, ,

    MASJID Raya Baiturrahman, kembali menjadi saksi bisu cerita duniawi, terutama politik. Bukan kali ini saja, masjid kebanggaan rakyat Aceh ini menjadi lokasi banyak acara serimoni. Khusus dalam ranah politik, yang menarik adalah saat Pilkada 'berjamaah' 2006 lalu. Kemudian Pemilu 2009 kali ini juga terulang lagi.


    Pada Pilkada lalu, delapan pasangan kandidat gubernur/wakil juga menandatangani prasasti Kampanye Damai di halaman masjid itu pada Kamis, 23 November 2006. Pilkada yang berlangsung pada 11 Desember itu bukan hanya monopoli provinsi saja. Sebaliknya, 19 kabupaten kota juga memilih pemimpinnya.

    Yang menarik tentu saja, sehari sebelum kampanye damai digelar, salah satu bus rombongan calon gubernur itu dilempar massa di Kota Matangglumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Bireuen, pada Rabu (22/11). Riak-riak seperti itu, acap mewarnai ruang demokrasi di tanoh endatu ini.

    Namun, yang terjadi adalah, Pilkada tersebut sukses yang kemudian dimenangkan pasangan independen, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Banyak elemen memberi apresiasi untuk Aceh, atas keberhasilan Pilkada itu. Segala puja-puji pun tumpah.

    Kini, kita diingatkan kembali pada 'sinetron' serupa, meski dalam epidose berbeda. Guna menjaga kelanggengan perdamaian, semua elemen sepakat, agar Pemilu 2009 juga wajib berlangsung kondusif. Ketika itu, banyak elemen khawatir, mengingat intimidasi, teror dan perusakan kantor berlangsung saban hari.

    Ketika kondisi ini mulai memanas bak mesin diesel, tampil Forum Silaturahmi dan Komunikasi (Forsikom) Antarpeserta Pemilu 2009 di Aceh. Lembaga yang difasilitasi Aceh Peace Resource Center (APRC), Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Forum Koordinasi dan Komunikasi (FKK) dan Pemerintahan Aceh, mengelar
    Ikrar bersama Pemilu Damai 2009 di rumah ibadah yang sama, pada 12 September lalu.

    Ketika itu, sebanyak 43 partai politik nasional dan partai lokal peserta Pemilihan Umum 2009 di Aceh dan 29 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah Aceh bersepakat menciptakan pemilu yang tertib dan damai di tanah rencong. Uniknya, ikrar tersebut berlangsung di tengah-tengah maraknya pelanggaran pemilu.

    Pelanggaran dimaksud, seperti ungkapkan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf ketika itu berupa penurunan baliho,
    penurunan bendera partai, pembakaran kantor parpol, penaikan spanduk yang melabelkan salah satu partai dengan sebutan partai separatis, menempel gambar satwa di wajah caleg dan sebagainya.

    Ikrar tersebut juga tak dihadiri sejumlah partai. Kebanyakan mereka yang tak hadir, karena kurang sejalan dengan 'konsep' lembaga tersebut. "Mereka tak mengakomodir aspirasi kami. Pun begitu, kami tetap mendukung pemilu damai yang demokrastis di Aceh," ujar jurubicara Partai Aceh Tgk Adnan Beuransyah.

    Menurut dia, ketika itu, pihaknya mempertanyakan isi ikrar partai politik nasional dan lokal. "Kami menanyakan, kalau terjadi intimidasi dalam bentuk lain, selain partai yang dilakukan sesama peserta pemilu, itu bagaimana solusinya. Ini tidak pernah dijawab dan tak penyelenggara tidak mengakomodir itu," dalihnya.

    Menjelang hajatan 9 April nanti, lembaga penyelenggara pemilu, dalam konteks Aceh disebut, Komisi Independen Pemilihan (KIP) juga mengusung tema yang sama. Ini bisa dilihat saat dimulainya Deklarasi Kampanye Damai di Baiturrahman, 16 Maret lalu.

    Ikrar yang resmi itu diikuti para calon anggota legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan DPR – RI serta calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). “Kita harapkan suasana kampanye di Aceh berlangsung damai dan tidak ada intimidasi-intimidasi yang terjadi,” pinta Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, saat membuka kegiatan.

