Mancing Turis

UNTUK memancing wisatawan ke Sabang, bisa banyak jalan. Bukan cuma laut dan Pantai Iboh yang bisa dijual. Kalau mau jujur, setiap jengkal tanah Sabang itu sebenarnya objek wisata. Jadi, bukan hanya rupiah yang bergemericik, tapi dolar pun akan berdenting. Caranya? Tidak bisa, kalau cuma diam saja. Lalu?

Perlu sebuah terobosan baru yang tidak kaku. Berani, sudah pasti. Kalau tidak, Sabang, laksana sebuah lukisan alam nan apik yang cuma terpajang dalam bingkai kaca. Potensi itu hanya bisa dilihat saja, tanpa mampu diramu untuk menghasilkan devisa. Bicara potensi tak diperlu diragukan lagi. Hanya saja perlu pembenahan di sana-sini.

Kota paling barat di Indonesia itu kini berbenah. Di bawah kendali duet Munawar Liza Zainal dan Islamuddin, kawasan berbukit-bukit seluas 118 km² itu ingin maju. Sabang dengan jumlah penduduk berdasarkan sensus 2000 berjumlah 23.654, tetap ingin menjadi ikon pariwisata Aceh.

Wakil Walikota Sabang, Islamuddin, ST, saat ngobrol santai dengan Tribuana Said dari Waspada belum lama ini mengusung hasrat itu. "Pariwisata tetap menjadi andalan bagi Sabang, selain perikanan dan jasa perdagangan," ungkap Islamuddin, seusai makan siang di kawasan Ujong Kareung.

Menurut mantan aktivis Aceh itu, mereka akan membenahi objek-objek wisata yang berselemak di sana. Kata Islamuddin, warga sendiri nantinya yang akan menjadi guide bagi setiap pelancong yang berlibur ke Pulau Weh. "Kita tetap fokuskan Savang sebagai objek wisata andalan," katanya lagi.

Tribuana yang baru dua kali menginjak Sabang menyarankan agar promosi lebih genjar lagi. Terakhir sekali dia berkunjung ke Pulau yang berbatasan dengan India, Malaysia dan Thailand itu 43 tahun silam. "Kalau digelar lomba mancing di sini, akan membantu lagi promosinya," ungkap tokoh pers nasional itu.

Menurut anak sulung H Muhammad Said, penulis buku Aceh Sepanjang Abad ini, lomba tersebut harus dikelola secara profesional. "Prefesional dari berbagai segi, mulai dari fasilitas lomba, akomodasi, jadwal penyeberangan, sampai urusan sepele pun harus bagus," sebut dia.

Even tersebut pun, lanjut mantan Direktur Lembaga Pendidikan Dr Soetomo (LPDS) Jakarta ini, harus rutin digelar. Lalu, pada saat bersamaan juga harus ada even budaya yang dikemas kolosal guna mengundang daya pikat para wisatawan dan pemancing.

"Imbasnya, jika ini bagus, mereka akan promosikan dari mulut ke mulut untuk rekan-rekannya dari daerah lain. Promosi model ini paling ampuh," urai Tribuana. "Kemudian, bisa kerjasama denga organisasi mancing baik yang ada di Jakarta maupun Bali."

Dari kacamatanya, Pulau Weh punya kans yang amat terbuka untuk berkembang. Hanya saja perlu sebuah managemen yang handal untuk mengelolanya. "Kalau perlu sewa konsultan asing yang benar-benar ekspert di bidangnya," saran pria yang akrab disapa Pak Tri ini.

Bicara soal potensi yang belum dikelola dengan jitu juga diakui Dahlan Sulaiman, Ketua Umum Asosiasi Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Provinsi Aceh. "Objek-objek wisata yang kini dimiliki belum dikelola dengan baik, sehingga tidak ada daya tarik bagi wisman untuk datang ke Aceh," katanya kepada wartawan akhir pekan lalu.

Hal serupa juga diungkapkan Iwan Kusuma, salah seorang warga Ie Meule, Kota Sabang. Katanya, banyak objek-objek wisata di Sabang yang terlantar. Dia mencontohkan, banyak benteng peninggalan Jepang di sepanjang pantai Sabang tak bisa dikelola instansi terkait.

