Saat Televisi Masih Buta [4]

Catatan Harian Munawardi Ismail - Waspada
Artikel ini sudah pernah dimuat acehkita.com

Malamnya, kami berniat menginap di mobil Hotli (Global TV) yang parkir di jalan. Cuma makan roti atau sekadar membasahi kerongkongan, menjadi menu makan malam. Lalu ketika malam beranjak larut, Hotli keluarkan ide; membuat api unggun. Kayu bawaan arus tsunami berserak.

Malam itu masih hari Minggu, 26 Desember 2004. Orang di luar Banda Aceh, benar-benar belum tahu apa yang terjadi. Tak ada televisi yang menayangkan gambar situasi di Banda Aceh. Telepon putus. Listrik mati.

Begitu api menyala, banyak yang bergabung, sekadar menghangatkan badan. Sementara puluhan warga yang berteduh di dalam gedung PWI itu banyak yang memilih tidur di luar. Tak peduli digigit nyamuk. Yang penting saat gempa susulan mereka tak ada di dalam bangunan. Trauma.

Kami tidur praktis tak nyenyak. Bukan karena sempit di dalam mobil. Tapi memang was-was saat bergoyang. Trauma gempa masih terasa. Pukul 04.00 pagi, ketika aku berada di luar mobil, gempa terjadi.

“Hotli, bangun! Gempa lagi.” Dia pun bergegas keluar dari mobilnya.

Karena hari menjelang pagi, kami tak tidur lagi. Agenda pagi itu sudah jelas: antre minyak dan premium. Maklum selain air, bahan bakar juga sangat susah didapat. Ratusan orang rela antre untuk mendapatkannya. Apalagi kami yang berencana pergi ke Medan, Sumatera Utara.

Tujuannya untuk memberi infomasi ke kantor masing-masing, menulis berita dan mengirim gambar. Apalagi, saat itu belum banyak jurnalis yang masuk ke Banda Aceh. Yang ada di Banda Aceh sendiri tak tahu harus berbuat dengan informasi dan visual yang sudah di tangan. Informasi terputus.

“Kita harus kabari dulu bahwa di Banda Aceh butuh banyak obat-obatan dan bantuan,” kataku.

Hotli sepakat. Keputusan itu juga diamini Nani Afrida (The Jakarta Post). Nani sudah mendata nama-nama wartawan yang dikabarkan masih selamat, tapi belum terlihat orangnya. Begitu juga dengan yang menjadi korban, Nani sudah punya catatan. Dia adalah Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.

Rencana kami yang lain adalah mencari bantuan. Agenda itu sudah final. Siap untuk dijalankan, cuma tinggal menunggu waktu, jika bahan bakar sudah dapat.

Pukul 06.43 pagi, hari kedua (Senin, 27 Desember 2004), kami bergerak. Dengan berjalan kaki, kami menuju Peunayong mencari plastik atau apa saja yang bisa membantu menampung bensin atau solar.

Kami mengambil rute Jalan Sri Safiatuddin. Di depan Kodam Iskandar Muda ada beberapa jenasah yang belum diangkat. Di depan sebuah bank milik swasta nasional juga terdapat mayat yang ditaruh di atas sofa. “Santai” kelihatannya. Hotli lantas menjepret itu.

Di Rex, Peunayong yang biasanya ramai dengan tamu hotel yang sarapan pagi, kini banyak mayat tergeletak. Malah sebuah kapal besar milik nelayan Lampulo kandas di depan pintu masuk sebuah hotel di sana.

Pemandangan ini masih menggodaku untuk mengambil gambar. Dengan kondisi seadanya, kulihat kamera masih berkedap-kedip. Ada peluang pikirku. Setelah kuambil dua kali, ternyata bisa. Setelah itu dia pun padam. Tak “bernyawa” lagi.

Sudahlah pikirku. Aku cuma tak bisa mengambil gambar, orang lain malah banyak yang kehilangan keluarga, harta benda dan tragisnya lagi kehilangan nyawa. Kalaupun ada yang selamat, pasti trauma berat.

“Debat batin” itu ternyata bisa membuat rasa kecewaku hilang.

Sepanjang Jalan Ahmad Yani di Peunayong yang kami lewati, banyak tumpukan puing-puing tersangkut di deretan pertokoan. Masih dalam kawasan yang sama, dua toko bangunan peninggalan zaman dulu roboh juga.

Kami makin kaget begitu melihat banyak perahu yang kandas di dekat jembatan Peunayong. Di tempat yang sama juga ada belasan mayat yang ditutup alakadar. Sejumlah pria setiap lewat membuka kainnya.

