Malaikat Senja

SENJA yang baru saja menyapa Banda Aceh pada Senin 4 Agustus silam, ternyata membawa kabar duka. Kabar yang membuat para aktivis dan politisi menunduk kepala. Berkabung, karena kehilangan seorang adik, abang, paman, teman seperjuangan, serta sahabat.


Sayangnya, saya tak sempat lagi, bertemu dengan seorang politisi muda yang sejurus kemudian menutup mata. Padalah hari itu, saya ingin mewawancarainya seputar isu krusial belantara politik Aceh. Mulai dari masalah calon legislatif sampai trik dan intimidasi yang katanya mulai mewarnai. Namun, semuanya sudah terlambat.

Sebagai punggawa partai lokal, tentu saya harus minta komentar Ridwan Haji Mukhtar. Dia, ketua partai lokal termuda di Aceh saat itu. Saya membayangkan, khutbah dan petuah politiknya untuk rakyat akan berguna menyejukkan suasana menuju Pemilu yang damai. Tapi, sekali lagi terlambat.

Selepas ba'da Ashar, nomor telepon yang begitu akrab itu saya hubungi. Tapi tak berdering. Rumah kandang pun yang menjadi ID di Yahoo! Messenger offline. Solusinya, pasti ke rekan Thamren Ananda, yang tak lain Sekretaris Jendral Partai Rakyat Aceh (PRA).

Dari calon politikus ini, saya dapat kabar, kalau Ketua Umum PRA itu sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Harapan Bunda Banda Aceh. Tak ada pilihan lain, sumber kedua yang tak kalah kredibelnya wajib diserobot. Thamren pun menjadi pengganti RHM.

"Insya Allah, selesai berita terakhir ini, saya segera meluncur ke situ. Sudah rame kawan-kawan yang datang," tanya saya kepada ayah satu anak yang akrab disapa Nanda ini.

"Oke, sudah rame, kawan-kawan yang kumpul di sini." suara Nanda kedengaran tak jelas.

* * *

SEMBARI mengetik berita yang sudah menjadi rutinitas keseharian, saya kembali terbayang, pada pertemuan di sepotong sore, yang tak ingat lagi tanggalnya. Tapi yang jelas pertemuan itu berlangsung di sebuah tenda putih di bilangan Lueng Bata. Di situ ayah Azizah bekerja. Azizah Mernissi Nuqthah nama lengkap buah hati semata wayang RHM hasil buah kasih dengan Sri Wahyuni.

Saya tahu dia baru pulang berobat dari Penang, Malaysia. Dia bercerita sedikit kondisi kesehatannya. Sembari menyibak baju putih, dia memperlihatkan garis parut yang melintang di kulit perut berwarna sawo matang.

"Di sini dibelah," ujar dia memperlihatkan parut bekas operasi.

Bergidik juga saya melihat bekas jahitan itu.

Saya menatap matanya dibalik kacamata berframe hitam. Dia malah menyungging senyum. Nyaris menyerupai seringai. Mungkin membayangkan rasa sakit. Kemudian dia, merogoh botol air dari ranselnya. Dia meneguk teguk air untuk membasahi kerongkongannya yang mulai kering. "Makanan dan minuman harus dibatasi," timpal dia sembari menjentik letak frame kacamatanya.

Lama tak bersua, rasa kangen sebagai teman mencuat. Inginnya, kami bisa membuang stress ke kantin untuk sekadar ngobrol serta poh cakra dan peh tem soh. Atas nama menjaga kesehatan itu, dia mengelak untuk kongkow di kantin.

Pada hari berikutnya, kami kembali. Kebetulan, tokoh muda Aceh ini sedang menatap tajam ke selembar kertas yang ada ditanganya. "Nyoe ku teken peu bek, nyoe lon teken, salah-salah meucarueh kee, Ini saya tanda tangan tidak ya, kalau saya teken, takutnya saya terjerat," katanya dengan kesan hati-hati.

Tak salah memang, pasalnya isi kertas itu terkait dengan anggaran. Jika bubuhan tangannya tak turun, maka tak jadilah kegiatan itu. Saya melihat seorang RHM yang penuh kehati-hatian dan penuh perhitungan sebelum menancapkan keputusan.

Di sela-sela mengingat pertemuan itu. Pikiran saya balik ke 'alam' lain. Tatkala suami Sri Wahyuni ini menjadi aktivis LSM SAMAK di bilangan Peulanggahan, Banda Aceh. SAMAK (Solidaritas Masyarakat Antikorupsi) adalah sebuah lembaga swadaya masyakat yang konsen mengungkit kasus-kasus korupsi di Aceh ketika itu. Di situlah tokoh muda asal Bireuen ini bernaung.

Ketika itu, saya baru beberapa bulan mencoba peruntungan baru di Harian Waspada. Tahunnya sekira 2002, kalau tidak salah saya. Sejak itu, kami instensif melakukan kontak via short massage system. es-em-es, istilah kerennya. Bukan cuma sekali dua kali.

Isi SMS itu kurang lazim memang, bukan sekadar basa-basi. Tapi isinya yang membuat kuping saya menjulang langit. Isinya juga bisa menjadi cemeti dikemudian hari. Dia pemberi spirit dan pemuji kelas wahid. Karena pujiannya itu yang mengilhami saya untuk terus menulis.

Dibalik sanjungan seorang Ridwan yang saya kenal sebagai orang aktivis nan kritis. Secara tersirat dia banyak memberi cambukan untuk saya, terutama dalam menulis banyak feature. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, Ridwan memang acap memberi mengomentara dan melempar pujian pada beberapa tulisan feature saya.

Bukan karena 'mabuk' pujian, lantas saya hanyut dalam menulis banyak laporan. Tapi itu memang hobi saya yang masih belajar menulis dengan baik. Lantas, bung RHM pun larut dengan aktivitasnya, begitu pula saya, asyik mengulik kata-kata.

Sampai suatu ketika, muncullah Tabloid Warna--maaf saya juga tak ingat lagi persisnya kapan. Yang jelas tabloid itu saya dapati dari penjual koran di depan kantor. Bahkan sebelumnya, RHM sempat bercerita tentang koran infotaimen itu. Ridwan masuk dalam salah satu jajaran redaksinya.

Perjalanan seorang Ridwan kemudian tak terekam lagi dalam memori hape, saya meski namanya masih ada. Maklum sudah jarang saling kirim pesan singkat. Sudah pasti ini akibat kesibukan masing-masing. Pun begitu saya tetap memantau karya-karya di sejumlah media, terutama masalah budaya.

Dia banyak menulis masalah ringan bin sepele soal budaya Aceh. Tulisannya garing dan renyah bagi penggiat budaya, meski itu bukan kerupuk dan eungkot teupeuda. Kemudian, tulisan budayanya juga menghiasai Tabloid Seumangat. Koran bikinan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Kebetulan pria berkacamata ini bernuang dibawah bendera yang diusung Kontoro Mangkusubroto.

Selama di sini pula, lelaki hitam manis itu kembali lagi ke hobi semula. Kerapkali begitu singgah ke ranah maya di mana RHM bermukim yakni 'rumah kandang', dia selalu memberi info-info baru. Info itu bisa berupa nama website, nama blogger yang isinya bercerita soal demokrasi dan politik.


No comments:


Top