,

    Dalam setahun ada tiga kali uroe meugang dalam masyarakat Aceh. Tradisi ini menghapus rentang sosial antara si kaya dan si miskin. Semuanya berkumpul dalam bejana kekeluargaan.

    * * *

    PAGI itu matahari belum terik. Embun pun masih menggantung di ujung daun. Tapi Bahar, sejak fajar merekah sudah keluar rumah. Pada pagi Kamis 19 Agustus 2009 itu, warga Desa Gla Meunasah Baro, Aceh Besar ini bergegas menuju pasar daging. Membeli daging meugang, tujuan di kepalanya.


    Bahar berada pojok Peunayong, Banda Aceh yang seketika ramai. Hari-hari biasanya tidak segaduh dua hari sebelum tibanya bulan Ramadhan, 21 Agustus lalu. Keramaian itu dipicu oleh kehadiran penjual daging kagetan. Begitu pula tahun-tahun sebelumnya.

    Peunayong, bukan satu-satu lokasi penjualan daging meugang. Hampir setiap sudut pasar di Banda Aceh serta seluruh Aceh berdiri pasar kaget semacam ini. Kalau meugang, para pedagang bukan hanya berjualan di pasar daging saja.

    Di tempat-tempat umum atau bahkan pinggir jalan akan dipadati dengan penjual daging meugang musiman. Umumnya mereka hanya berjualan khusus pada hari meugang saja.

    Untuk tahun ini masih ada dua kali lagi meugang, yakni sehari sebelum Idul Fitri 1430 Hijriah yang diperkirakan jatuh pada 19 September dan 26 November mendatang, menyambut Hari Raya Idul Adha.

    "Banyaknya penjual daging seperti ini khusus pada hari meugang saja," ujarnya. Hari makmeugang atau uroe meugang adalah hari penyembelihan hewan yang sudah mengakar dalam tradisi klasik masyarakat Aceh. Ini berlaku turun temurun.

    Secara harfiah meugang bisa diartikan membeli daging menjelang puasa dan menyambut hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Dalam satu tahun tiga kali ritual meugang dilakukan masyarakat Tanah Rencong. Masyarakat berbondong-bondong turun ke pasar untuk membeli daging sapi atau kerbau.

    Tak sanggup beli daging, biasa menggantikannya dengan memotong ayam atau bebek. Yang jelas ritual meugang harus dirayakan. Singkat kata, tradisi makan daging yang sudah diwariskan turun temurun tetap terlaksana.

    Tapi, dalam empat tahun terakhir, meugang di Aceh terasa memberatkan isi kantong, terutama mereka yang isi dompetnya tipis. Pasalnya, harga daging di daerah itu tergolong paling mahal sejagat. "Harganya antara Rp80 ribu sampai Rp100 ribu, bahkan ada Rp120 ribu," sambung Bahar lagi.

    Cut Dek (50), pedagang di pasar hewan Ulee Kareng, mengaku mahalnya harga daging bukan keinginan mereka. "Harga beli kerbau mahal, jadi harga daging dengan sendirinya mahal juga. Kalau tidak untungnya sedikit," celoteh pria setengah abad itu.

    Begitu pun, tingginya harga daging tidak menyurutkan semangat masyarakat Aceh menjalankan tradisi meugang menjelang ramadhan. Salah satunya Bahar. Dia ayah empat putra-putri. Kerjanya serabutan. Terkadang dia menarik becak. Pada kesempatan lain menjual durian.

    Di tengah situasi ekonomi nan sulit, ditambah harga daging yang selangit, terkadang dianggap sebagai beban bagi kaum pria yang berstatus kepala keluarga. Sebab, pulang ke rumah tanpa menenteng sumber protein itu terasa ada yang kurang.

    Apalagi jika sampai anak istri cuma bisa menghirup aroma rendang yang berhembus dari balik pagar tetangga. "Biar pun sedikit tak masalah, yang penting gurihnya terasa," tukas Bahar tersenyum getir. "Walau pun tak cukup duit tetap saya beli, ngutang pun tak masalah."

    Terlepas dari kondisi pelik ini, para pria Aceh lain menimpali. "Rasanya tak afdhal pulang ke rumah pada hari meugang dengan tangan hampa. Biar tak banyak, sedikit pun tak masalah, yang penting daging itu harus terbeli," tambah Syamsuddin, warga Keutapang Banda Aceh.

