Karina, Banyak Jalan Menuju Cita-Cita
JIKA Allah ingin menunjukkan rahmat-Nya buat seorang hamba, akan banyak corak dan langgamnya. Bisa lewat sepotong kaos bola atau selembar lukisan saja. Reka Karina, bocah korban tsunami yang sejak kecil "bermimpi" jadi dokter meresapi rahmat itu. Siapa nyana, bila gambar coretannya setahun silam membawa berkah kemudian.
Selasa sore diawal Agustus di Lambaro Skep, Karina kembali membolak-balik dokumen simpanannya. Sebuah bundel biru tua berisi beberapa lembar penghargaan, plus buku "antologi" lukisan. Salah satu isi buku, sebuah coretan berwarna biru berupa dua lintasan gelombang. Karina menatap lagi coretan pembawa berkah ini.
"Saya mau lukis tiga buah gelombang, tapi ngak muat kertasnya," ujar Karina seraya terkekeh. Katanya, dia cuma melukis saja pada saat ikut lomba melukis disuatu hari pada April 2005. Makanya dia bilang, "Saya cuma ingat tsunami, saya lukis aja gelombang tsunami." Inilah lukisan tsunami versi Karina.
Lukisan "dua gelombang" itulah yang kemudian menghayutkan Dr Elio Matacana, Ketua Yayasan Ponte diArcimede (PdA) di Messina, Italia. Seakan ikut merasa ekses dari terpaan gelombang dalam lukisan Karina, Matacana lantas mengucurkan kocek yayasannya. Karina pun dapat beasiswa.
Cerita beasiswa itu tidak muncul serta merta. Ini bermula ketika Matacana kepicut goresan Karina yang dipamerkan bersama 44 buah lukisan anak-anak Aceh korban tsunami di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Roma. Waktunya 14 Februari lalu. Saat itu, KBRI menggelar acara bertajuk "Memperingati Setahun Tsunami".
Pameran ini cukup menyedot perhatian pengunjung. Salah satunya Elio Matacana ketua PdA. Dari 44 lukisan yang ada, Matacana jatuh hati pada "dua gelombang" polesan Karina. Lantas dia memutuskan memberikan apresiasi yang tinggi kepada lukisan "dua gelombang".
Lalu, Karina pun disodor beasiswa sebesar Euro 10.000. Dana ini jika rupiahkan dengan kurs sekira Rp12.000, maka ada Rp120 juta isi tabungannya. Pria Roma itu berharap dengan pemberian beasiswa itu, Karina dapat menyelesaikan pendidikan yang tinggi serta mengembangkan bakatnya dalam seni setinggi mungkin. Semua bagi masa depannya.
Akhirnya, Duta Besar Republik Indonesia di Roma Sutanto Sutoyo meminta BRR untuk membukakan deposito berjangka atas nama Karina dari beasiswa yang diberikan yayasan tersebut. "Tujuannya agar bunganya dapat digunakan untuk membiayai sekolahnya hingga perguruan tinggi yang dia cita-citakan," begitu pesan Dr Elio Matacana yang dikutip staf kedubes RI, Minister Counselor Artanto S. Wargadinata.
Karina punya cerita panjang. Cita-citanya tak bisa ditawar. "Apapun ceritanya dia tetap mau jadi dokter, bapak tawarin kuliah di fakultas hukum saja tak mau," kata Abdul Hamid Bujai, ayahnya. "Saya sempat berpikir tentang biaya yang mahal kalau jadi dokter, harga buku saja sudah berapa," timpal sang ibu Yulia Rosalina.
Akibatnya, Karina merasa down semangatnya dan selalu termenung. Namun dengan sikap keibuannya, Yulia membimbing gadis manis itu. "Saya selalu bilang agar dia bersabar. Allah sayang dengan orang-orang yang sabar. Mungkin suatu saat Allah akan menunjukkan jalannya."
Nasihat itu amat meresapi sanubari si alis tebal ini. Dia pun sabar, dan Karina pun menjalani hari-harinya sebagai anak yang mandiri serta inovatif dan suka membantu orang tuanya. "Diam Karin adalah tidur, kalau udah tidur baru nggak ada yang dia kerjakan lagi," sambung ayahnya.
Begitu juga dengan hobi melukis. Waktu senggang dia kerap melukis apa saja. Coretan mencoret di kertas sudah dimulai sejak sekolah dasar sampai sekarang. Antara cita-cita menjadi dokter dan hobi melukis memang paradoks. Tapi Karina tak peduli.
Begitu pun, dia sama sekali tak pernah melukis sosok seorang pasien yang sedang diobati. Atau seorang pasien yang sedang diinfus. Barangkali dia trauma, sehingga jarang kepikir ke sana. Sebab, menurut ibunya, ketika masih bayi, calon dokter itu kerap diserang diare. Tak
pernah reda.