Kata dia, ini disebabkan adanya klaim-klaim yang 'memperbutkan' benteng bersejarah itu. "Ini sebenarnya sangat potensial juga untuk mengaet wisatawan dari Jepang," ungkap dia. Bahkan, sebut dia, ada juga wisatawan, sengaja datang untuk menengok pohon-pohon raksasa yang tumbuh di sana.

"Mungkin saja zaman dulu bapak atau kakeknya yang tanam," terka Iwan.


Sejarah Sabang

Informasi yang dikumpul Waspada dari berbagai sumber termasuk dari site pemerintah, http://sabangkita.go.id/ menyebutkan, sejak 1881, masa pemerintah kolonial Belanda Sabang telah dikenal luas sebagai pelabuhan alam bernama Kolen Station. Pada 1887, Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah, membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan.

Era pelabuhan bebas di Sabang dimulai pada tahun 1895, dikenal dengan istilah vrij haven dan dikelola Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station yang selanjutnya dikenal dengan nama Sabang Maatschaappij. Perang Dunia II ikut mempengaruhi kondisi Sabang, di mana pada tahun 1942 Sabang diduduki pasukan Jepang, kemudian dibombardir pesawat Sekutu dan mengalami kerusakan fisik hingga kemudian terpaksa ditutup.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Sabang menjadi pusat Pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh dari pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertahanan RIS Nomor 9/MP/50.

Semua aset Pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli Pemerintah Indonesia. Kemudian pada tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang berdasarkan UU No 10/1965 dan dirintisnya gagasan awal untuk membuka kembali sebagai Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas.

Gagasan itu kemudian diwujudkan dan diperkuat dengan terbitnya UU No 3/1970 tentang Perdagangan Bebas Sabang dan UU No 4/1970 tentang ditetapkannya Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Dan atas alasan pembukaan Pulau Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Sabang terpaksa dimatikan berdasarkan UU No 10/1985. Kemudian pada tahun 1993 dibentuk Kerja Sama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang membuat Sabang sangat strategis dalam pengembangan ekonomi di kawasan Asia Selatan.

Pada tahun 1997 di Pantai Gapang, Sabang, berlangsung Jambore Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) yang diprakarsai BPPT dengan fokus kajian ingin mengembangkan kembali Sabang. Disusul kemudian pada tahun 1998 Kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh dijadikan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang bersama-sama KAPET lainnya yang diresmikan oleh Presiden BJ Habibie dengan Keppes No. 171 tanggal 28 September 1998.

Era baru untuk Sabang, ketika pada tahun 2000 terjadi Pencanangan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid di Sabang dengan diterbitkannya Inpres No. 2 tahun 2000 pada tanggal 22 Januari 2000.

Dan kemudian diterbitkannya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2000 tanggal 1 September 2000 selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Aktifitas Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang pada tahun 2002 mulai berdenyut dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke Kawasan Sabang. Tetapi pada tahun 2004 aktifitas ini terhenti karena Aceh ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer.

Sabang juga digoyang gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Namun karena palung-palung di Teluk Sabang yang sangat dalam mengakibatkan Sabang selamat dari tsunami. Sehingga kemudian Sabang dijadikan sebagai tempat transit Udara dan Laut yang membawa bantuan untuk korban tsunami di daratan Aceh.

Menjelang empat tahun musibah itu, berlalu Pemerintah Kota Sabang, mencoba menjahit kembali objek-objek wisata yang alpa dari mata dunia. "Saya sudah tiga hari berlibur di Sabang. Cantik sekali," ujar Justin David, wisatawan asal Malaysia.

Pria keturunan Bangladesh yang bekerja sebagai bankir itu mengaku betah liburan di Sabang. Hanya saja, dia berharap pengelolaannya lebih profesional. "Semua stakeholder harus saling mendukung untuk memajukan pariwisata ini," ujar dia dalam bahasa Melayu logat Malaysia. Semoga terkabul.


No comments:


Top