Di sebelah kanan kami, sebuah pemandangan yang tak pernah terbayangkan, terpampang. Untuk melihat hempasan ombak Ulee Lheue, tak perlu lagi repot-repot ke sana. Dari atas jembatan pun bisa. Kampung Jawa, Keudah, Peulanggahan sudah rata! Apalagi Lampulo.

Dramatisnya pemandangan ini hanya bisa dirasakan oleh warga Banda Aceh atau mereka yang melihat kondisi sebelumnya. Bagi yang baru pertama kali berkunjung ke Banda Aceh, mungkin tak berarti apa-apa. Ini seperti warga Jakarta yang tiba-tiba kehilangan tugu Monas saat bangun di pagi hari. Tapi bagi yang tak pernah tahu Monas, tentu bukan soal.

Lantas, penjara Keudah juga hancur. Bagaimana tahanan di dalamnya. Kami belum mendapat jawaban. Lantas apa kabar mantan Juru Runding GAM, Tgk Sofyan Ibrahim Tiba, termasuk mantan Walikota Drs Zulkarnain. Kami juga tak tahu. Belakangan, Zulkarnain diketahui meninggal.

Dari atas jembatan yang menghadap ke barat, sejauh mata memandang hanya kehancuran. Di bawahnya ada puluhan boat yang selamat tertangkar di sana. Sedangkan di sebelah kanan, di atas Pasar Ikan, sebuah perahu yang terbuat dari fiber tertambat di sana.

Tiba-tiba…

“Hai, tolong kami. Kami tidak bisa keluar,” teriak seorang wanita.

Aku kaget. Hotli juga.

Suaranya datang dari arah sebuah reruntuhan bangunan. Di atas itulah, sebuah perahu yang terbuat dari bahan fiber tadi, tersangkut. Tak lama kemudian, kembali dia mengulang minta bantuan. Dia berteriak tak bisa keluar akibat terhalang kayu. Dia meminta pertolongan supaya kayu disingkirkan. Kasihan juga, tak ada yang bisa mengulurkan tangan. Karena memang memindahkan reruntuhan itu tak bisa dengan tangan kosong.

“Sabar, Bu ya. Kami tidak bisa berbuat apa-apa,” kataku yang kemudian disambung seorang pria tak jauh dari kami.

Lalu, ibu-ibu yang terperangkap tadi, kembali mengulang kata-kata yang sama. “Hai…neu tulong kamoe, hana jeut meuteubiet.” Aku menanyakan, berapa orang yang ada di situ. Dia menjawab ada tiga. Tapi suaranya satu. Berarti selain dia, ada jenasah di dalamnya.

Tak ada yang bisa kami perbuat. Demikian pula dengan beberapa orang yang mendengar. Aku kembali mengulang: “Neusaba mak beh, kamo hana lom jeut meutulong, mungken entreuk cot uroe katroh bantuan.”

Setelah itu terdiam sebentar. Selang lima menit kembali dia berteriak. Kali ini dia ingin memberitahu, bahwa di bawah tumpukan puing-puing masih ada orang yang terperangkap.

Lamat-lamat aku ingat kata-katanya. “Hoii… kamoe teukurong di sinoe…(kami terkurung di sini).”

Sejurus kemudian, tiba-tiba tanah bergetar.

“Gempa lagi,” kata Hotli.

Lalu, buru-buru kami balik lagi ke Simpang Lima. Kami pulang dari jalan yang berbeda. Kali ini melewati Jalan Tuanku Daudsyah. Soal banyak mayat yang berserak, sudah jadi pandangan biasa. Tumpukan puing-puing membukit.

Gempa yang datang telah mengkalutkan pikiran kami dan tak ingat lagi akan nasib perempuan yang terkurung di dalam reruntuhan yang tertindih perahu itu. Tapi beruntung, beberapa orang di sana juga mendengar ada warga yang masih terkurung.

Di Jalan Tuanku Daudsyah memang terkenal sebagai kawasan pemukiman Tionghoa. Selain itu, kawasan ini juga sentranya salon mobil. Mengkilapkan mobil di situlah lokasinya.

Dari lantai dua mereka mengintip keluar. Ada yang sedang mengeluarkan mayat, ada pula yang sibuk mencari sisa-sisa harta benda.

“Hai Bang, gimana kok belum ada bantuan,” tanya seorang bapak-bapak kepada kami. Sepertinya dia tahu kami jurnalis, apalagi tanda pengenal yang dipakai Hotli begitu menonjol.

Tapi sepertinya, dia mengira kami tim mengirim bantuan. “Kami belum bisa kirim kabar ke Jakarta. Mungkin nanti sore kami ke Medan. Semua komunikasi terputus, tak bisa apa-apa,” jawab Hotli yang pernah bekerja sebagai fotografer Agency France Press (AFP) ini.