    Kata dia, ikrar itu penting untuk komitmen bersama dalam menjaga agar pemilu di Aceh dapat berlangsung aman dan damai. Nazar berharap, seluruh caleg di Aceh dapat menjaga suasana perdamaian di Aceh. Ikrar dibacakan bersama oleh beberapa caleg yang hadir mewakili partainya.

    Dari 37 partai nasional (minus Partai Indonesia Baru– PIB) dan 6 partai lokal yang yang mengikuti pemilu di Aceh, hanya 12 partai yang tidak ikut ikrar. Partai itu adalah; PDI, PDK, Partai Republikan, PNBK, Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh, Partai Karya Pembangunan, PPI, Partai Marhaenisme, Partai Barisan Nasional, PPPI dan Partai kedaulatan.

    Nah, ikrar itu sendiri berisikan pointer menghormati dan mentaati seluruh aturan kampanye pemilu 2009 sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian juga aktif mengendalikan massa pendukung kampanye dari masing-masing peserta dan saling menghormati antar sesama peserta dengan tidak melakukan intimidasi, propovasi dan tindakan lain yang dapat menciderai perdamian.

    Harapan senada juga pernah diusung, Kepala Kepolisian Daerah Aceh, Irjen Pol Adityawarman. Dia mengimbau para pimpinan seluruh partai politik untuk menciptakan pemilu damai. Menurut Kapolda, semua pihak baik parpol, KIP, Panwaslu, juga aparat keamanan, harus dapat menciptakan suasana agar masyarakat dalam keadaan aman saat datang ke TPS.

    Untuk mencapai kondisi tersebut, kata Kapolda, semua pihak harus dapat menghilangkan rasa ketakutan (paranoid) dan menumbuhkan rasa saling percaya sehingga pemilu di Aceh berjalan secara damai. “Pascakonflik dan tsunami semua pihak harus menghilangkan rasa paranoid dalam masyarakat,” jelas Adityawarman.

    Sementara, data dari Panitia Pengawas Pemilu Aceh menyebutkan, ada 28 pelanggaran Pemilu itu yang dilaporkan oleh peserta Pemilu dan masyarakat. "Laporan tersebut antara seperti penurunan atribut partai, calon anggota legistif dan intimidasi," kata ketua Panwaslu Aceh, Nyak Arif Fadhillah baru-baru ini.

    Memang, sejumlah caleg partai bahkan harus merengang nyawa menyelamatkan panji-panji partainya. Selain, kantor yang digranat, bakar, baliho yang disilang kata-kata tak etis, sampai pengrusakan yang mengarah anarkis untuk 'membunuh' karakternya. Jauh dari kesan-kesan yang diharapkan.

    Makanya, di Jakarta pada Senin lalu, Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampouw, di menyentil, `Ikrar Kampanye Pemilu Damai`oleh para elite Parpol, hendaknya jangan cuma `hiasan` atau seremonial, semata. Akan tetapi tak berwujud konkret di lapangan.

    "Sebagai seruan moral, ikrar kampanye Pemilu damai itu memang perlu dan penting dilakukan. Tetapi sering kita menyaksikan di berbagai tingkatan Pemilu, semangat ikrar kampanye damai lebih sering menjadi `hiasan` atau seremonial di awal kampanye yang tidak punya dampak apa-apa terhadap perilaku kampanye Parpol," ujarnya.

    Menurut dia, ikrar kampanye Pemilu damai cenderung sangat elitis, hanya di tataran segelintir elite pengurus Parpol, seingga tidak diketahui dan dipahami oleh para pendukung atau peserta kampanye di lapangan. "Ini bisa berkaitan dengan ulah para pendukung fanatik Parpol tertentu, yang membuat penyelenggaraan kampanye sering ternoda serta merusak citra demokrasi itu sendiri," papar dia.

    Mantan Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) ini, melihat banyak sekali kampanye terjadi dengan nuansa kekerasan. "Malah, nuansa kekerasan ini sangat dominan, baik secara fisik maupun verbal," tandasnya.

    Karena itu, dia mendesak elite Parpol juga harus bertanggungjawab menularkan semangat kampanye Pemilu damai ini kepada pendukung maupun simpatisannya atau para peserta kampanye di lapangan. "Parpol juga harus menjaga agar peserta kampanye Pemilu tidak berbuat anarkis dalam kampanye nanti," ujarnya lagi. Semoga.


Top