Resah Jatuh di Syiah Kuala

MEMALUKAN. Begitu ungkapan yang cocok untuk melihat kondisi kuburan Syech Abdurrauf as-Singkily di bibir pantai Desa Deyah Raya, Kec Syiah Kuala, Banda Aceh. Malam ulama kaliber internasional itu, tak ubahnya kuburan rakyat jelata yang tak punya kharisma.



Kita sudah kadung dianggap, orang tak menghargai ulama dan sejarahnya. Kita hanya bangga, menambalkan nama besarnya di universitas saja. Tentu saja dengan tujuan agar ketenaran itu ikut merembes juga. Tapi dibalik itu, dengan dengan 'rajin' menistakan mantan Khadi Malikul Adil Kerajaan Aceh dulu.

Padahal, dia juga bisa menjadi ikon pariwisata spiritual di Aceh, terutama kota Banda Aceh. Imbasnya yang diterima tentu saja pemasukan untuk daerah, dan membuat ekonomi warga bergema. Sayangnya, langkah ke arah sana belum dimulai juga. Ini bisa dilihat dari 'terlantarnya' Komplek Makam Syiah Kuala yang dikelola yayasan.

Keberadaan kompleks yang bisa mengundang turis mancanegara itu, sejak dulu tak penah dikelola dengan baik. Perhatian pemerintah juga sangat minim. Jangankan berharap dikelola profesional, tata letaknya saja dibawah standar, dan bahkan tak layak pakai.

Ini bisa dilihat dari bangunan cungkup makam seharga Rp1,8 miliar yang dibantu Menteri Sosial, Bahctiar Chamsyah. Bangunan yang sejatinya harus megah itu harus dirobohkan kembali. Karena kualitas gedung yang dibangun CV Mandiri Karya Utama sudah berpatahan. Sangat mengecewakan.

Rasa kecewa itu terlihat juga saat serombongan turis asal Malaysia berziarah ke sana, Senin (9/3) bertepatan dengan Maulud Nabi Muhammad SAW. Wisatawan negeri jiran itu datang dengan tiga kenderaan mini bus. Sayangnya, begitu selesai ziarah, mereka langsung ambil sandal, pulang. Tidak lama di sana.

Sejatinya, ada kantin dan toko souvenir yang menjajakan kerajinan lokal. Serta ada pula pustaka yang mengoleksi kitab-kitab baik yang ditulis Syiah Kuala maupun buku-buku yang menulis sejarah tokoh kharismatik zaman dulu itu. "Ini sungguh memalukan, tokoh ulama Asia Tenggara, yang makamnya ingin dikunjungan banyak orang, malah berantakan," kata H Sulaiman Abda.

Menurut ketua Pansus III Dapil I DPR Aceh, bangunan cungkup makam itu sudah pernah mereka teliti tahun lalu. Katanya, dari segi kualitas terlihat sangat rendah, apalagi sudah mulai berpatahan di balok tengah. "Bangunan ini tidak layak pakai," ungkap dia.

Ketua Komisi D DPR Aceh itu, bahkan mengancam akan membawa kasus tersebut ke sidang paripurna. Namun, dia bersyukur, pihak Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto dan Menkokesra Aburizal Bakrie, sudah meninjau langsung ke lokasi makam pada 23 Februari lalu. Ketika itu, Presiden SBY sedang kunjungan kerja di Aceh.

Pimpinan Yayasan Syiah Kuala, Mahmud Ika kepada Waspada, mengatakan dalam kunjungan tersebut, kedua menteri Kabinet Indonesia bersatu itu memerintahkan agar bangunan yang sudah ada dirubuhkan, lalu dibikin bangunan baru. "Kami berharap ini bisa segera terwujud," ungkap penjaga makam Syiah Kuala ini.

Mahmud menambahkan, menindaklanjuti instruksi menteri tersebut, pekan lalu staf dari Pusat Survei Geologi Bandung sudah singgah ke makam Syiah Kuala. "Cuma, kapan ini akan dirombak kembali, itu tidak tahu kita," sebut keturunan ketujuh Syech Abdurrauf as-Singkily itu.

Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, di sela-sela menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad SAW, yang digelar Partai SIRA mengatakan, pihak Pemerintah Aceh sudah 'mengadukan' masalah tersebut ke Presiden, sehingga datang dua menteri ke lokasi bersejarah tersebut.

Kata dia, pihaknya tetap konsen dengan keberadaan ulama terkenal Aceh itu. Nazar, mengaku menaruh perhatian untuk menyelamatkan asset bersejarah. "Kita memang tidak menyembah-nyembah makam. Tapi banyak pelajaran, dan spirit yang bisa dikutip untuk masa kini dari keberadaan makam itu," katanya.

