”Jiwa Jurnalisku Menyentak” [5]

Catatan Harian Munawardi Ismail - Waspada
Artikel ini sudah pernah dimuat acehkita.com

Kembali ke Banda Aceh, kami tak sanggup membendung airmata. Konon lagi mengingat puing-puing yang membukit di banyak tempat. Sebab di jalur tersebut sebelumnya kami lewat. Setelah gempa sebelum tsunami.

Hotli bahkan berulang kali memuji sang pencipta. “Kita masih beruntung terhindar dari musibah dahsyat ini,” tuturnya.

Kenapa “beruntung?” Sebagai umat yang beragama, aku bukan saja menganggap itu seperti Hotli. Tapi sebagai sebuah kebesaran Allah yang sudah diberikan kepada aku dan Hotli.

Bagaimana tidak? Lokasi -lokasi yang dipenuhi tumpukan bukit-bukit itu baru beberapa menit lalu kami lewati. Satu jam kemudian kami balik lagi, ternyata semua luluhlantak. Lantas bagaimana jika sekian menit saja kami terlambat? Pasti kami juga “tamat”.

Karenanya. Ketika pulang ke Banda Aceh setelah singgah sejenak di Lhokseumawe kami bagai tak sanggup menampung airmata. Kami tak ingat lagi berapa anggota keluarga yang sudah menjadi korban. Atau di mana jika mereka masih selamat.

Seharusnya ada airmata buat mereka. Tapi sayang, itu tak kami punya. Menangis pun tak kuasa. Tak ada airmata untuk keluarga, bila mengingat ratusan ribu rakyat Aceh yang turut menjadi korban sapuan tsunami. Rasanya kering sudah sumur airmata kami.

Begitu juga dengan tempat tinggal. Aku nyaris tak tahu harus bermukim di mana. Tempat kos-ku nyaris tak bisa dihuni. Banyak baju di dobi (laundry), yang tak sempat diselamati. Tak jauh beda dengan Hotli. Rumah kos-nya ikut masuk lumpur. Dia sempat menyelamatkan banyak dokumen pribadi.

Di jalan masuk rumahnya belasan mayat “menyambut” kedatangan kami. Dia mencari bapak kos-nya, namun tak ditemui. Nasibnya sama dengan warga yang lain.

Makanya jangan tanya di mana kami memejamkan mata. Mengungsi sudah pasti. Nani menjadi dewi penolong. Berkat kebaikan hati dia, aku dan Murizal bisa menghuni rumahnya. Alhamdulillah. Semoga Allah membalas kebaikannya, aku membatin.

Ups. Tiba-tiba aku tersentak. Ternyata aku baru kembali dari masa dua hari lalu. Di mana kondisi masih amat darurat. Karena itulah yang membuat kami segera kembali. Berbuat semampunya. Kendati dalam kuantitas yang sedikit, aku yakin bantuan yang diberikan Nani kepada rekan-rekan jurnalis amat bermanfaat.

Pagi-pagi, taget pertama kami adalah Yayan (Radio El Shinta Jakarta). Saat kami temui, mantan produser di Radio Baiturrahman ini sedang membersihkan rumah dari lumpur tsunami. Selesai menurunkan sedikit sembako, kami berangkat untuk meliput.

Ketika itu, puing-puing masih banyak berserak. Bantuan alat berat tak cukup “kuat” mengangkut lumpur dan puing-puing tsunami. Akhirnya gajah pun dilibatkan. Kehadiran binatang berbelalai itu amat membantu dalam membuka jalan-jalan yang selama itu masih terhalang.

Melihat itu tentu kami tak tinggal diam. Banyak foto yang kami abadikan saat binatang raksasa itu bekerja untuk kemanusiaan. Menurut pawangnya, untuk tugas ini mereka menurunkan tiga ekor.

