Didong Jalu Pengobat Rindu Dirantau

DINGIN yang menggelayut di anjungan Aceh, kompleks Taman Mini Indonesia Indah, mengingatkan Bengi akan tanah kelahirannya, dataran tinggi Gayo. Sabtu (10/11) malam, seusai membawa Tari Munalo, serta menonton Didong Jalu, kerinduannya pun terobati.

Malam Minggu kemarin, hampir lima ratusan warga Gayo se Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) berkumpul di anjungan Nanggroe Aceh Darussalam, di Taman Mini. Hajatannya bukan kenduri usai panen kopi, tapi bersilaturrahmi.

Para sesepuh warga Gayo yang menggelar Halal bihalal di sana, merasa amat spesial dengan kehadiran Wakil Gubernur, Muhammad Nazar. Bagaimana tidak, Nazar juga mengukuhkan pengurus baru Ikatan Musara Gayo se Jabodetabek, pada malam itu. "Halal bihalal kali ini luar jadi luar biasa dengan kehadiran Wagub," sebut Alwin, seorang panitia kepada Waspada.

Bukan cuma acara seremoni saja. Ikatan Musara Gayo juga membuka stand pameran. Menariknya di pameran tersebut juga disediakan kupi jelabok, Lepak dan masakan khas Aceh Tengah dan Bener Meriah lainnya yang dimasak langsung di tempat.

Lepas kangen itu juga diwarnai dengan lomba Didong alias Didong Jalu. Dua grup dari Jakarta dan Bandung 'berbalas pantun' malam itu. Namun, warga Gayo di Parahiyangan unggul dalam lomba tersebut. Pemenang mendapat hadiah Rp 1,5 juta.

Kidung kampung halaman, juga dilantunkan para seniman Gayo lainnya. Tentu saja termasuk lagu wajib 'Tawar Sedenge' karya A Moese. Moese seorang seniman kawakan Gayo yang Agustus lalu menghembuskan nafas terakhir. Dia menggubah lagu tersebut pada 1956 saat berusia 22 tahun.

Didong serta kidung lainnya bukan saja mengobati hati Rosimah Bengi, mahasiswi semester V salah satu universitas di Serang, Banten. Ratusan warga lainnya juga punya asabat yang sama. "Kami ikut latihan di Sanggar Buntul Kubu," kata Bengi.

Seorang sepuh Gayo, Usman Nuzuli Hatta, malam itu mengajak semua warga Aceh dari berbagai suku untuk melestikan budaya-budaya sendiri, meski berada diperantauan. Harapan itu bukan cuma sebatas angan.

Buktinya, sekelompok gadis cilik berusia dibawah sepuluh tahun membawakan Tari Kipes dengan sempurna. Bocah-bocah itu bernaung di bawah Sanggar Buntul Kubu. "Mereka generasi ketiga, yang sekarang juga belajar tarian tradisional Gayo," sambung Bengi lagi.

Dalam sambutannya, Usman mengharapkan agar ikatan primordial yang ada di perantauan juga harus ikut mendukung pembangunan di Aceh pada masa mendatang. "Pertahankan ikatan primordial ini dengan memberikan warna untuk mencapai kemajuan Aceh," tutur dia.

Wagub Muhammad Nazar, juga mengajak semua elemen untuk menjaga kondisi perdamaian untuk membangun Aceh tanpa terkecuali dan tanpa diskriminasi. Saat mengucapkan itu, tepukan pun riuah. "Kami berjanji, pemerintahan kami tidak ada diskriminasi," ujarnya.

Seperti diketahui, wilayah pedalaman seperti Aceh Tengah dan daerah lain yang berada di sekitar misalnya, selama ini terkesan diabaikan oleh penguasa di Banda Aceh. Sehingga kue pembangunan kurang mengucur ke sana.

"Kalau dulu ada daerah terisolir, Insya Allah ke depan tidak boleh ada lagi," papar Nazar yang kembali disambut tepuk tangan, apalagi Wagub juga sekali-kali menyelingi hadih maja Gayo dalam sambutannya.


Dibawah gerimis dan dinginnya pojokan anjungan Aceh makin membuat warga perantauan ini terasa bak berada di kampungnya. Apalagi malam itu, Didong Jalu, berlangsung hingga pagi dan disaksikan, Drs, Ishak MS, sekretaris daerah Bener Meriah. Semuanya menjadi seperti di kampung sendiri.


1 comment:

Noeroel said...

wah kapan nih acaranya...
kok ga ngundang-ngundang ya...
doh...ine...
aku mukale...


Top