Makanya, dia mendesak penegak hukum untuk terus memantau kasus buruknya kualitas bangunan yang memungkinkan terjadinya kerugian negara di sana.

Sementara itu, mantan aktivis Aceh, Muhammad Taufik Abda yang juga ketua Partai SIRA kepada Waspada mengutarakan hal serupa. Dia merasa terenyuh melihat makam ulama besar yang terlantar. Padahal, katanya, Syiah Kuala itu bukan tokoh sembarangan.

Dia melihat, selama ini sepertinya kurang perhatian dari berbagai elemen untuk mengenang jasa besar ulama Aceh kaliber Asia Tenggara ini. "Makanya kami menggelar acara di sini, untuk mengajak semua elemen peduli. Ini menjadi tanggungjawab kita semua," ungkapnya.

Taufik juga mengaku malu, ketika masuknya wisatawan Malaysia untuk ziarah, yang mereka lihat tidak semegah nama orang yang dimakamnya. "Harus kita ubah pola pengelolaannya. Di lokasi ini, bukan hanya makam saja yang ada, kantin, toko buku dan pustaka juga harus tersedia, seharusnya seperti itu. Sehingga jika ada turis datang, selesai ziarah tak langsung pulang," papar pria berkaca mata ini.

Tempat Ziarah

Memang dalam 'masterplan, makam ulama besar Aceh, yang bernama asli Syiekh Abdurrauf bin Ali Al-Fansuri di kawasan pantai Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, menjadi obyek wisata spiritual. Tapi, fakta yang terlihat malahan sebaliknya, Melihat fasilitas, menjadi kurang layak sebagai objek wisata.

Menurut Machmud Ika, ketua Yayasan Syiah Kuala, hampir setiap hari, makam Syiah Kuala ramai dikunjungi penziarah dari berbagai daerah, baik dari Aceh maupun luar daerah. Mereka yang datang umumnya ingin bernazar. “Yang berziarah di sini, sebagian besar memenuhi nazar dengan melakukan kenduri di lokasi makam, sebagai rasa syukur mereka,” katanya.

Mahmud menambahkan, setelah musibah tsunami 2004, para peziarah yang datang ke makam tersebut menunjukkan peningkatan. Tamu yang berkunjung ke Banda Aceh, umumnya selalu menyempatkan diri berziarah ke makam Syiah Kuala.

Makam ulama yang namanya diabadikan menjadi nama perguruan tinggi negeri di Banda Aceh, yakni Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), tak hanya dikunjungi turis lokal, tapi juga peziarah manca negara, seperti dari Turki, Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, Arab, dan bahkan Polandia. “Orang luar Aceh, seolah belum tenang jika belum datang ke makam ini,” kata Machmud.

Di kawasan itu, terdapat 42 nisan lain, yang merupakan makam para sahabat dan murid Syiah Kuala. “Rata-rata, yang bernazar setiap harinya berjumlah 100 hingga 200 orang,” ujarnya. Pasca tsunami, makam Syiah Kuala direncanakan dipugar menjadi lebih indah oleh Pemerintah Pusat dengan membangun cungkup dengan dana sebesar Rp1,4 miliar.

Tidak hanya itu, Pemerintah Aceh melalui Dinas Tata Kota dan Pemukiman, juga telah membagun balai dengan dana Rp1,4 miliar. "Tapi bangunan yang dikerjakan sangat tidak layak, sehingga menteri minta dibongkar," papar Mahmud Ika.

Syiah Kuala merupakan salah seorang ulama Aceh yang berjasa dalam penyebaran agama Islam di Aceh pada 1001 Hijriah atau 1591 Masehi. Ia meninggal malam Senin, 23 Syawal 1106H atau 1696M dalam usia 105 tahun. Semasa hidupnya ulama tersebut menjadi Khadi Malikul Adil pada saat Aceh diperintahkan para sultanah.

Sejarah mencatat, Syiah Kuala dulu menjadi semacam Menteri Kehakiman di era pemerintahan sekarang, pada empat sultanah atau Ratu. Mereka adalah, Safiatuddin Syah memerintah pada 1050-1086 H (1641-1675 M), Nakiatuddin Syah 1086-1088 (1675-1678), Zakiatuddin 1088-1098 (1678-1688) dan Kamalatsyah 1098-1109 (1688-1699).

Pada satu sisi kita bangga dengan keangungan nama Abdurrauf as-Singkily. Tapi pada momen lain, kita alpa merawat nilai keagungan itu. Kita cuma bisa mengabadikan namanya di pepatah saja; adat bak po teumeuruhom, hukum bak, Syiah Kuala...!


No comments:


Top