Tertantang

Selesai mendapat berita dan foto-foto, aku mulai berpikir mau kerja di mana? Ketika itu tak ada satupun wartawan lokal yang bekerja kecuali kami bertiga. Baru beberapa hari kemudian, Adward (Acehkita) dan Murizal Hamzah (Sinar Harapan) mulai melakukan kegiatan yang sama.

Jadi di Banda Aceh cuma kami yang “bernyanyi”. Pun demikian ada juga rekan yang bekerja di media nasional, yang didukung rekannya dari Jakarta. Sedangkan mereka dibebas-tugaskan untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk beristirahat.

Sementara jurnalis media cetak seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, semua menurunkan wartawannya ke Tanah Rencong. Tentu lengkap dengan segala perangkat kerja. Alat komunikasi telepon satelit, komputer dan generator. Terus terang masuknya kawan-kawan dari Jakarta membuat perasaan kami lega. Karena mereka bisa meng-cover semua berita dari musibah tsunami yang terdahsyat di dunia. Kami sedikit banyak masih trauma.

Lalu bagaimana kami kerja?

Kerja sedikit tertolong dengan adanya fasilitas internet gratis di Kantor Pos setempat. Saat itu cuma baru satu unit komputer yang dioperasikan. Kalau lagi ramai user (pengguna internet), tentu saja kami harus antri. Sarana komunikasi sudah mulai siuman, setelah pingsan gara-gara gelombang laut itu.

Kantorku di Medan, tidak terlalu membenaniku dengan banyak tugas. Mau kerja silakan, isirahat pun tak dilarang. Tapi jiwaku tak bisa terima, begitu melihat koran esok harinya tanpa ada foto dan beritaku. Jiwa jurnalisku menyentak.

Karena itu, dalam kondisi seperti yang dialami warga yang lain. kami kuatkan diri. Kendati sekali-kali seperti orang sakit “jiwa”: sedikit saja ada getaran, kami pikir gempa. Keluar rumah adalah langkah selanjutnya.

Untuk bekerja, tentu saja aku tak punya perangkat apa-apa. Semua komputer di kantor ludes digenangi tsunami. Akibatnya banyak foto dan berita yang tak terkirim ke redaksi.

Karena itu, aku tak buat berita karena mereka juga punya kegiatan sendiri. Dalam satu pekan itulah aku cuma mengirim foto-fotonya saja ke redaksi. Dalam kondisi serba darurat sudah cukup membantu, pikirku.

Kondisi inilah yang membuat aku kian leluasa menjelajah semua ground zero. Sebab tak perlu khawatir hasil jepretan tak bisa terkirim. Langkah ini, kemudian membuat aku “terdampar” hingga ke Lhok Nga.

Memasuki kawasan ini, aku bagai berada di planet lain. Bukan daerah yang selama ini kami lintasi. Baik untuk sekadar menikmati sunset, atau memancing di Leupung. Kawasan wisata ini sudah rata. Tak banyak bangunan yang tersisa.

“Keude Bieng di mana,” tanyaku pada diri sendiri.

“Jalan masuk ke Pantai Lampuuk di mana?”

Lalu …

Di mana lapangan golf yang kerap dipakai pejabat dan pengusaha untuk mengisi hari liburnya? Lapangan yang kerap membuat pejabat tak ingat rakyat itu pun tak berbekas.

Jalan ke arah pabrik semen tak bisa dilalui. Jembatan berangka baja sudah tidak ada lagi. Cuma ada satu unit perahu bagi yang ingin menyeberang. Dua lokasi markas militer, Kompi Senapan B dan Zeni Tempur (Zipur) yang letaknya berhadap-hadapan itu, sudah tak tersisa. Hanya sebuah beton kecil yang sudah retak, yang bisa dijadikan penanda markas itu.

Di dekatnya, ada penjara wanita, tempat dipenjarakannya Cut Nurasikin (yang dihukum karena menyuarakan referendum) dan beberapa wanita yang diklaim sebagai pasukan inong balee (divisi GAM). Tak ada tanda-tanda mereka bisa meloloskan diri dari kepungan air yang ganas.

