ACEH memasuki babak baru dalam khasanah menjaga kearifan lokal. Mengaji
magrib itu sudah turun temurun berlangsung di tanoh Aceh. Hanya saja
dalam tiga dekade terakhir, kebiasaan itu luntur dalam kehidupan warga
Serambi Makkah. Kenapa?
Jika dulu, mengaji magrib atas inisiatif keluarga, kini diambil alih
pemerintah. Maka umara pun melalui Menteri Agama Republik Indonesia
Suryadharma Ali, Minggu (24/7) malam, di
Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, meresmikan Gerakan Masyarakat Magrib Mengaji.
Pencanangan Gemmar Mengaji, kata Suryadharma bertujuan untuk
menghidupkan kembali kebiasaan mengaji selepas magrib. “Gerakan ini
untuk menghindari generasi muda agar tidak terjerumus dalam perbuatan
yang menyesatkan,” ujar dia.
Gerakan itu mengacu pada kondisi generasi muda yang kian tak terurus.
"Generasi sekarang lumayan banyak yang terjerumus dalam perbuatan tidak
terpuji misalnya melawan orang tua dan gurunya di sekolah," kata
Suryadharma.
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengakui, kearifan lokal yang diwariskan
secara turun-temurun itu makin merosot. "Akibatnya, kita harus bayar
mahal dengan munculnya generasi muda Aceh, baik asli Aceh maupun yang
datang dari luar, buta huruf al-Quran,” katanya.
Bicara Magrib mengaji, Tgk H Faisal Aly, seorang ulama dayah di Aceh
Besar menilai, langkah pemerintah itu diharapkan bisa mengoptimalkan
kembali kebiasaan masyarakat Aceh, yang mulai luntur.
"Bagi Aceh bukan pencananganan, kebiasaan magrib mengaji itu sudah lama
hidup di tengah masyarakat. Memang ada beberapa kampung tak optimal
lagi," sebut pimpinan dayah ini.
Kata dia, dengan semangat pemerintah itu, dia mengharapkan bisa optimal
kembali. "Tapi yang paling penting, bagaimana Pemerintah Aceh mendorong
aparat desa untuk membuat langkah strategis," ujar H Faisal Aly.
Menurut Ketua PW NU Aceh ini, langkah jitu itu tak tak cukup dengan
pencanangan, jika tak dibuat hal-hal yang mendukung. "Pemerintah Aceh
perlu membuat Peraturan Gubernur soal pengaturan waktu kegiatan hiburan,
termasuk tivi tidak boleh hidup dari jam enam 6 hingga 8 malam," jelas
dia.
Faisal Aly tak menyalahkan konflik, akibat lunturnya kearifan lokal itu.
Tapi lebih pada kemauan dan kepedulian orang tua dan anak Aceh yang
menipis rasa tanggung jawabnya. "Konflik tak mengganggu balai-balai
pengajian, ini lebih pada keluarga yang abai," papar dia.
Tak salah konflik
Pegiat kebudayaan, Sulaiman Tripa menilai kemerosotan itu tidak bisa
digolongkan sebab konflik. "Di sini peran orang tua, yang mungkin abai
terhadap kehidupan anak, sehingga banyak anak justru tidak mampu baca
al-Qur’an," jelas dia.
Lalu, katanya, untuk kehidupan kolektif, mungkin konflik bisa jadi salah
satu sebab, dalam hal, khususnya tidak bisa lagi anak-anak mengaji
waktu malam karena kondisi waktu itu demikian.
Menurut dia, hal ini seharusnya bisa diantisipasi orangtua secara
personal. "Dulu orang tidak malu bila tidak mampu, mereka akan
menyerahkan anaknya kepada teungku-teungku untuk dibina secara santun,"
tuturnya.
Sedangkan orang yang mampu, akan mengajarkan sendiri di rumah. "Sekarang
kondisi itu berbeda, karena banyak orang tua tidak peduli dengan ilmu
agama anaknya," ungkap Pengajar Hukum dan Masyarakat pada FH Unsyiah
ini.
Menyikapi Gemmar Mengaji, Sulaiman melihat gerakan baca al-Qur’an
sehabis magrib, penting bagi upaya membangkitkan kembali meunasah
sebagai cultural center. "Ini akan menjadi fondasi untuk membangun
sistem pendidikan yang menyatu dengan Islam," ujarnya.
Lebih jauh, dosen yang aktif menulis ini menguraikan, bila membuka
sejarah Aceh, maka ada hubungan yang erat antara kejayaan Islam dengan
upaya-upaya yang dilakukan. "Dulu ada kesadaran menguatkan fondasi
terlebih dahulu, baru kemudian memetik kejayaannya," tukasnya.
Dari kacamata Sulaiman, apa yang dilakukan generasi terdahulu, hingga
empat abad lebih kejayaannya, patut dihidupkan kembali. "Konon, Belanda
sekalipun yang sudah pernah berhasil menduduki Aceh, tapi tidak bisa
mengoyahkan kejayaan Islam tersebut," urainya.
Mengulik Magrib mengaji, Sulaiman melihat sebagai sarana pendidikan
agama bagi anak-anak. Kata dia, pendidikan tersebut, kemudian dipisahkan
menurut fase-fase tertentu. Misalnya anak-anak yang belum siap
merantau, ia akan belajar mengaji di meunasah.
Lalu, anak yang lebih kecil lagi, dididik di rumah. Sedangkan yang
menanjak remaja, akan memilih meudagang (mencari ilmu di dayah). "Pada
intinya orang tua perlu berperan aktif, jangan mengabaikan masalah itu,"
katanya.
Hal senada diutarakan, Muhammad Yakub Yahya, Direktur TPQ Plus
Baiturrahman Banda Aceh. "Fungsi orang tua yang paling penting. Orang
tua juga harus menjadi teladan bagi anaknya. Bagaimana anak mau mengaji,
kalau orang tuanya masih di depan tivi," urainya.
Yakob menyambut baik Program Gemmar Mengaji tapi baginya yang tak kalah
penting juga adalah gerakan moral mematikan televisi saat dan usai
magrib. "Ini memang program nasional, tapi di Aceh sudah turun temurun,
hanya saja banyak yang mengabaikan," katanya.
Lalu, sarannya, mendidik anak itu harus dimulai sejak dia dalam
kandungan. Katanya, selama hamil, sebagian calon ayah dan ibu, sering
mendatangi mini market, pusat perbelanjaan, atau café dan lainnya.
Disebutnya, selama mengandung anak, sebagian calon ibu dan ayah, cuma
ahli mengotak-atik ponsel dan remot televisi. "Bukan semestinya yang
banyak melangkah dan menetap dalam masjid, semestinya harus rajin
membuka buku atau kitab yang dianjurkan agama suci," papar Yakob. [
a]