Di jalanan berlumpur itu, kami terus melangkah. Di daerah ini airnya di bawah lutut, sekitar tulang kering. Seorang satpam duduk santai menjaga sebuah swalayan yang sudah ditarik tali police line di simpang Jalan Khairil Anwar.

Dari sini kami tak bisa belok ke kanan, karena tumpukan puing-puing itu lebih parah. Pintu gerbang sebuah hotel tetutup dengan puing. Lantas kami memilih ke kiri. Di sini tumpukannya juga lebih parah. Tapi mau tak mau kami harus melewatinya. Dengan susah payah, melewatinya. Ada sejumlah mayat yang juga tergetak di sana. Hari kedua pagi itu, belum tercium aroma busuk jenasah.

Kami berjalan dengan bantuan tongkat kayu. Sambil berjalan kami menusuk-nusukkan tongkat itu ke puing-puing yang berserak. Ups… Aku melihat ada sesosok mayat terjepit tumpukan kayu. Secara reflek, tongkat kutarik. “Mayat Li,” ujarku kepada Hotli.

Begitu mencapai badan jalan, di bawah batang asam jawa, seekor anjing warna hitam terikat di rantai. Hotli mendekat. Malah anjing itu galak. Hotli pun mengelak.

Selesai shalat dzuhur kami berangkat ke Sigli, Pidie, ke rumah Nani. Ibunya gundah nian. Selentingan kabar berhembus; Sigli juga tenggelam. Tapi jalan menuju Sigli amat padat. Banyak warga yang mengungsi. Sementara warga luar Banda Aceh juga masuk mencari keluarganya.

Tiba di SPBU sekitar Montasilk, antrean kendaraan terjadi sepanjang tiga kilometer lebih. Kami kepanasan dalam mobil..

Sekitar pukul 15.00 kami tiba di Tijue. Tidak ada kejadian yang menonjol di sekitar Masjid Al Falah, Kota Sigli. Tak ada air tsunami seperti yang dirumorkan. Di masjid itu cuma menaranya yang runtuh akibat goyangan gempa.

Sampai di rumah, kami melihat bapak Nani sehat walafiat. Perasaan lega. Kami disuguihi teh manis hangat. Cukup untuk menghilangkan dahaga seharian.

Selesai melepas lelah, kami menyalakan televisi di frekuensi Metro TV. Langsung terpampang “Indonesia Menangis”. Mayoritas beritanya tentang korban gempa dan tsunami di Lhokseumawe dan Aceh Utara. Metro TV belum punya gambar apa-apa tentang situasi di Banda Aceh.

“Ini belum apa-apanya jika dibandingkan dengan yang tejadi di Banda Aceh,” kataku ketika itu.

Makanya hasrat untuk segera mencapai Medan semakin mengebu-ngebu. Tujuaannya untuk menyampaikan informasi tentang Banda Aceh yang sebenarnya. Dengan demikian, apa yang diinginkan seorang pria Tionghoa atau ibu-ibu yang terperangkap tadi terpenuhi.

Kata-kata dia terngiang lagi. “Hai, Bang, gimana kok belum ada bantuan.”

Kami memutuskan kembali lagi ke Banda Aceh. Dengan maksud, setelah itu segera menuju Medan. Keesokannya (Selasa, 28 Desember 2004), kami berangkat ke Medan. Nani terlihat kewalahan menerima telepon dan SMS dari berbagai kalangan yang menanyakan kondisinya, keluarga dan kondisi Banda Aceh tentunya.

Akhirnya kami tiba juga di Sumatera Utara. Sepanjang jalan, lagi-lagi banyak rumor yang terdengar. Katanya, jalan di Kecamatan Panteraja, Pidie, putus. Ternyata nggak benar.

Sesampainya di Medan, Nani dan Hotli mencari sejumlah bahan kebutuhan untuk rekan-rekan jurnalis di Aceh yang menjadi korban tsunami. Sedangkan aku minta izin ke kantor. Mengolah berbagai foto yang selama ini hanya tersimpan di kamera, tak bisa dipublikasikan. Perasaan sedikit lega, ketika foto-foto itu disiarkan. Masyarakat sudah mulai tahu kejadian yang sebenarnya. Kondisi darurat. Sangat darurat.

Setelah mencari perbekalan baru, terutama untuk kamera dan sebagainya, kami pun kembali ke Aceh. Tenaga kami masih dibutuhkan. Apalagi kami warga di sana. Tak boleh meninggalkan Aceh; tanah kepedihan, Tanah Rencong yang tak pernah henti mendapat cobaan. [selesai]


No comments:


Top