Dengan menumpang perahu nelayan, aku menyeberang menuju pabrik semen. Kembali perasaan asing membayang. Dua unit kapal menghadang jalan sebelum mencapai pabrik semen. Menurut sejumlah warga, kapal tongkang tersebut dipakai untuk mengangkut batu bara.

Selesai kuabadikan semua, aku hendak pulang. Sampai di jembatan tak ada lagi perahu yang menyeberangkan kami tadi. Tak jelas ke mana? Aku tertahan dalam terik mentari membakar kulit, sekitar 1 jam. Hampir saja tak bisa pulang.

Aku menyeberangi Krueng Raba di Kecamatan Lhok Nga ini berkat bantuan warga setempat dengan memakai drum sebagai bahan pelampung.

Pulang dari Lhok Nga, aku jelajahi Peukan Bada, Lamjame, Lamteumen, Lamjabat hingga Ule Lheue. Semua sama. Subhanallah. Aku kembali merasa bagai berada di negeri asing. Hanya bendera-bendera dwiwarna yang dipasang di tengah ground zero yang menyentakku dari keterasingan. Aku kurang tahu siapa yang pasang itu.

Kawasan Ulee Lheue yang membuatku paling berkesan. Pasalnya baru tiga hari sebelum tsunami aku sempat mengabadikan sejumlah bangunan di sana. Tapi kini semua tak tersisa. Rata.

Di kawasan Punge Jurong, sebuah rumah megah yang menjadi perhatian ku setiap lewat ke sana juga sudah tak tersisa. Begitu pula dengan wilayah lain yang menjadi sapuan tsunami.
Foto-foto itulah yang membuat aku seketika kembali.

Lalu untuk kerja aku numpang sama rekan dari Tempo Cs. Mereka bermarkas di salah satu bangunan di Pendopo Gubernur Aceh. Di sana ada Ali Anwar dan Edy Can cs yang dengan senang hari membantu. Di situlah aku pindahin foto-foto dari kamera ke komputer. Kemudian kukopi ke disket, baru kemudian lari ke kantor pos.

Kantor Medan sendiri sudah mengirim tenaga untuk memback-up. Mereka ternyata berkonsentrasi di Bandara Sultan Iskandar Muda, sekitar 15 km dari Banda Aceh. Sementara peralatan kerja untuk mengganti yang sudah rusak sudah dikirim, sayang belum ada lokasi strategis untuk merelokasi kembali.

Terkadang, untuk kegiatan serupa aku “kerjasama” dengan Encik Razali, Ruslan dan Datok Natsir dari Kantor Berita Bernama Malaysia, termasuk LKBN Antara. Take and give-lah, ceritanya.

“Hubungan bilateral” ini terus kupelihara. Ini menyebabkan semua kegiatan liputan hampir normal, sehingga tak ada yang tak tercover. Cuma yang tersisa kelelahan. Sebab tak jarang untuk sekali kerja harus gonta-ganti tiga komputer akibat minus program yang diperlukan.

Itu semua tak kupedulikan. Toh, jika semua yang file yang kukirim bisa terkirim, perasaan lega menyeruak. Rasa lelah sirna. Pulang membaringkan badan di Lamlagang, kawasan yang aman dari tsunami. Begitulah siklusnya saban hari yang kujalani.

Hingga pada tanggal 5 dan 6 Januari 2005, aku kerja di rumah rekan sekantor. Di mana saat semua kondisisnya menjurus normal. Korannya sudah mulai dibaca dan beredar di Banda Aceh. Untuk pertama dibagi gratis buat pengungsi.

Ketika itu, aku teringat masa-masa penuh tantangan yang tak terlupa. Temasuk bantuan mereka-meraka yang membuat kerja ini menjadi bermakna. Kecuali untuk memenuhi hak publik, juga untuk kemanusiaan. Kendati pada akhirnya cuma dua pilihan: meliput atau menolong? Selesai.


No comments:


Top