Antara Dante’s Peak Dan Gempa Aceh

DUA jembatan layang di kota kecil Dante seketika ambruk, hampir bersamaaan dengan gunung berapi di kota itu yang “batuk-batuk”. Lusinan mobil yang sedang melintas segera mencium tanah. Dari puncak gunung, kepulan asap hitam meninju langit.


Getarannya merobek bangunan megah. Kepanikan melanda kota yang dipimpin seorang wanita ini. Dalam suasana panik, Walikota Dante, Rachel Wando dan pakar vulkanologi, Harry Dalton sedang berusaha menenangkan warga yang berlarian.

Si walikota malah teringat dua anaknya Graham dan Lauren. Dua bocah itu tak ada lagi di rumahnya. Dengan menyetir mobil, Graham menerobos badai lahar yang dimuntahkan Gunung Dante. Mereka berniat menyelamatkan neneknya yang bermukim di kaki gunung.

Sebelum meletusnya gunung tersebut, Dalton sudah mencium tanda-tanda adanya kemungkinan Gunung Dante meledak. Kepada walikota dia sudah meminta anggota legislatif setempat untuk membicarakan pengungsian. Usul itu ditolak.

Belakangan didapat bukti kuat bahwa gunung yang tidak aktif selama ratusan tahun itu akan meletus dan laharnya menyapu kota kecil di bawahnya. Warga hanya mempunyai waktu terbatas untuk mengungsi sebelum Dante meletus.

Belum sempat mengungsikan warga, puncak Dante pun meletup. Wando kalut, apalagi ketika tidak mendapatkan anaknya di rumah. Yang ada cuma selembar pesan. Lalu dengan dibantu Dalton, dia segera menyusul si anak ke kaki gunung. Dengan susah payah mereka menerobos muntahan lahar yang menghancurkan kota wisata ini.

Begitulah sebagian kisah kehancuran kota Dante yang dikutip dari film Dante’s Peak yang ditayangkan Indosiar, Senin (28/3) malam. Saat itu, goncangannya terus menghancurkan Dante.

Belum usai menyaksikan muntahan larva yang masuk kota Dante, pukul 23.09, warga Banda Aceh dan sekitarnya merasakan getaran serupa. Kini, bukan ekses dari meletusnya gunung dalam film yang dibintangi Pierce Brosnan dan Linda Hamilton, diliris pada 1997 itu.

Kotak ajaib yang sedang menanyangkan film besutan sutradara Roger Donalson
itu memang bergetar. “Ini benar gempa,” ujar seorang warga Lambuk, kemarin malam seakan tak percaya.

Benar saja, tak lama kemudian, bangunan menderit. Tanah bergetar. Pepohonan bergoyang kencang, namun bukan diterpa angin badai. Dalam hitungan menit ribuan warga Serambi Makkah sudah berhamburan ke luar rumah.

Mereka berpakaian seadanya. Tanpa menunggu getaran susulan, warga yang sudah trauma bergegas ke luar dari kota. Ada yang berjalan kaki, pakai beca mesin serta mengendarai apasaja.

Niatnya cuma satu, semua ingin menjauh dari kawasan yang pada 26 Desember lalu dihempas tsunami. Tujuannya Lambaro, Jantho, Mata Ie dan Blang Bintang. Kawasan ini memang luput dari gelombang tsunami.

Gempa semalam berpusat di sebelah barat Pulau Sumatra berkekuatan 8,7 Skala Richter. Bukan hanya di Aceh, gempa tersebut dirasakan juga di Thailand, selain Medan, Padang, Jambi dan Pekan Baru. Nias dilaporkan mengalami kerusakan paling parah, banyak rumah rata dengan tanah

Gempa itu mengingatkan warga pada peristiwa tiga bulan lalu. “Pokoknya kita pergi dulu dari Banda Aceh. Kalau nanti air nggak naik, kita balik lagi ke rumah,” ujar Jakfar, warga Beurawe kepada Waspada.

Warga sudah mempunyai “pengalaman” dengan tsunami Desember lalu. Karena itu, tanpa menunggu perintah mengungsi seperti dilakukan Brosnan dalam filmnya, mereka langsung angkat kaki.

Menurut Jakfar, karena sudah trauma dengan tsunami yang menelan korban 200 ribu lebih pada Desember, maka dia memilih mengungsi. “Apalagi gempa yang kita rasakan tadi malam, hampir setara dengan 25 Desember,” kata dia.

Kekalutan bukan saja dirasakan ayah dua putri ini. Semua warga membicarakan hal yang sama. “Ho kaplueng kah beuklam? (ke mana kamu lari tadi malam?),” tanya seorang pria berseragam pegawai kepada temannya saat bertemu di kantor bank.

“Ke Blang Bintang,” jawab orang yang ditanya.

Blang Bintang yang jaraknya sekira 15 km dari Banda Aceh memang menjadi pilihan untuk warga menghindari dari gulungan tsunami. Pada akhir tahun daerah ini memang dipadati para pengungsi.

Ada di antara pengungsi enggan menempati barak yang sudah direlokasi. Mereka lebih memilih menempati tenda-tenda seadanya ke kampung masing-masing. Warga beralasan karena jauh dari tempat mereka mencari rezeki.

Nasir, seorang warga Asoe Nanggroe, Kecamatan Meuraxa mengakui mereka di tempatkan di Jantho, Aceh Besar. “Karena jauh dengan tempat kami bekerja, saya nggak mau tinggal di sana,” jawab dia beralasan.

Dia mengaku masih trauma, apalagi dengan kejadian gempa Senin malam, namun tak ada pilihan lain. Nasir mengaku pasrah termasuk jika terjadi tsunami seusai gempa yang berpusat di kawasan kepulauan Nias itu.

“Ke manapun pergi, kalau sudah ajal, pasti akan mati,” ujarnya. [Munawardi Ismail]


No comments:


Top