Bayi yang bernama Chik Wita ini kerap keluar masuk rumah sakit. "Bentar-bentar ke rumah sakit," keluh ibunya. Kedua orang tuanya nyaris putus asa. Akhirnya, mereka sepakat untuk mengganti nama bayi mungil itu. Lantas dipilihlag nama Reka Karina.
Ajaib. Diare yang akrab dengan adik dari Stranye Apramilia hilang bak ditelan bumi. "Ada kepercayaan seperti itu dalam masyarakat kita. Alhamdullillah, setelah ganti nama dia tidak diare lagi," papar Hamid, bekas Kepala Desa Lambaro Skep ini.
Kini Karina beranjak remaja. September nanti umurnya 11 tahun. Saat ini dia tercatat sebagai siswi kelas 1.1 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Lampriek, Banda Aceh. "Dia salah satu siswi kelas inti di sini," kata Salma Ismail, S.Pd, wakil kepala bidang kurikulum sekolah itu.
Praktis orang tuanya sangat bangga dengan bekas siswi MIN Banda Aceh ini. Bukan itu saja, Hamid juga merasa surprise dengan beasiswa yang diperoleh Aina. "Dana itu akan dipakai semata-mata untuk pendidikan dia. Terima kasih banyak dari kami sekeluarga," imbuh Abdul Hamid.
Keduanya bertekad untuk mengelola dengan baik depositnya guna kepentingan sekolah Karina. Tentu saja untuk biaya-biaya sekolahnya hingga perguruan tinggi nanti. Otomatis dia memilih Fakultas Kedokteran. "Kan untuk mencapai cita-cita jadi dokter?," sambung Aina.
Begitulah rahmat yang diterima anak ketiga pasangan A Hamid Bujai dan Yuli Rosalina ini. Pepatah "Banyak Jalan Menuju Roma", kini benar-benar menyelingkupi hati Katina. Bagaiman tidak, dengan beasiswa dari Roma dia menggapai cita-citanya. Selamat. [Munawardi Ismail]
Dimuat pada : 11/08/06
Selasa sore diawal Agustus di Lambaro Skep, Karina kembali membolak-balik dokumen simpanannya. Sebuah bundel biru tua berisi beberapa lembar penghargaan, plus buku "antologi" lukisan. Salah satu isi buku, sebuah coretan berwarna biru berupa dua lintasan gelombang. Karina menatap lagi coretan pembawa berkah ini.
"Saya mau lukis tiga buah gelombang, tapi ngak muat kertasnya," ujar Karina seraya terkekeh. Katanya, dia cuma melukis saja pada saat ikut lomba melukis disuatu hari pada April 2005. Makanya dia bilang, "Saya cuma ingat tsunami, saya lukis aja gelombang tsunami." Inilah lukisan tsunami versi Karina.
Lukisan "dua gelombang" itulah yang kemudian menghayutkan Dr Elio Matacana, Ketua Yayasan Ponte diArcimede (PdA) di Messina, Italia. Seakan ikut merasa ekses dari terpaan gelombang dalam lukisan Karina, Matacana lantas mengucurkan kocek yayasannya. Karina pun dapat beasiswa.
Cerita beasiswa itu tidak muncul serta merta. Ini bermula ketika Matacana kepicut goresan Karina yang dipamerkan bersama 44 buah lukisan anak-anak Aceh korban tsunami di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Roma. Waktunya 14 Februari lalu. Saat itu, KBRI menggelar acara bertajuk "Memperingati Setahun Tsunami".
Pameran ini cukup menyedot perhatian pengunjung. Salah satunya Elio Matacana ketua PdA. Dari 44 lukisan yang ada, Matacana jatuh hati pada "dua gelombang" polesan Karina. Lantas dia memutuskan memberikan apresiasi yang tinggi kepada lukisan "dua gelombang".
Lalu, Karina pun disodor beasiswa sebesar Euro 10.000. Dana ini jika rupiahkan dengan kurs sekira Rp12.000, maka ada Rp120 juta isi tabungannya. Pria Roma itu berharap dengan pemberian beasiswa itu, Karina dapat menyelesaikan pendidikan yang tinggi serta mengembangkan bakatnya dalam seni setinggi mungkin. Semua bagi masa depannya.
Akhirnya, Duta Besar Republik Indonesia di Roma Sutanto Sutoyo meminta BRR untuk membukakan deposito berjangka atas nama Karina dari beasiswa yang diberikan yayasan tersebut. "Tujuannya agar bunganya dapat digunakan untuk membiayai sekolahnya hingga perguruan tinggi yang dia cita-citakan," begitu pesan Dr Elio Matacana yang dikutip staf kedubes RI, Minister Counselor Artanto S. Wargadinata.
