Romantisme Sang Wali



RUMAH pertama yang dicari Hasan Tiro saat pulang ke Pidie adalah milik Teuku Muhammad Usman Lampoh Awe. Itu dilakukan Proklamator Aceh Merdeka itu kemarin, Selasa (14/10). Hari keempat berada di tanoh endatu, cicit pahlawan nasional Tgk Chik Ditiro kembali ke Pidie. Mengulang romantisme masa lalu.


Bagi Tiro, Muhammad bukan cuma sebatas Menteri Keuangan dalam kabinetnya dulu. Tapi, dia masih tercatat kerabat dekat. Sayang, orang yang dicari sudah pergi selamanya. Muhammad wafat, pada Jumat (3/10) di Rumah Sakit Umum Sigli, setelah 'kalah' melawan leukemia (kanker darah) yang menyerangnya. Kejadian itu tepat delapan hari sebelum Hasan Tiro pulang ke Aceh pada Sabtu (11/10) lalu.

Kejadian Hasan Tiro kembali ke Pidie dan langsung ke tempat Muhammad Lampoh Awe bukan kebetulan. Boleh dibilang bagian napak tilas dari kisah 32 tahun silam. Hasan Tiro mengulang sejarah, meski dalam konteks yang berbeda. Apalagi orang yang dicari pun tiada lagi.

"Mana Muhammad..," tanya Hasan Tiro saat mendarat diam-diam di Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie pada 30 Oktober 1976. Begitu tiba di sana, orang yang pertama dicari Tiro tak lain kerabatnya, Muhammad Usman. Dia berusia 41 tahun ketika itu.

Dia orang pertama yang mendukung rencana Tiro. Dalam kabinet pertama Aceh Merdeka yang dilantik pada 1977, Muhammad didapuk sebagai Menteri Keuangan. Muhammad Usman yang dimakamkan di kampung halamannya, Lampoh Awe adalah mantan anak pejuang juga.

Hingga akhir hayatnya, Teuku Muhammad yang akrab disapa Meuntroe Muhammad itu, tak lain pendukung setia sang Wali. Wali Nanggroe adalah panggilan takzim para pengikut tokoh yang lahir pada 4 September 1925, yang sempat mengenyam pendidikan di Yogyakarta.

Selain karena faktor kerabat, tak berlebihan juga bila warga Nordsborg, Stockholm, Swedia ini mencari suami Pocut Sariwati. "Meuntroe Muhammad, ureung cah rot uh--pembuka jalan--, ketika Wali naik ke gunung memproklamirkan Aceh Merdeka," urai Zakaria Saman, sejawat Muhammad yang juga mantan Meuntroe Pertahanan.

Bagi Muhammad dan Zakaria, Hasan Tiro yang juga Presiden Acheh Sumatera National Liberation Front (ASNLF)-- sebelum MoU Helsinki--, itu menjadi tokoh legendaris bagi Aceh. "Paduka Yang Mulia itu, tokoh cerdas yang melagenda," puji dia lagi.

Begitupula dengan isteri Teuku Muhammad, Pocut Sariwati. Karena kekaguman dan kedekatan itulah yang membuat dia harus segera keluar rumah menyambut Wali di Blang Bintang pada 11 Oktober lalu. "Padahai lon mantong ban lheueh tujuh lakoe-- padahai saya baru selesai tujuh hari suami," ungkap dia dalam bahasa Aceh.

Memang, ada semacam pantangan bagi perempuan Aceh untuk berpergian jauh sebelum tujuh hari lewat. Tapi, lanjut dia, karena khusus menyambut tokoh panutannya, wanita yang kerap keluar masuk penjara ini tak peduli. "Senang sekali sudah bertemu lagi dengan teungku-- sebutanya untuk Hasan Tiro--, tapi sedih juga, almarhum yang sudah siap menyambut Wali tak ada lagi," katanya dalam nada sedih.

Katanya, jika Wali mampir ke rumah duka di Lampoh Nana, Desa Blang Raya, Laweueng, Kecamatan Muara Tiga, hanya bisa melihat jas dan sepatu baru Meuntroe Muhammad. "Baju dan sepatu baru, khusus untuk menjemput Wali. Rupanya Allah berkehendak lain," lirihnya.

Pocut Sariwati sendiri mengaku sudah merelakan kepergian suaminya. Hanya jas dan sepatu baru almarhum yang akan menjadi penghibur kesehariannya. Ketika Hasan Tiro bertandang sekira tiga jam ke rumah duka, Selasa kemarin, itupun menjadi penghibur yang tak kira mahalnya.

Meski ada yang kurang, Sariwati sudah cukup senang. Tapi, sekira masih ada Muhammad Usman, romantisme itu akan terulang; "dipat Muhammad.."

Joke:
Di pat Muhammad?
Lam kubu..
Oo..., thank you.


No comments:


Top