    Dia menambahkan, meski meugang bukan sebuah keharusan dari satu tradisi yang sudah ada turun temurun, namun membeli daging pada hari tersebut juga punya 'seni' tersendiri.

    "Auranya sangat berbeda ketika membeli daging pada hari-hari lainnya. Sulit saya ungkap dengan kata-kata, karena ini bicara batin," tukasnya.

    Sayang, Syamsuddin seperti tak kuasa menjelaskan, 'seni' yang dia maksud. Pun begitu, dia juga melihat meugang itu melambangkan sebuah sikap tanggung jawab kaum Adam yang sudah berkeluarga guna memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

    Karena itu, meski Bahar dan Syamsuddin dengan pendapatan pas-pasan, akan tetap berusaha membeli daging. "Tentu dengan cara halal. Kita cari rezeki jauh-jauh hari sebelum meugang, kita kumpulkan dulu duitnya," ungkap dia.

    Bagaimana dengan nasib fakir miskin?

    Sejarawan Aceh, Ridwan Azwad menyebutkan, filsafah meugang bukan hanya sekadar beli daging saja. "Sebenarnya, meugang itu lebih besar nuansa kekeluargaannya," sebut Sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) itu.

    Rasa kekeluargaan yang dimaksud bisa dilihat sikap para warga. "Pada hari itu (meugang-red) biasa orang-orang kaya akan mengundang anak yatim dan fakir miskin untuk makan bersama. Kenduri seperti ini sekarang mulai berkurang," sesalnya.

    Kata Azwad, kenduri itu bukan hanya sebatas makan-makan saja. Dalam masyarakat kampung, dulunya juga hidup kearifan lokal yang bernama Meublem. Ini semacam 'kenduri' daging bagi warga miskin. Untuk menangani fakir miskin tak mampu membeli daging meugang, kepala desanya yang turun tangan.

    Menurut dia, dalam kehidupan sosial itu, masyarakat Aceh punya sebuah solusi untuk mengatasi mahalnya harga daging pada uroe meugang. Namanya sie meuripe (daging yang dibeli secara angsuran). "Untuk membayar angsuran tak mesti dengan uang, bisa juga dengan padi pada saat panen," jelasnya.

    Drs Aslam Nur, MA, dosen IAIN Ar-Raniry dalam bukunya "Ramadhan Dalam Persepsi Masyarakat Aceh" menulis tradisi sie meuripe merupakan refleksi sosial masyarakat Aceh di mana interaksi dan solidaritas antar anggota masyarakat masih kuat terjalin dengan baik.

    Kata pakar antropologi budaya lulusan Australian National University, Carberra, Australia ini, eksistensi uroe meugang yang begitu kental dalam kultur masyarakat Aceh memberikan kesempatan kepada penduduk golongan ekonomi lemah untuk dapat merasakan nikmatnya daging setidaknya sekala dalam setahun.

    Lazimnya, sebut Aslam, orang miskin hanya berkesempatan menikmati makan daging pada saat menghadiri kenduri, baik pada kenduri perkawinan atau pun kenduri orang mati. "Karena kentalnya tradisi ini, dalam sistem budaya Aceh, maka jauh-jauh hari setiap kepala keluarga sudah menyiapkan uang ekstra untuk meugang itu," sebut dia.

    * * *

    KETUA Majelis Adat Aceh, Badruzzaman Ismail menjelaskan meugang atau makmeugang sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh menyembut bulan suci Ramadhan. Katanya, selain jelang puasa, meugang juga dilakukan sebelum hari hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

    "Selain sebagai sebuah tradisi, meugang juga sebagai wujud syukur masyarakat Aceh terhadap Ilahi," ungkap dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh itu.

    Tradisi ini telah muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Aceh, yaitu sekitar abad ke-14 M. Sesuai anjuran agama Islam, datangnya bulan Ramadhan sebaiknya disambut secara meriah, begitu juga dengan dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

    Katanya, jika pada hari-hari biasa masyarakat Aceh terbiasa menikmati makanan dari sungai maupun laut, maka menyambut hari istimewa itu (hari meugang), masyarakat Aceh merasa daging sapi atau lembulah yang terbaik untuk dihidangkan.

    Zaman dahulu, sebut tokoh adat ini, pada hari Meugang, para pembesar kerajaan dan orang-orang kaya membagikan daging sapi kepada fakir miskin. "Hal ini merupakan salah satu cara memberikan sedekah dan membagi kenikmatan kepada masyarakat dari kalangan yang tidak mampu," kata Badruzzaman.

