Sepenggal Kisah Rudini...

RUDINI baru saja selesai shalat Magrib. Senyum tipis mengembang dibibirnya ketika disapa Waspada, pekan lalu. Dia ditemani, ’ayah’ sekaligus gurunya; Tgk H Bulqaini Tanjongan. Kisah hidupnya memang kelam, tapi jiwanya yang besar.

Namanya memang sama dengan bekas menteri di zaman Soeharto. Rudini, si Menteri Dalam Negeri itu kini sudah uzur. Tapi Rudini yang satu ini usianya masih 13 tahun. Dia salah satu korban dari pertikaian panjang yang memberangus Aceh.

Rudini kecil lahir di Desa Cot Geureudong, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen. Kulitnya sedikit gelap, segelap kisah hidupnya. ”Ayah saya dibunuh GAM,” kata putra kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Yusmadi dan Nazimah.

Itu kata terakhir yang keluar dari anak berdarah Jawa dan Aceh itu. Lalu, seketika bola mata lembab. Bulir bening menetes satu... satu. Kemudian tangis pun tak dapat dibendung. Dia sesegukan.

Kedukaan Rudini amat dalam. Sampai-sampai dia tak kuasa melanjutnya kisah hidupnya. Hanya sepenggal yang sempat dia utarakan. Temannya Amrizal,13, dan Lukman,12, berusaha menenangkan Rudini. ”Kami di sini senasib.”

Ketiganya menetap di Markaz Al-Ishlah Aziziyah. Amrizal dan Lukman sama-sama warga Desa Batee Pila, Kecamatan Nisam, Aceh Utara. Kedua orang tuanya tewas digasak peluru panas aparat keamanan.

Rizal pun bercerita. Suatu hari di tahun 2000, mendekati lebaran, ayahnya sedang shalat di surau (Aceh: Meunasah) kampung setempat. Kabarnya ada gerombolan bersenjata yang melarikan diri ke kawasan itu.

Tak lama kemudian, peluru pun menyalak ke dalam meunasah. ”Pada rakaat kedua ayah meninggal setelah ditembak,” kata pelajar Kelas 1 SMP Islam Ibnu Khaldum Lueng Bata ini mengutip cerita orang tuanya.

Amrizal anak ke-5 dari tujuh bersaudara dari pasangan Ismail dan Nuraini. Ibunya kita tinggal di kampung halamannya. Setahun sekali di menjenguk orang tuanya di sana. Tapi dia sudah betah tinggal Lueng Bata, makanya jarang pulang.

Kisah Lukman juga tak jauh beda. Anak ke-8 Usman dengan Syamsiah itu bercita-cita menjadi pilot Angkatan Udara. ”Awalnya saya dendam, tapi Tu mengajari kami supaya tak dendam lagi,” katanya. Tu adalah panggilan takzim untuk Bulqaini.

Bukan hanya mereka, Husnul Makhyar, Nur Fatimah dan sikembar Mufazar dan Mufazir asal Desa Pinta Rimba, Trumon Aceh Selatan juga bernasib sama. ”Selama di sini kami sudah bersaudara, makanya kami tak dendam lagi,” sambung Lukman.

Cerita Harisman lain lagi. Dia anak tentara. Ayahnya Jufri MS, bertugas di Kodim 0105 Aceh Barat. Haris tinggal di Asrama Kodim tersebut. Dia anak kedua dari empat bersaudara. Ibunya Nurajiati.

Menurut Haris, ayahnya diculik di Simpang Empat Jeuram, Kabupaten Nagan Raya ketika sedang berada di sana. Jaraknya sekira 30 km dari tempat tinggal mereka. Dia tak ingat lagi kapan persisnya peristiwa yang merenggut nyawa sang ayah terjadi? Namun yang pasti pada suatu hari di tahun 2000.

”Saat itu saya masih di sekolah. Waktu dibilang ayah meninggal saya tak percaya. Saya asyik main-main dengan teman-teman di sekolah,” cerita manta siswa MIN Johan Pahlwan itu.

Sama halnya dengan Amrizal, Haris pun mengaku tak berpikir lagi untuk menuntut balas. ”Kami di sini sudah seperti saudara, main dan bakar ikan bersama. Tak ada lagi dendam dihati saya. Awal-awalnya iya, saya dendam juga, tapi ustazd di ini bilang kita tak boleh dendam. Kita harus ikhlaskan saja,” kata siswa SMP Islam Ibnu Khaldun, Lueng Bata ini.

Keikhlasan itu juga diungkapkan Nurbaiti,45, janda Ayah Sofyan, jurubicara GAM Aceh Besar. Kini dia hidup dengan lima anaknya yang sedang beranjak remaja. Untuk membiaya kebutuhan hidup dia terpaksa kerja apa saja asalkan halal.

”Saya sudah bilang ke mereka untuk rajin-rajin mengaji dan sekolah. Ikhlaskan kepergian orang tuanya,” kata ibu Haris Munandar, Syukrina, Muhammad Iqbal, Zulkarnen, dan Edi Kurniawan itu.

Namun, dia mengeluhkan kurangnya perhatian. Dia pun merasa kesulitan membiaya sekolah anak-anaknya. Apalagi bantuan sangat minim. Meski demikian, Nurbaiti berhasrat tak membiarkan anak-anaknya terlantar.

Tapi, tapi tak tahu harus bagaimana. Lantas siapa yang akan bertanggungjawab dengan pendidikan dan masa depan mereka nanti, jika bukan kita.


No comments:


Top