Teungku Penyatu Dendam
*****
Dikalangan anak korban konflik, Bulqaini adalah ’ayah’ teladan. Lewat ’tangan dingin’ lelaki itulah banyak anak yatim piatu di Aceh bisa menikmati hidup tanpa dendam. Sebuah dayah pun didedikasikan untuk itu.
Namun, karena foto itu memperlihatkan seseorang yang berseragam militer. Beberapa anak di desa memang sangat trauma dengan tentara. Mendengar jawaban itu, pikiran Bulqaini menggelegak. ”Kalau dibiar Aceh akan penuh dendam di masa depan. Konflik tidak akan pernah selesai,” lirihnya.
Sejak saat itu, ia pun bertekad mendirikan pusat rehabilitasi anak agar dendam mereka bisa hilang. ”Saya ingin anak-anak Aceh melupakan dendam kesumatnya,” katanya. Kendati dia juga mengaku tak mudah melakukan hal itu, apalagi menyatukan dua dendam.
Mudah atau tidak, suami Rosmaida Umar, 27, tetap ingin mewujudkan mimpinya. Dan itu baru terlaksana selepas pulang dari Amerika Serikat pada 2001. Bulqaini bertandang ke negeri Paman Sam atas undangan Kedutaan Besar AS guna melihat perkembangan Islam, pendidikan dan budaya di sana.
Nah, sisa uang saku sebesar Rp35 juta itu dimanfaatkan untuk membeli sepetak tanah rawa di ujung Lueng Bata. Tahun 2002 baru pembangunannya dimulai. Di sinilah kemudian dia mengumpulkan ”dua dendam” anak-anak korban konflik. Baik itu yang dibunuh TNI/Polri maupun GAM.
Kecuali itu, tak ada yang istimewa di sini. Bangunannya amat sederhana, dibuat dari kayu. Hanya ada satu unit bangunan permanen yang belum selesai yang lantai duanya dipakai untuk tempat shalat.
Sementara asrama anak-anak dan tempat pengajian masih centang perenang, karena sedang dalam proses pembangunan. Departemen Luar Negeri sedang membangun dua unit asrama dan tempat belajar. ”Baru ini bantuan yang ada.”
Begitu pun, di dayah ini anak-anak yang terdiri dari 60 laki-laki dan 33 kaum hawa dididik Bulqaini. Rata-rata usianya mulai dari kelas SD sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). ”Belum ada yang kuliah,” sebut pria yang disapa anak didiknya dengan panggilan Tu ini.
Untuk pendidikan umum anak-anak ini disekolahkan. ”Semua biaya ditanggung oleh Al-Ishlah,” katanya. Untuk biaya rutin perbulan buat seorang anak mencapai Rp500 ribu. Itu berarti untuk 93 anak dia harus mengeluarkan dana lebih dari Rp 46.500.000 perbulan.
Ini belum termasuk untuk 16 tenaga pengajar. ”Tenaga pengajar itu semuanya relawan,” kata dia. Karenya Bulqaini tak peduli latar belakang anak-anak itu. ”Siapa pun dia, baik itu anak korban aparat maupun kelompok bersenjata, jika butuh bantuan, akan kita bantu semampunya,” urai dia.
Bulqaini membiayai biaya pendidikan dan kehidupan anak-anak dari sumbangan orang-orang yang bersimpati. Bahkan, katanya dalam dua tahun terakhir dia mendapat subsidi rutin dari PTP Nusantara, Langsa.
”Bukan hanya dana rutin setiap bulan, awalnya mereka juga membantu membangun barak,” ujar Bulqaini. ”Ada juga donatur-donatur lainnya yang kini menetap di Medan.”
Kehidupan dayah sudah akrab dengan pria kelahiran 39 tahun lalu itu. Separoh kehidupannya dihabiskan di sana. Makanya tak heran jika Bulqaini sudah mengenyam pendidikan di beberapa dayah ternama di Aceh.
Contohnya, sebut saja Dayah Mudi Mesra Samalanga, Kab Bireuen. Kakeknya, Tgk Haji Hanafiah memimpin dayah tersebut. Lalu, pada 1987 dia belajar ke Dayah Malikussaleh di Panton Lab, Aceh Utara, kemudian ke Dayah Ulee Titi, Lambaro Aceh Besar.
”Waktu itu peta politik di Aceh Utara sedang memanas,” ujar Bulqaini yang lahir di Tanjongan, Kecamatan Samalanga pada 1968. Kini dia sudah dikaruniai tiga putra yakni, Muhammad Izzisyakir, 5 tahun, Muhammad Izziddin,3, dan Muhammad Izzil Hasani, 1.5 tahun.
Kelaziman teungku-teungku dayah di Aceh kerap menabalkan nama kampung di belakang namanya. Seperti Tgk Muhammad Daud Beureu-eh, Tgk Hasan Krueng Kalee, Tgk Abdul Wahab Seulimeum dan lain sebagainya.
Begitu pula dengan dia. Di belakang namanya ditambalkan nama kampung kelahiran, maka nama lengkapnya menjadi Bulqaini Tanjongan. Akhirnya Bulqaini pun bertekad memutuskan tali dendam dihati anak-anak Aceh yang menjadi korban konflik.
Top 5 Popular of The Week
-
RATUSAN pelajar di Banda Aceh mendapat kesempatan menyaksikan Film Rumah Tanpa Jendela. Mereka juga berdiskusi langsung dengan sutradara...
-
BANJIR kembali menjadi momok menakutkan di Aceh. Kali ini wilayah Pesisir Barat Selatan. Dampaknya seperti sudah kita maklumi bersama. Ta...
-
SPANDUK 'Welcome ISL" yang dipasang pendukung Persiraja Banda Aceh di tribun utara Stadion H Dimurthala raib. Sebelumnya, spand...
-
"HAI Apa Lambak, ho ka treb hana deueh-deueh, --hai, Apa Lambak kemana saja sudah lama tidak kelihatan," begitulah sapaan seorang ...
-
ITU kuburan Belanda," tunjuk Zulkifli, seorang penarik becak mesin kepada dua turis penumpangnya pagi itu. Jumat pagi kemarin, cuaca t...
1 comment:
asssalamualikum
pue hjaba tgk...saleum meuturi dari ulon tuan
alumni dayah samalanga mudimesra
Post a Comment