Indrapatra, Sejarah yang Terlupa

Sejarah mencatat, benteng Indrapatra pernah menjadi pusat pertahanan Kerajaan Aceh Darussalam. Namun, kini benteng bikinan abad tujuh masehi itu tak kuasa menahan gempuran zaman. Dia cuma bisa berdiri angkuh. Iseng-iseng, dipakai remaja buat memadu asmara.

Berdiri tak jauh dari bibir Selat Malaka di daratan Gampong Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Benteng ini dibangun oleh Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu pertama di Aceh pada masa sebelum kedatangan Islam di Aceh. Kira-kira pada 604 Masehi.

Dari sejumlah literatur disebutkan, benteng Indrapatra dibangun oleh keturunan Raja Harsya dari India Selatan pada abad ketujuh. Semula bangunan ini merupakan tempat tinggal keluarga raja dan digunakan untuk kegiatan ritual.

Namun, ketika pasukan Iskandar Muda merebutnya dari Portugis, peninggalan kerajaan Hindu tersebut berubah fungsi menjadi tempat penyimpanan senjata, seperti meriam dan bedil. Situs Benteng Indrapatra satu dari beberapa benteng lain yang berdiri di sana. Di antaranya, Benteng Inong Bale, Benteng Kuta Lubuk dan Benteng Iskandar Muda.

Bangunan cagar budaya bersejarah itu di bawah pengawasan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang berkantor di Jalan Teuku Umar. Bukan cuma di Aceh, wilayah kerja BP3 juga mencakup Sumatera Utara. Lembaga itu dikepalai Insa Ansari.

Insa Ansari mengatakan Indrapatra adalah bangunan kuno yang dibangun dari batu gunung dicampur dengan kapur dan lumpur pasir dan alat perekat lainnya. "Jadi kalau ada yang bilang itu dibangun dari putih telur tidak benar, kita sudah teliti itu," kata dia menguatkan analisa peneliti.

Kata dia, benteng ini memiliki keunikan pada arsitektur bangunannya. Bangunan yang pertama di tengah-tengah dari bangunan lainnya dengan ukuran yang besar. Dalam bangunan ini terdapat tiga buah sumur yang bertutup dengan baru tembok yang menyerupai stupa.

Dari jejak arsitektur yang ada, dalam kompleks Benteng Indrapatra terdapat tiga bagian besar benteng. Dan yang paling luas berukuran 70 x 70 meter dengan tinggi dinding tiga meter lebih. Paling kurang seukuran lapangan bola.

Ada sebuah ruangan yang besar dan kokoh berukuran 40 x 40 meter dan tinggi 4 meter. Bagian lain benteng adalah tempat pertahanan yang langsung menghadap ke Selat Malaka, sehingga terlihat strategis. Sedangkan di sisi lain, ada sebuah ruangan yang sangat kokoh berukuran 35 x 35 meter dan tinggi 4 meter.

Bahkan, untuk mencapai ke bagian dalam benteng harus dilakukan dengan memanjat dinding. Dahulunya, dari benteng pertama dengan benteng kedua dihubungkan oleh terowongan bawah tanah. Sayangnya, seiring dengan perjalanan waktu, jumlah benteng itu kini hanya tersisa dua yang terlihat masih kokoh.

Menurut M Djunus Djamil dalam bukunya Tawarich Raja-Raja Kerajaan Aceh menyebutkan benteng Indrapatra dibangun oleh Kerajaan Indrapatra sebelum Islam masuk ke Aceh. Bersamaan dengan itu dibangun pula Benteng Indrapuri oleh Kerajaan Indrapuri yang kemudiaan dijadikan Masjid Indrapuri. Jarakanya sekira 30 kilometer dari Banda Aceh.

Kemudian, dibangun juga Benteng Indrapurwa oleh Kerajaan Indrapurwa yang kemudian dijadikan Masjid Indrapurwa di Lambadeuk, Kecamatan Peukan Bada. "Ketiga benteng itu adalah benteng-benteng pertahanan dari Kerajaan dengan ibukotanya yang terkenal Lam U-Riek, mukim Lam Krak, kecamatan Suka Makmu," tulis Djamil.

Seperti disebutkan tadi, Benteng Indrapatra masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1606-1637 M, dijadikan media pertahanan bersama dengan Benteng Iskandar Muda yang letaknya dekat Pasar Krueng Raya, tepatnya di Gampong Beurandeh, dalam kecamatan yang sama.

Kecuali itu, benteng ini Sultan Iskandar Muda juga memanfaatkan Benteng Inong Balee yang dibangun Laksamana Keumala Hayati atau yang lebih populer Malahayati. Kemudian, Sultan Iskandar Muda juga memanfaatkan Benteng Lubok yang dibangun Portugis di Lhok Mee.