"Dokter" Cilik Karina
Rasanya tak sia-sia Elio mengalirkan kocek yayasannya buat gadis yang punya banyak nama kecil ini. Pasalnya, Karin, Aina atau Nana ---begitu sapaan dalam keluarga--- sejak kecil sudah mematok cita-cita tinggi; dokter. Sebuah asa yang amat mulia. "Ina tetap ngotot ingin jadi dokter," kata Ny Yulia Rosalina, ibunda Karina.Karina punya cerita panjang. Cita-citanya tak bisa ditawar. "Apapun ceritanya dia tetap mau jadi dokter, bapak tawarin kuliah di fakultas hukum saja tak mau," kata Abdul Hamid Bujai, ayahnya. "Saya sempat berpikir tentang biaya yang mahal kalau jadi dokter, harga buku saja sudah berapa," timpal sang ibu Yulia Rosalina.
Akibatnya, Karina merasa down semangatnya dan selalu termenung. Namun dengan sikap keibuannya, Yulia membimbing gadis manis itu. "Saya selalu bilang agar dia bersabar. Allah sayang dengan orang-orang yang sabar. Mungkin suatu saat Allah akan menunjukkan jalannya."
Nasihat itu amat meresapi sanubari si alis tebal ini. Dia pun sabar, dan Karina pun menjalani hari-harinya sebagai anak yang mandiri serta inovatif dan suka membantu orang tuanya. "Diam Karin adalah tidur, kalau udah tidur baru nggak ada yang dia kerjakan lagi," sambung ayahnya.
Begitu juga dengan hobi melukis. Waktu senggang dia kerap melukis apa saja. Coretan mencoret di kertas sudah dimulai sejak sekolah dasar sampai sekarang. Antara cita-cita menjadi dokter dan hobi melukis memang paradoks. Tapi Karina tak peduli.
Begitu pun, dia sama sekali tak pernah melukis sosok seorang pasien yang sedang diobati. Atau seorang pasien yang sedang diinfus. Barangkali dia trauma, sehingga jarang kepikir ke sana. Sebab, menurut ibunya, ketika masih bayi, calon dokter itu kerap diserang diare. Tak
pernah reda.
Bayi yang bernama Chik Wita ini kerap keluar masuk rumah sakit. "Bentar-bentar ke rumah sakit," keluh ibunya. Kedua orang tuanya nyaris putus asa. Akhirnya, mereka sepakat untuk mengganti nama bayi mungil itu. Lantas dipilihlag nama Reka Karina.
Ajaib. Diare yang akrab dengan adik dari Stranye Apramilia hilang bak ditelan bumi. "Ada kepercayaan seperti itu dalam masyarakat kita. Alhamdullillah, setelah ganti nama dia tidak diare lagi," papar Hamid, bekas Kepala Desa Lambaro Skep ini.
Kini Karina beranjak remaja. September nanti umurnya 11 tahun. Saat ini dia tercatat sebagai siswi kelas 1.1 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Lampriek, Banda Aceh. "Dia salah satu siswi kelas inti di sini," kata Salma Ismail, S.Pd, wakil kepala bidang kurikulum sekolah itu.
Praktis orang tuanya sangat bangga dengan bekas siswi MIN Banda Aceh ini. Bukan itu saja, Hamid juga merasa surprise dengan beasiswa yang diperoleh Aina. "Dana itu akan dipakai semata-mata untuk pendidikan dia. Terima kasih banyak dari kami sekeluarga," imbuh Abdul Hamid.
Keduanya bertekad untuk mengelola dengan baik depositnya guna kepentingan sekolah Karina. Tentu saja untuk biaya-biaya sekolahnya hingga perguruan tinggi nanti. Otomatis dia memilih Fakultas Kedokteran. "Kan untuk mencapai cita-cita jadi dokter?," sambung Aina.
Begitulah rahmat yang diterima anak ketiga pasangan A Hamid Bujai dan Yuli Rosalina ini. Pepatah "Banyak Jalan Menuju Roma", kini benar-benar menyelingkupi hati Katina. Bagaiman tidak, dengan beasiswa dari Roma dia menggapai cita-citanya. Selamat. [Munawardi Ismail]
Dimuat pada : 11/08/06
Tweet
Top 5 Popular of The Week
-
RATUSAN pelajar di Banda Aceh mendapat kesempatan menyaksikan Film Rumah Tanpa Jendela. Mereka juga berdiskusi langsung dengan sutradara...
-
BANJIR kembali menjadi momok menakutkan di Aceh. Kali ini wilayah Pesisir Barat Selatan. Dampaknya seperti sudah kita maklumi bersama. Ta...
-
SPANDUK 'Welcome ISL" yang dipasang pendukung Persiraja Banda Aceh di tribun utara Stadion H Dimurthala raib. Sebelumnya, spand...
-
"HAI Apa Lambak, ho ka treb hana deueh-deueh, --hai, Apa Lambak kemana saja sudah lama tidak kelihatan," begitulah sapaan seorang ...
-
ITU kuburan Belanda," tunjuk Zulkifli, seorang penarik becak mesin kepada dua turis penumpangnya pagi itu. Jumat pagi kemarin, cuaca t...