,

    KETIKA tahapan kampanye kelar, tinggal rakyat yang menyisakan bimbang. Bagaimana tidak, mereka harus bisa menentukan pilihan di antara kepungan partai. Khusus bagi Aceh, persoalan pilihan ini makin sulit, pilih partai nasional atau mencontreng partai lokal?



    Ternyata ragu itu ikut menyatu dengan Rahmad. Dia bersandar dengan gundah di dalam bus yang membawa tubuhnya. Pagi itu, pria hitam manis ini berniat kembali ke Banda Aceh. Dia mengaku pulang dari Medan, Sumatera Utara mengunjungi keluarganya.

    Katanya, dia amat menikmati perjalanannya kali ini. Tak jelas kenapa. Rahmad hanya mengaku gembira saja menengok 'pameran' foto sepanjang jalan. Poster-poster itu menghiasi beragam tempat, mulai dari tiang listrik, batang pohon sampai koridor jalan. "Saya belum tahu harus pilih siapa," gumamnya.

    Sebelum kampanye berakhir poster dan baliho dalam beragam ukuran memang bertebaran. Para pemilik poster adalah calon-calon anggota legislatif. Ini bagian dari promosi diri sebelum dicontreng rakyat menjadi wakilnya di tingkat kabupaten, kota maupun provinsi. Kini, semua poster itu hilang, tatkala masa tenang mampir.

    Khusus untuk Aceh, semaraknya Pemilu 2009 lebih terasa. Pasalnya, kecuali diikuti oleh 43 Partai, yang terdiri dari 37 Partai Nasional (minus Partai Persatuan Indonesia Baru), juga ada enam Partai Lokal. Parlok yang dimaksud adalah--sesuai nomor urut--, Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh (PA) dan Partai Bersatu Aceh (PBA).

    Keterlibatan partai lokal di Aceh dalam pemilu kali ini adalah amanat dari perdamaian yang telah lahir di Aceh, 15 Agustus 2005 silam. Undang Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, juga mengatur tentang keberadaan partai lokal tersebut.

    Politisi kawakan yang mendirikan Partai Bersatu Aceh, Ahmad Farhan Hamid mengatakan, kehadiran Parlok tak perlu ditakuti. "Partai politik lokal di Aceh adalah sejarah baru sistem politik Indonesia setelah lebih dari 50 tahun lalu," ujarnya.

    Katanya, dalam kerjanya, kedua motor demokrasi itu bisa berbagi peran. Menurut anggota DPR-RI dari Partai Amanat Nasional itu, partai politik nasional bisa menjaga kepentingan Aceh, khususnya di tingkat nasional, sementara partai politik lokal selain menjaga dan melestarikan nilai, karakter dan ciri lokal dalam kebijakan pemerintahan, juga menjaga kepentingan nasional di Aceh.

    Apa yang diungkapkan ahli farmasi itu, tentu beda yang dimengerti Rahmad. Bagi pria kelahiran Lamlo, Kec Sakti, Kab Pidie itui, banyak partai makin membuat dia bimbang alias ragu. "Bukan ragu untuk mencontreng. Saya bingung menentukan pilihan, siapa yang harus kita pilih. Sebagai orang Aceh, tentu kita harus pilih parlok," tutur dia.

    Kebingungan Rahmad, bukan semata-mata karena ada parnas atau parlok. Yang membingungkan dia, tak lain banyak kerabat dekat, sanak famili yang menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 ini. "Kawom saya semua ada yang menjadi caleg," sambungnya dalam bahasa Aceh.

    Kawom bisa diartikankan kaum kerabat. Secara singkat dapat dijelaskan, kekerabatan dalam masyarakat di Aceh yang masih punya hubungan persaudaraan dan juga ikatan emosional. "Mereka semua menjadi caleg, jadi pasti saya harus memilih salah satunya," sebut dia.

    Kebimbangan itu juga dirasakan Basyirun, seorang tukang parkir di ibukota Provinsi Aceh. "Soe teuma tapilih, -siapa memangnya yang harus kita pilih," tanya dia kepada saya karena ragu. Sebab, pada satu sisi dia ingin partai lokal yang menang di Aceh.

    Keinginan agar partai lokal menang, bukan cuma harapan Basyirun saja. Hasil jajak pendapat Kompas beberapa waktu silam menyebutkan, dari survei terhadap 400 responden di 15 kabupaten kota di Aceh, sebanyak 44,82 persen menyatakan akan memilih partai lokal pada pemilihan caleg di tingkat daerah.

    Sebaliknya, 22,54 persen lebih memilih partai nasional. Sedangkan pemilih ragu yang dengan kata lain bimbang ada 32,64 persen. "Saya sampai sekarang masih ragu, tapi belum tahu jika sudah berada dibilik suara, siapa yang teringat itu yang akan saya contreng," timpal Basyirun lagi.

    "Kali ini kita harus beri kesempatan untuk caleg lain, syukur-syukur jika mampu menghadirkan perubahan," sambung Mahyuddin, seorang pengusaha binatu di Banda Aceh. Kata dia, sama seperti pada pemilu sebelumnya, kita pilih caleg parnas juga nasib rakyat tak berubah. "Kali ini kita coba saja orang kampung," ucap seraya terkekeh.

    Diakuinya, meski belum ada jaminan para caleg 'produk' parlok bisa memberi garansi kesejahteraan kepada rakyat, namun masyarakat kadung berhasrat mencontreng orang lokal. "Paling tidak kita kasih kesempatan dulu kepada parlok untuk berbuat," sebut Husaini, seorang petani di Aceh Besar.

    Memang harus diakui, seperti disebutkan, koran bertiras besar di Indonesia tadi, pertarungan kekuatan politik di Aceh lebih berwarna dibandingkan daerah lain di Indonesia. Kemudian, boleh jadi antusiasme pemilih di Aceh akan terdongkrak oleh hadirnya partai lokal.

    Antusiasme ini barangkali bisa dilihat dari bertambahnya jumlah pemilih di Aceh. Jika sebelumnya 3.003.222 pemilih tetap, belakangan KPU Pusat membuat revisi data ini lewat surat keputusan KPU Nomor 164/Kpts/KPU/2009 tentang Penetapan Badan Pelaksana dan Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilihan Umum tahun 2009 bagi anggota DPRD Provinsi.

    Akibat keputusan tersebut, jumlah pemilih di Aceh bertambah sebanyak 6.743 orang, sehingga secara keseluruhan menjadi 3.009.965 orang. Tiga juta lebih pemilih itu akan mencontreng caleg dari parnas dan parlok di Aceh yang berjumlah 8.786 orang.

    Mereka memperebutkan 645 kursi legislatif yang tersebar di 23 kabupaten kota, termasuk untuk tingkat provinsi atau DPRA, dengan jumlah tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 10.271 tempat. Lantas, bagaimana hasilnya? Tunggu saja besok, Aceh memilih siapa, parlok atau parnas?


Top