ADA kabar bagus yang berhembus dari Komite Pariwisata Kadin Aceh (baca: Serambi Indonesia, Senin (4/5). Semoga saja kabar itu, bukan semacam ’bayang’ yang berkelebat. Tapi hendaknya benar-benar menjadi ’rahmat’ bagi kemajuan pariwisata kita.



    Jujur saja, membaca berita itu, saya seperti terbangun dari mimpi yang berbuah kabar manis, meski belum tentu semanis manggis. Tapi paling tidak, itu menjadi wahana untuk mengharumkan bunga wisata Aceh, agar dijamah ‘kumbang’ pengusaha.

    Memang, bukan cerita baru, jika kita mendengar wisata Aceh tak terawat. Tapi, di sini saya tak berkompeten memvonis siapa salah dan siapa paling benar atas kondisi itu. Kalau kita mau jujur, tentu saja semua kita salah. Meski kadar kesalahan itu berbeda-beda, menurut posisi kita di mana.

    Ambil saja contoh, kesan negatif dunia wisata di Aceh. Kesan miring itu, terasa sudah mengakar sejak puluhan tahun. Mengikis hal seperti itulah sebenarnya, yang menjadi tugas kita bersama. Bagaimana saling bahu membahu membantu menurut kadar kemampuan masing-masing.

    Kalau kita sanggupnya cuma merajut anyaman bambu sebagai kerajinan tangan, yang bakal dijadikan kenang-kenang para turis, tentu tidak usah berharap merakit kapal pesiar untuk wisatawan. Kalau kita lebih mampu berbicara dari mulut ke mulut, kenapa meski harus pakai corong.

    Lalu, jika kita memang cuma mampu menyewakan labi-labi (mobil penumpang sejenis sudako), tentu jangan berangan dulu punya taxi merek mercy. Biarlah yang seperti itu menjadi bagian orang lain yang depositonya tebal. Begitu pula dengan pemerintah. Jika visi membangun wisata tak berubah, mari sama-sama kita cemeti, biar mereka tidak sekadar menunggu komisi.

    Apalagi jika sampai kita menangkap kesan, eksekutif juga sarat dengan ’kebingungan’ dalam mengelola lumbung uang ini. Mereka sibuk sendiri, seperti ureung mumang, tidak tahu harus memulai dari mana mengelola potensi wisata yang merata di segala pelosok nanggroe.

    Potensi wisata itu sebenarnya sangat lengkap, bahkan dari yang tak ada di negeri lain, tapi ada di negeri Aceh. Saya pikir tak perlu banyak bukti. Namun kita bisa melihat sendiri, seperti wisata pantai yang alami, bahari, spiritual, wisata gerilya, tsunami, sampai ada yang dinamai wisata Islami. Meski yang Islami itu sendiri juga kadung tak jelas.

    Dari sederetan objek wisata itu, tentu ada yang amat potensial. Ambi saja contoh, wisata tsunami dan wisata gerilya. Kedua jenis wisata ini nyaris tak dipunyai daerah lain. Tapi anda saksikan sendiri, bagaimana nasibnya? Tak ada seorang pengusaha Aceh pun yang berani melirik sektor ini. Kalau ada itu pun bisa dihitung dengan jari.

    Kenapa bisa seperti itu? Saya yakin, kunci jawabannya, sudah sama-sama kita pahami. Selain butuh modal besar, juga untungnya lama kembali, untuk tidak mengatakan telat balik modal atau lama dapat untung. Mungkin, istilah ekonominya Break Even Point yang tak semudah membalik kain di jemuran.

    Jika mereka inves di sektor ini, sudah pasti, modalnya tak bisa ditarik lagi semudah kita menekan remote tivi. Praktis, risiko-risiko itu tentu sudah lebih duluan dikalkulasi. Pada sisi lain, promosi dan sosialisasi juga menjadi momok tersendiri yang membuat potensi wisata Aceh seperti mati.

    Mungkin atas dasar itulah, sehingga ada pengusaha kita lebih senang membuka ‘keude klep’ ban sigom kota, ketimbang mengelola banyak objek wisata. Faktornya, ya itu tadi: ingin instan, minus risiko, bagaimana uang seribu, bisa dengan sekejab menjadi sepuluh ribu.

    Padahal, kita tahu dua komponen —pemerintah dan pengusaha— ini memegang kendali untuk maju atau tersungkurnya nasib wisata kita. Kalau toh, kita mengeksplor habis potensi wisata Aceh itu, setidaknya tidak hanya sebatas mengkilat di kertas saja. Tapi coba implementasikan segera. Ini kesempatan, sebelum terlambat. Jika kita mau, tentu tak ada kata telat.
    Saudagar Proyek
    Jika pemerintah tidak cukup ’bernyali’ dalam mengelolanya, kenapa tidak pengusahanya yang ikut nimbrung? Rangkul saudagar. Sudah pasti, permudahlah regulasi. Ini menjadi kewajiban pemerintah. Dengan regulasi yang ’ringan’ tentu bisa memudahkan para pemilik modal untuk investasi di sektor ini.

