kami panggil Panglima Martti saja. Sembari menanti gelar yang layak dari lembaga yang berhak menganugerahinya. Semoga Anda berkenan.

    Tuan, Anda pasti tambah bingung melihat tulisan ini. Logis sekali, sebab saya tidak menulis dalam bahasa yang Anda pakai sehari-hari. Dan, kalau --mungkin saja-- ada orang yang kurang senang dengan warkah ini. Anggap saja ini tulisan lalu. Eh, angin lalu maksud saya.

    Sebab niat saya hanya ingin merekam suara jelata yang sudah bertumpuk dari Sabang hingga Tamiang. Karena ini juga harapan mereka di Ate Fulawan (Simeulue) sampai Lawe Bulan (Aceh Tenggara). Ini pula keinginan orang-orang Lembah Seulawah sampai lewat Bener Meriah, juga hasrat para pedagang dan nelayan. Harapan petani dan semua mereka yang mengagungkan damai.

    Makanya Tuan, jika negeri ini damai, kami tak rugi. Kalau ada yang masam muka karena Aceh begini, itu musuh yang harus dipreteli. Betul tidak Tuan? Kiitos (terima kasih) Anda sudah bersedia menyimak surat ini. Anteeksi jika ini tak berkenan di hati. Näkemiin!


Top