Soal Indrapatra, menurut Insa, jika dilihat dari posisi geografis benteng ini berada di Teluk Krueng Raya dan berhadapan dengan Benteng Inong Balee yang berada pada kawasan perbukitan diseberangnya. Sangat dimungkinkan bahwa benteng ini berperan dalam menghadang armada portugis yang ingin memasuki Aceh melalui teluk tersebut.

Pada kawasan pantai teluk dimuara sungai Krueng Raya itu juga berdiri Benteng Iskandar Muda. Keberadaan tiga buah benteng yang membentuk rangkaian segitiga ini menjadi pelindung Teluk Krueng Raya dari armada asing yang ingin memasuki wilayah Kerajaan Aceh pada waktu itu.

Potensi Wisata

Ketua Aceh Heritage Community (AHC) Yenni Rahmayanti, menyayangkan kurangnya kepedulian Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Aceh. "Kalau kita memang kurang perhatian, sebagai contoh papan informasi penunjuk sejarah tidak ada di tempelkan," ujar Yenni.

Kata Yenni, ada yang menyedihkan pihaknya, terutama terkait dengan keberadaan benteng. Banyak masyarakat sekitar mengambil batu-batuan benteng untuk keperluan membuat rumah bahkan ada yang mendirikan pondasi di atas reruntuhan benteng. "Ini memang sangat kita sayangkan,"

Dia menyebutkan, beberapa bulan lalu, yakni sekira 20-21 Desember 2009 lalu, pihaknya sudah melakukan survei ke sana. Katanya, untuk menyelamatkan situs bersejarah itulah, AHC bekerja sama dengan Pusat Dokumentasi Arsitektur Jakarta (PDAJ).

Yenni mengatakan, survei Benteng Indrapatra bukan saja mencatat fisik bangunan tetapi juga mengumpulkan kisah-kisah sejarah seputar benteng. "Tim melakukan studi pustaka dan wawancara dengan masyarakat sekitar untuk menggali cerita-cerita seputar Benteng Indrapatra," katanya.

Menurut dia, instansi terkait melakukan renovasi benteng Indrapatra tak sesuai dengan kaidah. Renovasi yang dilakukan sedikit banyak mengubah keasliannya. "Harusnya situs sejarah ini mendapat perhatian dari Balai Pelestarian Sejarah, tapi sepertinya tidak" ujar ketika itu.

Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT), Djuniat, S.Sos mengatakan, masalah itu bukan tugas lembaganya, tetapi bagian dari kerja BP3. "Tapi kita melihat, itu terlantar tidak semata-mata kesalahan pemerintah. Masyarakat juga tidak merasa itu milik mereka. Nilainya yang tidak ada di masyarakat kita," kata Djuniat.

Sementara Kepala BP3, Insa Ansari menjelaskan kendala yang mereka hadapi. "Masyarakat kita, tidak begitu peduli dengan peninggalan sejarah. Kepedulian itu tidak mesti mereka harus menjaga siang malam. Dengan melarang pihak-pihak tertentu merusak situs, sudah bagian dari menjaga," sebutnya.

Bukan cuma itu, dia juga menyayangkan sikap masyarakat yang abai dengan cagar budaya itu. Katanya, masyarakat setempat cuma mengutip dana untuk masuk kompleks tersebut. "Itu untuk pemuda, tapi kini sudah tak ada dikutip lagi," jelas Amin Yusuf, seorang warga di sana.

Insa menambahkan, sejak tahun 2008 lalu, pihaknya sudah membangun pagar kompleks benteng dengan dana bantuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Kini, dia berharap pihak Dinas Pariwisata Aceh yang harus mengambil peran lebih besar. Peran itu adalah untuk 'menjual' kawasan itu sebagai objek wisata budaya.

Yah, kita tidak bisa menyalahkan siapa, sehingga situs tersebut seperti tergerus zaman. Tak sedikit cagar budaya yang dilupakan. Bahkan, menunggu runtuh dari kealpaan sejarah yang abai. Pada sisi lain, situs ini setidaknya menjadi modal bagi pengembangan dunia pariwisata sejarah di Aceh, asalkan dikelola secara apik.

Foto-foto yang ditampilkan Waspada pada Minggu 14 Maret lalu dalam Rubrik Potret membuat banyak orang tergugah. Namun, kita tak ingin terus berandai-andai, sebelum cagar itu lenyap. Sebelum dia runtuh dan bahkan musnah, sebaiknya segera diselamatkan...! Siapa peduli.

Foto: Suaradarussalam


No comments:


Top