    Kelihatannya, itu pun tidak kuasa menggoda para pengusaha Aceh —yang dulunya lebih dikenal dengan sebutan “syedaga” atau saudagar—untuk ambil bagian. Ini bisa kita lihat, menjelang lima tahun, usai bencana tsunami. Banyak objek wisata yang belum berdenyut. Perkara yang melilitnya juga amat kompleks, bukan saja budaya masyarakat kita, tapi juga pada cara pikir pelaku wisata itu sendiri.

    Memang sih, ’berniaga’ di sektor wisata tak menggoda dibandingkan dengan jasa kontruksi. Sehingga, banyak saudagar Aceh lebih memilih yang cespleg, gampang dan cepat mendapat laba bin untung.

    Fenomena itu, begitu marak sepuluh tahun belakangan. Makanya tak mengherankan jika saudagar yang kini akrab dipanggil dengan sebutan kontraktor, muncul dibanyak kantor. Menunggu turun tender banyak proyek pemerintah. Jauh berbeda dengan gaya ’kontraktor’ masa lalu yang turun ke kampung-kampung mengutip hasil bumi dengan praktik muge.

    Katanya, dulu tradisi muge sudah berkembang amat pesat. Tak sebatas hasil bumi saja. Tetapi sudah merembes ke industri dan perkebunan. Dalam kondisi terkini, prinsip muge itu tak lagi menarik untuk dilakoni, terutama dengan pola masuk lorong ke luar lorong.

    Barlian AW seorang budayawan kita, dalam media ini pada 21 Juni 2007 sudah mengulas secara lugas tentang saudagar dalam tulisannya berjudul “Spirit Muge Dalam Peradaban Aceh”. Artikel itu diturunkannya dalam rangka Menyongsong Kongres Saudagar Aceh Serantau, ketika itu.

    Menyentil lagi tulisan tersebut, praktis Aceh saat ini amat membutuhkan mereka (baca: syedaga). Terutama para saudagar yang bisa memanfaatkan potensi alam Aceh, baik itu hasil bumi maupun yang lainnya seperti mengolah alam Aceh menjadi objek wisata menarik yang bisa memasok devisa dan membuka peluang kerja.

    Yang kita dapati sekarang memang, banyak para ’muge’ berwara-wiri di berbagai intansi. Mereka menanti kucuran proyek-proyek konstruksi, setelah mendapatkan yang dingini, lalu disodor (disubkan) kepihak lain dengan imbas berharap komisi saja. Lebih sedih lagi, ’profesi’ ini terkadang hanya bermodalkan sebuah nama perusahaan.

    Maaf, mungkin anda merasa agak kasar membacanya—yang terlihat justru memberi kesan seperti para tengkulak yang melakukan praktik ’muge’ dengan cara baru. Cukup punya saham pada sebuah perusahaan, lalu mengikuti tender, lantas, pihak ketiga yang melakoni kerja itu. Si ’muge’ tadi tentu cukup menanti fee.

    Proses pola mensub-kan kerja ke pihak lain bukan cerita baru. Kabarnya, praktik semacam ini acapkali didapati selama proses rekonstruksi. Akibatnya bisa kita lihat sendiri, kualitas bangunan yang dibangun alakadar. Karena anggaran yang sejatinya besar, kemudian mengucur lebih kecil gara-gara melewati banyak tangan.

    Sejatinya pengusaha, kontraktor, saudagar itu bisa mandiri. Dia harus mempunyai jiwa entrepreneurship (kewirausahaan) yang memiliki arti luas. Sayangnya, seseorang yang punya kecakapan tinggi dalam melakukan perubahan, memiliki karakteristik yang hanya ditemukan sangat sedikit dalam sebuah populasi.

    Dengan potensi alam seperti yang sudah kita sitir di atas tadi, hendaknya para saudagar di Aceh, lebih membumi. Bukan hanya main ’muge’ dengan proyek-proyek konstruksi, yang terkadang tak banyak memberi manfaat ke masyarakat.

    Memang masing-masing punya hak asasi memilih profesi. Tetapi, ketika gara-gara proyek yang dikerjakan asal jadi, rakyat pula yang menerima imbasnya. Apalagi proyek-proyek itu juga didanai uang isi kantong rakyat, bukan milik pejabat.

    Ketika ini tercederai, saya, anda dan semuanya, punya hak untuk tidak diam saja. Setuju?


Top