    Sejumlah literatur menyebutkan, dalam masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, hari meugang dirayakan di Keraton Darud Dunia dengan dihadiri oleh sultan, para menteri dan pembesar kerajaan, serta alim ulama. Hari meugang ini biasanya jatuh pada tanggal 29 atau 30 Sya‘ban (dua hari atau sehari menjelang bulan Ramadhan).

    Menjelang upacara tersebut, Syahbandar Seri Rama Setia biasanya akan memberikan hadiah berupa pakaian yang akan dipakai sultan dalam upacara itu. Selain itu, Syahbandar Seri Rama Setia juga akan menyediakan karangan-karangan bunga yang ditempatkan di makam para sultan. Gambaran mengenai kemeriahan tradisi tersebut juga dipaparkan oleh Lombard (2007: 204—205).

    Sementara almarhum Ali Hasjmy, mantan Gubernur Aceh dalam sejumlah karyanya juga menjelaskan bahwa pada hari itu, sultan juga memerintahkan kepada Imam Balai Baitul Fakir/Miskin (yaitu lembaga yang bertugas menyantuni kaum dhuafa dan yatim piatu) untuk membagikan daging, pakaian, dan beras kepada fakir miskin, orang lumpuh, dan para janda.

    Katanya, biaya untuk penyantunan fakir miskin pada hari meugang ini ditanggung oleh Bendahara Balai Silatur Rahim, yaitu lembaga yang berfungsi mengatur hubungan persaudaraan antar-warga negara dan antar-manusia yang berdiam dalam Kerajaan Aceh Darussalam.

    Hingga kekuasan pemerintah kolonial Hindia Belanda, tradisi Meugang ini tetap dilaksanakan di Aceh. Bahkan Pemerintah Belanda mengambil kebijakan libur kerja pada hari meugang serta membagi-bagikan daging pada masyarakat (Hasjmy, 1983: 151).

    Perayaan Meugang tidak hanya memiliki makna lahiriah sebagai perayaan menikmati daging sapi, melainkan juga memiliki beberapa dimensi nilai yang berpulang pada ajaran Islam dan adat istiadat masyarakat Aceh. Mereka yang melaksanakan tradisi Meugang di Aceh memang mengenal sebuah pepatah yang sudah cukup lama hidup dalam kesadaran mereka, yaitu Si thon ta mita, si uroe ta pajoh (setahun kita mencari rezeki, sehari kita makan).

    Pepatah ini cukup tepat untuk menggambarkan betapa hari meugang bagi masyarakat Aceh merupakan hari yang sangat penting, di mana kebahagiaan dapat diwujudkan dengan cara menikmati daging secara bersama-sama.

    Soal rasa kekeluargaan ini diakui juga Jauhari, ibu rumah tangga warga Kampong Laksana. "Tradisi meugang adalah kegiatan kekeluargaan. Makanya sangat kental sekali dengan kekeluargaan, dari jaman dulu turun-temurun," ungkapnya.

    Pada hari itu, cerita wanita berkulit putih ini, semua keluarga dekat berkumpul di rumah orangtua sambil menikmati masakan daging yang disediakan. Begitu pula dengan anak cucu tetap menyisihkan waktu untuk pulang ke rumah orangtua atau mertua di hari meugang seperti ini.

    Biasanya, orangtua atau mertua sudah menyiapkan beberapa kilogram daging menunggu pulangnya anak, cucu dan saudara dekat lainnya. Kebiasaan ini juga dimanfaatkan sebagai sarana silaturrahmi dan pertemuan saling memaafkan menjelang pelaksanaan ibadah puasa.

    Mengenai asal muasal meugang, Amir Hamzah, budayawan Aceh mengatakan tradisi ini dulunya dikenal dengan nama makmeugang. Gang dalam bahasa Aceh berarti pasar, di mana di dalamnya terdapat para penjual daging yang digantung di bawah bambu.

    Pada hari-hari biasa, tak banyak masyarakat umum yang mendatangi pasar itu. Namun, pada hari-hari tertentu, yaitu menjelang bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, masyarakat akan ramai mendatangi pasar, sehingga ada istilah makmu that gang nyan (makmur sekali pasar itu).

    Lalu, entah bagaimana lidah terkilir sehingga istilah itu menjadi makmeugang atau meugang.


Top