, ,


    MUKLIS Nakata memang gagal mencatatkan namanya dipapan skor pada laga terakhir saat timnya melipat PS Bengkulu 3-0 di Stadion H Dimurthala, Banda Aceh, Senin lalu. "Kemenangan tim lebih berharga ketimbang saya harus mencetak gol," ujarnya dalam bincang-bincang dengan Waspada, kemarin.

    Tugas mencetak gol memang bukan kewajibannya. Namun, Nakata punya kenangan manis dengan klub asal Bengkulu ini. Pasalnya, pada laga pembuka Divisi Utama Liga Indonesia di Sawah Besar, Bengkulu 19 November 2010 lalu, dia menjadi pencetak gol dalam kemenangan timnya 2-1. Satu gol lagi dilesakkan Abdul Musawir.


    "Memang, saya sempat berharap bisa cetak gol lagi lawan Bengkulu, untuk menutup putaran kedua dengan gol kedua. Itu satu-satunya gol saya musim ini. Sepertinya itu menjadi gol pertama sekaligus terakhir. Tapi, belum tahu bagaimana peluang di 8 besar," ungkap lajang kelahiran, Lambaro, Aceh Besar 12 Mai 1988 ini.

    Tak mencetak gol dilaga pamungkus, bukan lantas membuatnya kecewa. Sebab, selama ini, kontribusinya bagi tim juga tak kalah besar. "Dia memang tak banyak mencetak gol, tapi assit dia yang menjadi gol juga banyak. Peran dia juga tak kalah penting," timpal Dicky Anggriawan, kiper Persiraja.

    Kini, anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Usman (60) dan Saudah (53) sedang merengkuh bahagia. Sebagai pemain profesional, dia dkk, mampu membawa timnya mengakhiri kompetisi musim ini dengan status juara grup. Apalagi ini tahun keduanya di level Persiraja senior.

    Lahir dengan nama Mukhlis, pria ini malah lebih tenar dengan nama Nakata. Asal usul panggilan itu, Mukhlis sendiri tak ingat sejak kapan muncul. Tapi, setidaknya sejak tim nasional Jepang berlaga di Piala Dunia 2002 yang dikapteni Hidetoshi Nakata, sejak itulah orang dikampungnya pun 'mengganti' panggilan Mukhlis dengan Nakata.

    Rasanya tak berlebihan, jika pengidola Lionel Messi ini, disapa begitu. Karena ciri-cirinya Mukhlis yang paling kontras adalah pada matanya yang sipit. "Akhirnya, semua orang memanggil saya dengan nama Nakata," urai mantan siswa SMP 3 Ingin Jaya, Aceh Besar itu.

    Bekas ball boy

    Semua pemain bola itu tak memulai karier dengan gampang. Begitu pula dengan Mukhlis. Sejak masih dibangku kelas lima sekolah dasar, dia sudah bergabung dengan Sekolah Sepak Bola (SSB) Aneuk Rincong. Hingga usia 18 tahun, dia masih memperkuat klubnya dalam berbagai even termasuk mengikuti Piala Bogasari.

    Pada umur 18 tahun, pria bermata sipit ini juga menjadi bagian dari Persiraja junior dan PSAB Aceh Besar junior.
    Sebelumnya, dia juga menjadi pemain PPLP bahkan sempat tampil di Thailand dan menjadi juara empat di sana.
    Pada 2006 dia memperkuat daerahnya di Porda X di Takengon.

    Mukhlis juga membela Aceh pada Pra PON di Jakarta dan menjadi pilar tim Aceh pada PON 2008 di Kalimantan Timur. Sebelum bergabung dengan Persiraja, dia memperkuat PSAB Aceh Besar di Divisi I pada musim 2009-2010.

    Dia dan temannya Agus Mulyadi masuk pada putaran kedua, saat Persiraja dilatih arsitek bertangan dingin Anwar. "Coach Anwar berjasa dalam perkembangan karier saya di tim ini," ujar pria yang juga mengangumi, Dahlan Djalil, mentor dan seniornya di Persiraja.

    Katanya, peran Anwar yang kini membesut PSAP Sigli tidak kecil. "Awalnya, posisi saya gelandang. Karena postur saya yang tidak besar, Bang Anwar menyarankan saya main sebagai wing back kanan, Alhamdulillah, sampai sekarang saya main di posisi ini," ungkap jebolan tim PON Aceh 2008 ini.

    Masuknya Nakata dan Agus ketika itu, makin menambah jumlah pemain jebolan PON yang memperkuat barisan Persiraja. Sebelumnya, sudah ada Fahrizal, Fahrizal Dillah, Nanda Lubis dan Defri Rizki. Nama terakhir pindah ke Persikabo dan sekarang bermain di Persih Tembilahan.

    "Dia pemain yang potensial dan masih bisa berkembang. Usianya, masih muda baru 23 tahun, prospeknya cerah. Sekarang tergantung Nakata sendiri, mau eksis di sepakbola atau tidak," ujar Dahlan Djalil ketika diminta komentarnya.

    Bermain di Persiraja memang menjadi cita-citanya sejak kecil. Masa di mana dia harus membongkar tabungan untuk membeli sepatu bola. Dan terpaksa membolos dari sekolah agar bisa latihan pada sore harinya. Ada satu kenangan yang tak bisa dilupakan saat masih belajar di SMK 2 Banda Aceh.

    "Tas sekolah tidak saya isi dengan banyak buku, tapi sepatu bola. Saat jam praktek di bengkel sekolah, saya bolos dan berangkat ke lapangan untuk latihan," ujar mahasiwa Fakultas Ekonomi Universitas Serambi Mekkah ini yang masih tercatat sebagai tenaga kontrak di bank daerah.


Top